"Hai Aninda," sapa Martin hangat ketika pagi itu Aninda melewati kelasnya. Martin sedang berdiri di depan pintu kelas dan tersenyum lebar padanya.
Aninda hanya menganggukkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya ke kelasnya. Dia masih gedek dengan kelakuan Martin di kelasnya. Gara gara itu teman temannya selalu mengaitkan nama Martin dengannya.
Tumben si Martin datang pagi.
"Aninda, kamu masih marah?" tanya Martin sadar karema selalu dicuekin Aninda setelah nyanyiannya di kelas tempo hari dulu. Dia pun menjejeri langkah Aninda.
"Ngga." Kelemahan Aninda ngga bisa berterus terang, nggak ingin menyinggung perasaan temannya. Padahal sudah diniatin sejak awal, tetap aja gagal eksekusinya.
Martin tersenyum senang.
"Aku masih ada harapan?"
Aninda menghentikan langkahnya. Dia memperhatikan Martin sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya. Wajah Martin berubah pias.
"Aku ngga boleh pacaran dulu sama papa," jelas Aninda jadi kasihan melihat wajah muram Martin. Lidahnya pun jadi keseleo. Harusnya Aninda mengatakan ngga tertarik jadi pacar Martin.
Aninda membuang nafas kasar. Kesal dengan dirinya sendiri. Aninda takut Martin salah tanggap dengan jawabannya.
"Aku ngerti. Aku akan coba ngelupain kamu," katanya pelan.
Eh, batin Aninda tercolek.
Berhasil?
"Tapi kamu jangan musuhin aku ya," pintanya sambil menatap wajah Aninda lekat.
Aninda tersenyum lega.
"Tentu," jawab Aninda membuat wajah muram itu mulai ceria lagi. Martin yang heboh ngga cocok dengan wajah sedihnya.
Akhi**rnya masalah dengan Martin selesai juga, batin Aninda lega.
"Aku ke kelas dulu," pamit Aninda sambil mengulaskan senyum tipis sebelum melangkah pergi.
"Kalo kita udah SMA, berarti boleh, dong, Ninda," seru Martin dengan nada senang ketika Aninda sudah menjauh beberapa langkah.
Aninda ngga menjawab. Ternyata masih belum selesai juga, batinnya kesal. Aninda pun ngga menoleh lagi dan terus saja melangkah memasuki kelasnya dengan perasaan dongkol.
Lesnya pun sudah berakhir. Aninda merasa lega bisa mengurangi intensitas bertemunya dengan Gibran. Walaupun cowo itu masih saja suka mencuri curi pandang padanya. Aninda berusaha meredam rasa ge ernya.
*
*
*
Akhirnya hari kelulusan mereka pun tiba. Aninda sangat gembira karena gurunya memanggilnya dan menyatakan dia sudah diterima sebagai siswa di SMA kak Debi berdasarkan nilainya.
SMA Putra Bangsa adalah SMA swasta yang paling diminati di kotanya. Fasilitas yang dimiliki sangatlah lengkap. Juga prestasinya. Segudang.
Aninda juga meraih beasiswa karena nilai ujiannya hampir sempurna. Ada dua orang lagi teman yang mendapat beasiswa bersamanya. Karena SMA itu mematok biaya yang sangat tinggi, jadi selain pintar, teman temannya yang kayalah yang bisa masuk ke sana.
"Selamat ya, Aninda," seru teman teman dekatnya ikut senang. Dewi, Dita, dan Ratih memilih SMA negeri saja yang gratis, paling hanya membayar uang seragam. Sedangkan Risma sudah dipastikan pindah ke luar kota.
"Selamat ya, Ninda, aku ikut senang mendengarnya," kata Dita sambil memeluk Aninda. Juga Dewi, Ratih, dan Risma.
"Kamu jangan lupa sama kita,'" ancam Ratih pura pura galak, kemudian terkekeh.
"Teman temanmu besok pasti banyak yang kaya kaya," tambah Dita sedikit iri. Jika saja dia punya otak seencer Aninda. Dita juga kepingin masuk SMA elit itu. Tapi dia juga tau kalo Aninda bukan dari keluarga biasa seperti dirinya. Hanya Aninda terlalu sederhana. Ngga pernah membamggakan keluarga besarnya.
Risma pun tersenyum.melihat kebahagiaan di wajah Aninda. Walaupun heran, Aninda ngga butuh beasiswa itu. Dia sangat mampu masuk ke SMA elit itu karena pada dasarnya keluarga besarnya yang kaya raya. Entah mengapa Aninda memilih jalur beasiswa untuk siswa berprestasi.
"Gimana kalo kita makan bakso di kafe biasa, aku traktir," tawar Risma yang tentu saja di setujui mereka. Risma termasuk anak orang kaya yang mau bergaul dengan mereka.
"Oke, aku mau," ucqp Dewi senang.
"Yo'i," kata Dita dengan senyum lebarnya. Ratih dan Aninda hanya mengangguk setuju.
"Yuk. Angkot kita udah nunggu tuh," kekeh Aninda membuat mereka sama tertawa senang. Aninda menatap haru pada sahabat sahabatnya. Selama tiga tahun mereka bersahabat dan selalu bersama, karena asalnya mereka dari SD yang berbeda.
Entah siapa nanti yang dia temui di SMA elit nanti. Temannya sepertinya banyak juga yang memilih SMA negeri. Semoga saja Aninda bisa bertemu dengan teman teman yang baik seperti sahabat sahabatnya.
Aninda meras bersyukur bisa di terima lewat jalur beasiswa untuk siswa berprestas. Dia juga bisa membanggakan orang tuanya sekaligus membungkam mulut jahat tante tantenya.
Padahal tanpa beasiswa, papanya mampu menyekolahkannya ke SMA elit itu tanpa bantuan dari harta mamanya. Lagian apa salahnya mereka menggunakannya. Itu adalah milik mamanya. Haknya yang walaupun bukan anak kandung tapi sudah diatur dalam wasiat kakeknya sebelum meninggal dunia.
Rasanya ada kepuasan tersendiri bisa membuat tante tantenya ngga nyinyir pada mamanya.
Ketika sedang menunggu angkot, tanpa sadar mata Aninda bsrtemu lagi dengan mata Gibran yang berdiri ngga jauh dari situ.
Gibran masuk ke SMA elit atau pindah ke tempat pacarnya ya, batin Aninda kepo. Aninda cepat mengalihkan pandanngannya dari Gibran.
"Aku bingung, sebenarnya apa maksud Gibran masih saja suka liatin kamu," bisik Risma masih kesal.
"Lihat doang," Aninda balas berbisik.
"Ngga ada tindakan apa pun," omel Risma.
Aninda tersenyum lebar menampakkan deretan giginya.
"Kayaknya masih dia sama Marsha. Aku dengar tiap bulan Marsha pulang nengokin Gibran," bisik Risma lagi membuat hati Aninda tambah kecewa.
"Mungkin Gibran juga nengokin dia juga ke sana," sambung Risma lagi semakin menyadarkan Aninda untuk ngga menganggap apa apa lagi tatapan tatapan Gibran.
Selamat tinggal ya, **Gibran. M**ungkin kita ngga akan ketemu lagi, batin Aninda sambil menoleh lagi pada Gibran yang lagi lagi masih menatapnya denga tatapan anehnya.
"Hei, melamun aja. Ayo, itu angkotnya," seru Dita menyadarkan keduanya.
Ternyata angkotnya sudah berhenti di depan mereka. Bahkan Dewi dan Ratih sudah naik.
Aninda dan Risma tertawa kecil, mengetawai kebodohan mereka yang ngga mengamati keadaan sekitar.
"Masa ditinggal. Kan, kamu yang teraktir, Ris," sungut Dita sambil memasuki angkot
"Iya iya," balas Risma masih dengan tawanya.
Aninda pun menyusul sambil tertawa juga.
Kebetulan Aninda duduk di palimh ujung. Dari balik jendela angkot yang sudah bergerak, Aninda menatap Gibran. Lagi lagi Gibran juga menatapnya. Aninda terus menatap Gibran sampai angkot menjauh.
Biarlah untuk terakhir. Mungkin kita ngga akan jumpa lagi, batin Aninda sedih.
"Ternyata Gibran cowo yang setia ya," cetus Dita.
"Marsha memang beruntung," tambah Dewi merespon.
"Nih, aku punya foto mereka berdua saat ketemuan. Sepertinya sengaja di share di grup kelas, agar Anye sama Kalia ngga kecentilan sama Gibran," kata Dita sambilmenunjuklan foto di galery hpnya.
"Kamu dapat dari mana?" sambar Dewi heran sambil memfokuskan tatapannya di hp Dita.
"Di kasih Erna yang sekelas sama Gibran," jelas Dita.
Risma juga menatap foto itu bareng Aninda. Dia melirik Aninda yang tidak bereaksi apa apa. Tetap datar seperti biasa.
Padahal dalam hati Aninda rasanya ngga karuan. Tapi dia berusaha menutupinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Putri Handayani
semangat kak💪💪💪
2022-04-05
1
pat_pat
pertamax
2022-03-03
1