Martin yang pantang menyerah

Ternyata Bu Meli yang di tunggu tunggu ngga juga memasuki kelas. Sudah lewat lima belas menit dari waktu seharusnya beliau mengajar. Teman teman sekelasnya langsung memutuskan kalo sekarang adalah jamkos alias jam kosong.

"Nyesal capek capek nulis. Pe er Sejarahnya ngga dikumpul juga. Bu Melinya juga ngga datang," omel Risma sambil menatap tulisannya yang kurang rapi karena pengen cepat selesai di kerjain.

Aninda hanya tertawa melihat teman sebangkunya sedang memijat sendiri jari jari kedua tangannya.

Wajarlah kalo tangannya pegel banget. Itu juga baru separuh dari jawaban yang disalinnya. Bu Meli kalo ngasih tugas ngga main main. Aninda aja mengerjakannya sampai hampir dua jam. Duduk cantik di depan meja belajarnya.

"Aku pinjam bawa pulang ya, ngga pa pa kan," ucap Risma cuek sambil mengambil buku pe er sejarah Aninda dan menyimpannya di tasnya.

"Minggu depan jangan lupa dibawa, ya," balas Aninda ringan.

"Besok aku balikin. Lama amat sampe minggu depan," pungkas Risma cepat.

"Percaya," tawa Aninda berderai.

Teman temannya yang lain pun ada yang sibuk mengobrol, maen hp atau diam diam keluar ke kantin. Mumpung jamkos.

"Maaf mengganggu saudara saudaraku," tiba tiba Martin masuk ke kelas sambil membawa gitarnya bersama dayang dayangnya tiga R. Ada Rudi, Rio, dan Rino.

Firasat Aninda udah ngga enak aja melihat kedatangan mereka. Risma pun tersenyum menggodanya.

"Ada abang Martin, Nin," ganti Risma mentertawakannya.

"Mau apa lagi dia," keluh Aninda sambil memejamkan mata.

Sudah berhari hari yang lalu Martin selalu menitipkan salam untuknya. Martin ngga jelek jelek amat. Tapi kalo memang ngga ada rasa, gimana coba.

Aninda memijat keningnya pusing. Selama ini Aninda ngga pernah menolak Martin tegas. Dia takut menyinggung perasaan temannya itu. Tapi segala salam yang dikirimkan ngga pernah ditanggapi Aninda.

Tapi bukannya menyerah, malah terus saja maju. Karena nurut Martin, Aninda masih malu bilang iya. Padahal sejatinya Aninda meneriakkan kata penolakan untuk dirinya

Gila. Cowo ini terlalu pede. Aninda benar benar pusing.

"Adek Aninda, abang Martin pengen nyanyi ya. Ini tentang perasaan abang untuk adek Aninda," seru Martin pede.

Teman teman Aninda yang ada di kelas langsung riuh bersorak sorai.

Aninda makin stres jadinya. Risma bukannya membantu, malah ikut mengelu ngelukan Martin seperti yang lain

Teganya, batin Aninda kesal. Tapi dia lebih kesal lagi melihat senyum lebar Martin yang tertuju padanya.

Jari jarinya pun bergerak memainkan lagu Cinta Luar Biasa dari Andmesh pada gitar yang dibawanya.

waktu pertama kali

Kulihat dirimu hadir

Rasa hati ini inginkan dirinu

Hati tenang mendengar

Suara indah menyapa

Geloranya hati ini tak ku sangka

Rasa ini tak tertahan

Hati ini selalu untukmu

Terimalah lagu ini dari orang biasa

Tapi cintaku padamu luar biasa

Aku tak punya bunga

Aku tak punya harta

Yang kupunya hanyalah

Hati yang setia tulus padamu

Ternyata suara Martin lumayan juga. Petikan gitarnya juga halus dan indah. Bahkan untuk beberapa baris akhir, teman temannya pun ikut menyanyikan bagaikan paduan suara.

Begitu lagu usai dinyanyikan Martin, teman teman sekelasnya, bahkan teman teman sekelas Martin dan tiga R nya bertepuk tangan riuh.

"Terima!"

"Terima!"

"Terima!"

Aninda makin pusing mendengar teriakan teman temannya. Risma pun ikut tersenyum lebar.

Aninda ingin bisa keluar dari kelas, tapi pintu kelas tertutup rapat dengan tubuh tubuh mereka.

Aninda hanya bisa diam sambil pura pura membuka buku catatannya, dan ngga mempedulikan teriakan teman temannya dan tatapan Martin padanya.

Aninda berjanji dalam hati, mulai detik ini dia akan bersikap tegas pada Martin. Bodoh amat dengan reaksinya. Selama ini Aninda menghargai perasaan Martin. Tapi tidak untuk nanti, karena cowo ini udah benar benar tidak menghargainya, bahkan mempermalukannya.

"Ada apa ini?!"

JREENGG

Suara Bu Meli yang menggelegar di depan pintu kelas membuat kerumunan langsung bubar. Suasana heboh penuh sorak sorai mendadak jadi hening.

"Kalian ngapain di sini?" bentak Bu Meli pada Martin dan teman temannya.

"Maaf Bu," kata Martin langsung ngacir diikuti trio R. Teman teman di kelas mengulum senyum melihat tingkah konyol Martin.

Bu Meli hanya menggelengkan kepalanya, merasa aneh kenapa siswa kelas sebelah membawa gitar ke kelasnya.

"Kumpulkan tugas Sejarah. Ngga ada alasan belum dikerjakan. Saya sudah memberikan cukup waktu untuk kalian mengerjakannya di kelas," katanya sambil memasuki kelas.

JDDERRR!

Risma pun menatap buku pe ernya dengan penuh rasa sesal di dada. Kenapa tadi malah ikut ikutan menggoda Aninda, batinnya lagi mengomel.

Sekarang ganti Aninda yang tersenyum meledeknya sambil menerima buku pe er sejarahnya dari Risma.

"Keluarkan kertas, sekarang kita ulangan!" titah Bu Meli tanpa perasaan.

DUUAARRR

"HAAAHHH!"

"HAAAHHH!"

Seperti bunyi halilintar dan teriakan yang sahut menyahut terdengar nyaring di dalam kelas.

"Masih ribut, saya kasih lima puluh soal," ancam Bu Meli sadis. Dan ancaman itu berbuah manis. Suasana kelas berubah hening dan senyap.

Satu jam berlalu. Bel istirahat pun berbunyi. Bu Meli pun meninggalkan kelas.

"Untung cuma sepuluh soal," keluh Risma sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja. Pegal banget jari jari tangannya. Entah benar atau salah jawaban yang ditulisnya. Dia benar benar ngga ada persiapan untuk membuat catatan kecil favoritnya.

Aninda tertawa kecil melihatnya.

"Ke kantin yuk, Nin..Gue lapar," kata Risma setelah beberapa lamanya sambil mengangkat kepalanya.

"Ngga ah. Aku mau ke perpus," tolaknya sambil menggelengkan kepalanya. Aninda lebih memilih menyimpan uang jajannya. Ada novel terbaru yang mau dibelinya. Meminta pada kedua orang tuanya ngga mungkin

dilakukannya. Aninda cukup tau diri.

"Perpus mulu. Kamu ngga ngerasa lapar?"

Aninda tersenyum melihat ekspresi kesal temannya. Tanpa kata dia pun pergi meninggalkan Risma.

"Kamu mau nitip, ngga?" tanya Risma menawarkan.

"Ngga Ris," jawab Aninda sambil menoleh bentar.

Tapi baru beberapa langkah meninggalkan kelas, Aninda malah terkejut melihat Gibran yang berjalan ke arahnya. Dadanya mulai berdesir aneh saat menyadari arah tatapan Gibran padanya.

Dengan gugup Aninda menundukkan wajahnya sampai Gibran melewatinya. Detak jantungnya semakin berpacu.

Ada senyum tipis tercetak di wajah tampan Gibran. Tapi dia terus berlalu meninggalkan Aninda.

Terpopuler

Comments

Lady Meilina (Ig:lady_meilina)

Lady Meilina (Ig:lady_meilina)

😍😍😍

2022-06-02

1

~🌹eveliniq🌹~

~🌹eveliniq🌹~

mampir untuk memberikan support

2022-02-26

2

It's me

It's me

lanjut kan

2022-02-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!