Jean adalah anak yang cerdas. Tidak ada yang menyangkal itu. Dia adalah anak yang rendah hati, ceria, periang, dan senang membantu orang lain. Pada intinya, dia adalah anak yang baik.
Sebagai seorang ayah, aku senang memiliki anak seperti dia. Terlepas dari dia bukanlah anak kandungku. Tentu saja, itu berkat pendidikan dan kasih sayang dari ibu dan kakaknya, Jeanne.
Namun, ini hanya firasat, atau mungkin insting? Entahlah. Yang jelas, aku merasakan bahwa jauh di dalam diri Jean, ada monster mengerikan yang bersemayam dalam dirinya. Ini hanya kiasan, tapi aku yakin ketika monster itu bangkit, tidak akan ada yang dapat menghentikannya.
Karena itu, aku akan mendidik Jean dengan caraku sendiri. Agar ketika monster yang ada di dalam dirinya terbangkit, dia akan tetap berpikiran jernih dan rasional.
Setidaknya, itulah yang bisa aku lakukan sebagai seorang ayah. Sisanya, mari serahkan pada Jean dan era yang akan membawanya.
(Catatan harian Nicholai. Tertanggal 20 bulan bumi tahun 1453 kalender benua Akkadia)
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Saint Georgia City adalah ibukota dari sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan Dublin. Ya, inilah kerajaan yang menjadi 'rumah' Bagi Jean dan keluarganya.
Ini adalah tempat bagi 200.000 orang untuk tinggal. Semua aktivitas ekonomi, politik, dan pemerintahan kerajaan Dublin berlangsung di kota ini. Dengan kata lain, ini adalah tempat terpadat sekaligus tersibuk di kerajaan Dublin.
Jean sedang berada di St George City sekarang. Sebagaimana yang ayahnya janjikan. Dan ini baru pertama kalinya Jean menginjakan kaki di sini. Suasananya sangat jauh dari pedesaan. Jauh lebih sumpek, sesak, dan kotor.
Nicholai menggandeng Jean, memastikan agar bocah ini tidak berpisah darinya. Sebenarnya, bahkan bagi Nicholai, masih terlalu muda untuk membawa Jean ke kota. Tetapi untuk alasan pelajaran, Nicholai membawa Jean ke tempat ini.
Mereka berangkat dari desa dengan berombongan bersama penduduk lain. Masing-masing dari mereka punya tempat langganan untuk menjual panen mereka. Tak terkecuali Nicholai.
"Yooo Nicholai! Kau sudah datang!! Oi kalian, bawakan camilan untuk aku dan dirinya. Nicholai, masuk ke dalam. Mari kita bicarakan soal harga di dalam."
Nicholai langsung disambut oleh lelaki berbadan besar begitu dia sampai di depan sebuah rumah yang ukurannya cukup besar. Penghuni langsung menyuruhnya Nicholai masuk. Dia mengajak Jean untuk masuk bersamanya.
Jean awalnya bertanya-tanya apa yang ayahnya dan orang itu akan lakukan. Namun Jean akhirnya diperlihatkan bagaimana ayahnya bernegosiasi dengan lelaki berbadan besar itu.
"Tidak, kau tidak bisa membeli hasil panenku dengan harga yang sama seperti penduduk lainnya Hul. Kau tahu sendiri bahwa mulai dari bibit hingga pupuk yang aku pakai, Semuanya adalah sesuatu yang berkualitas tinggi.
"Jika kau membeli mereka dengan harga segitu, aku tidak akan bisa menanam mereka dengan kualitas yang sama seperti sebelumnya."
Lelaki berbadan besar yang ayahnya panggil Hul itu menggeleng. Dia tetap kukuh dengan pendiriannya.
"Harga yang kau ajukan terlalu mahal. Jika aku membeli semua hasil panen dengan harga yang kau minta, tidak akan ada pelanggan yang membeli buah-buahan itu. Jadi aku akan membeli mereka dengan harga standar!"
Keduanya tetap berdebat dengan alot tentang masalah ini. Hingga pada akhirnya, mereka berdua sepakat ketika menemukan jalan tengah. Hul bersedia membeli hasil panen yang ayahnya bawa dengan harga dari ayahnya dengan syarat bahwa dalam tiga kali musim panen ke depan, Nicholai harus menjual semua hasil panennya kepada Hul.
Nicholai sepakat dengan itu. Ini bukanlah kesepakatan yang buruk untuk ayahnya. Itulah yang Jean tangkap selama perdebatan mereka tadi.
"Ah, benar Hul. Dia adalah anak laki-laki ku. Namanya Jean. Jean, ayo sapa paman Hul."
"Selamat siang paman Hul. Saya Jean, putra dari ayah. Senang bertemu dan berkenalan dengan anda."
Hul tertawa ketika melihat Jean kecil dan mengacak-acak rambut hitam milik Jean. Mungkin dia merasa gemas ketika melihat anak kecil ini berusaha untuk bertingkah sesopan mungkin.
"Hahahah! Halo Jean. Namaku Hul! Kau bisa memanggilku paman Hul. Kau tahu, ayahmu dan aku adalah sahabat dekat! Kita sering menghabiskan waktu bersama! Jadi jangan segan untuk berbicaralah denganku oke?"
Nicholai menggeleng. Kita tidak sedekat itu, oke? Jadi, jangan mengatakan yang tidak-tidak pada putraku! Begitulah yang dia katakan lewat eskpresi wajahnya. Tapi membiarkan Hul membagikan pengalamannya dalam berbisnis kepada Jean bukan hal yang buruk di mata Nicholai.
Jean dengan antusias menanyakan banyak hal pada Hul dan lelaki berpostur besar itu tidak keberatan untuk menjawab pertanyaan dari Jean.
"Jean, kita harus segera kembali. Svetlana dan Jeanne sudah menunggu kita di rumah. Hul, aku minta maaf tapi aku harus membawa Jean kembali atau ibunya akan marah padaku. Aku akan membawa anak ini jika ada waktu."
Dengan sedikit terpaksa, Nicholai harus mengatakan itu ketika sore hari telah tiba. Hul dengan santai mengatakan tidak ada masalah dengan itu dan mengantar mereka hingga depan rumahnya. Dia memberikan tiga kantung uang pada Nicholai dan meminta Nicholai untuk datang ke sini lagi di luar musim panen.
Sebelum kembali, Nicholai mengajak Jean berkeliling sebentar. St Georgia City tidak terlalu besar jadi tidak butuh waktu lama untuk mengelilingi seluruh kota.
"Bagaimana Jean, apa menurutmu tentang orang-orang yang berada di kota?"
Mendengar pertanyaan ayahnya, Jean berpikir sejenak. Dia lalu menjawab pertanyaan dari ayahnya.
"Kota ini sangat ramai. Ada banyak orang dengan berbagai macam pekerjaan. Ada penjaga toko, penjual permen, dan lain-lain. Aku suka dengan suasana seperti ini.
"Tetapi, entah kenapa aku merasakan sesuatu dalam diri mereka. Aku tidak tahu perasaan apa itu. Mungkin rasa bosan? Mereka memang berinteraksi satu sama lain tapi mereka terlihat jemu. Stagnan. Berbeda dengan suasana yang ada di desa."
Nicholai menelan ludah ketika mendengar jawaban anaknya. 'apakah dia benar seorang anak berusia delapan tahun?' pikiran seperti itu terbayang di kepalanya. Nicholai menghembuskan nafas dan mulai berbicara.
"Begitulah Jean. Ketika manusia hidup tanpa tujuan, dia akan tersesat. Mereka akan merasa bosan, dan hidup mereka akan stagnan. Orang bilang kehidupan kita mengalir seperti air. Dia mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dan tidak peduli kemanapun mereka akan melewatinya, air akan tetap bermuara di samudera.
"Tetapi Jean, kita bukan air. Kita adalah manusia. Air tidak memiliki kehendak sendiri. Mereka tidak bisa meminta untuk mengalir ke sungai yang jernih. Mereka juga tidak bisa marah atau protes ketika mereka mengalir melewati sungai yang penuh dengan kotoran."
"Jadi dengan kata lain, orang-orang yang tinggal di kota ini tidak memiliki tujuan dan hanya menjalankan rutinitas sehari-hari mereka saja?"
"Tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu."
Nicholai menggenggam tangan Jean lebih erat lagi. Dia memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan yang berat sampai di situ saja. Mereka lalu berjalan ke arah gerobak yang mereka tumpangi dan berangkat menuju desa mereka.
Namun sebelum mereka sempat berangkat, tiba-tiba teriakan terdengar dimana-mana. Namun yang paling dominan dari itu semua adalah suara tangisan anak-anak. Nicholai ingin mengatakan pada kusirnya untuk segera berangkat. Tetapi kusir itu tidak lagi bernyawa. Kepalanya tertancap oleh sebuah anak panah.
Menyadari bahaya yang menghampiri mereka, Nicholai menarik tangan Jean untuk turun dari kereta kudanya namun secara tiba-tiba, beberapa orang menodongkan tombak pada mereka.
"Jangan bergerak dan serahkan anak laki-lakimu!"
Dari pakaian yang mereka kenakan, jelas-jelas bahwa mereka adalah ksatria yang berasal dari kaum bangsawan dan keluarga Kerajaan Dublin. Nicholai berusaha melindungi Jean namun para ksatria itu langsung mendorong dan mengeroyok ayahnya.
"Tidak!! AYAHHHH!! LEPASKAN AYAHKU!!"
Untuk pertama kalinya, Jean berteriak. Tubuh kecilnya berusaha menarik pakaian para Ksatria itu. Dan yang membuat para ksatria itu terkejut adalah fakta bahwa Jean berhasil menarik mereka semua dan membanting Beberapa ksatria hingga leher mereka patah.
Jean yang melihat ayahnya tergeletak dengan luka yang sangat parah langsung menghampirinya. Air mata keluar dan membasah pipinya. Luka ayahnya sangat parah. Terutama di bagian kepala.
"A-ayah!! Sadarlah!! Ayo kita pulang!! Ibu dan kakak sudah menunggu kita kan!??"
Nicholai masih tersadar. Tapi rasa sakit yang ia rasakan membuat dirinya tidak merespon rengekan anak laki-lakinya. Satu-satunya respon yang bisa ia berikan adalah mengangkat tangannya lalu menyentuh pipi putra satu-satunya.
"La-larilah, J-jean."
Jean tidak bisa mengerti apa yang ayahnya maksud. Kenapa dia harus lari meninggalkan ayahnya? Namun sebelum Jean bisa memahami itu, Pandangannya menjadi gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
•P3CINT4 SIST3M ¤P•
hmm masih kupantau
2022-05-09
0
Arjuna Wera
udh mulai nie n hajar n hajar orang itu jean
2022-04-25
0
DNK • SLOTH SINN
next
2022-04-25
0