Gibahin Gibran

Sudah beberapa hari ini Aninda tidak melihat Gibran. Di sekoalh maupun di rumahnya saat dirinya berangkat atau pulang les. Aninda merasa aneh dengan dirinya. Dia merasa sangat sepi dan seolah hanya sendiri saja di antara banyaknya orang. Apakah sudah segitunya dia menyukai Gibran?

Wajar Aninda merasa senang diperhatikan oleh seorang Gibran. Dia sangat tampan juga terkenal di kalangan teman teman perempuanya. Siapa pun pasti bangga diperhatikan cowok se eksklusive Gibran.

Tapi Aninda ngga berani menaruh harapannya terlalu tinggi. Mungkin Gibran hanya tertarik sesaat padanya.

"Melamun, Nin?" tanya Risma membuat Aninda tersadar. Dia pun tersenyum. Saat ini mereka berada di perpus.

"Bukunya dibaca, buk," tegur Risma menyindir membuat Aninda tersenyum lagi.

"Eh, Gibran kok ngga kelihatan ya? Udah hampir seminggu," bisik Risma pelan. Takut ada yang dengar. Bisa bahaya. Apalagi di perpus sangat sepi. Suara pulpen yang jatuh saja bisa membuat para pembaca buku mengangkat kepalanya dan mencari siapa yang membuat keributan dengan tatapan horor.

"Nggak tau," jawab Aninda balas berbisik.

Itu yang mau aku tanyakan ke kamu, lanjut Aninda dalam hati.

"Kirain kamu tau. Siapa tau aja Gibran pamitan sama kamu sebelum pergi," bisik Risma lagi sambil menahan tawanya.

Aninda hanya menggelengkan kepalanya dan menyibukkan dirimya membaca buku biologi di depannya. Padahal ngga ada yang masuk di kepalanya. Pikirannya sama sekali ngga bisa menyerap isi buku itu. Kemana Gibran adalah topik yang ingin dia ketahui sekarang. Siapa tau ada yang menggibahkannya di perpus ini. Karenanya Aninda memasang kupingnya sedari tadi. Tapi ngga ada yang menyebutnya sama sekali.

Sepertinya dia salah tempat. Harusnya dia ke kantin. Pasti di sana topik Gibran yang menghilang akan mudah di dapatnya. Tanpa sadar Aninda membuang nafas kesal.

"Kamu kenapa?" tanya Risma heran dan menatapnya penuh selidik.

"Ngga pa pa," elak Aninda. Dasar, harusnya dia tetap tenang agar Risma ngga curiga.

"Nanti gue cari info Gibran dimana," kata Risma lirih, seakan tau apa yang Aninda pikirkan.

Aninda hanya tersenyum tipis untuk menyembunyikan perasaan senangnya.

"Kantin yuk, aku lapar," ajak Risma memelas.

Aduh, padahal lagi nabung, keluh Aninda dalam hati.

Tapi tiba tiba dia teringat pikirannya tadi, ke kantin memcari informasi tentang Gibran.

"Oke," jawabnya sambil bergerak menyimpan buku ke rak. Risma menatap Aninda senang. Jarang jarang Aninda mau ikut ke kantin. Padahal Risma sering mentraktirnya.

Tapi Aninda kembali kecewa. Ngga ada yang membicarakan Gibran di kantin. Apa nama itu juga terlarang selain di perpus dan di kantin?

Aninda pelan pelan mengunyah baksonya. Ngga begitu berselera. Ngga mungkin kan dia pindah. Kan udah kelas 9 juga. Bentar lagi mereka lulus dan masuk SMA. Aninda terus memikirkan berbagai asumsi yang kemudian dia bantah sendiri.

"Aku punya no hpnya Gibran," kata Risma lirih membuat Aninda mengangkat wajahnya.

Kok kamu bisa tau? batin Aninda penuh tanya.

"Kamu mau?" tawar Risma dengan tatapan jahilnya.

Reflek Aninda menggelengkan kepalanya membuat Risma tersenyum lebar.

"Yeeiii malu malu," tawa Risma makin menjadi sampe dia keselek dan batuk batuk.

"Minum. Telan dulu makanannya baru ngomong," tukas Aninda sambil menyodorkan segelas es teh manis pada Risma yang langsung menerimanya.

Aninda tersenyum lebar melihat wajah kemerahan temannya karena menahan sakit di tenggorokannya akibat keselek.

*

*

*

Aninda hanya diam saja ketika para sepupunya saling menceritakan hal hal yang seru. Ada yang abis shopping tas bermerk. baju bermerk, bahkan

yang abis liburan. Kan jumat sabtu libur. Aninda hanya mendengarkan saja.

Minggu sore ini keluarga besar mereka arisan di rumah Deby. Mama dan papanya sudah berkumpul dengan para orang tua di ruang keluarga. Sedangkan Aninda dengan sepupunya yang perempuan berkumpul di halaman samping. Sepupu yang laki laki mungkin di kamar abangnya kak Debi di lantai dua.

Mereka memiliki cukup banyak sepupu. Walaupun Aninda ngga cukup akrab, tapi mereka cukup saling mengenal.

"Aninda, kamu satu sekolah kan sama Gibran?" tanya Debi tiba tiba beralih padanya.

"Iya," jawab Aninda sambil menatap sepupunya heran.

Tumben, batinnya.

"Hebat loh dia, juara satu tingkat nasional cabang renang," seru Debi penuh semangat.

Nah Lo! Aninda jelas kaget mendengarnya. Di cari informasinya kemana mana ngga ketemu, malah nyantel di sini, omelnya dalam hati.

"Ooh," sahut Aninda terkesan ngga acuh. Padahal aslinya ngga tau sama sekali.

"Kamu pernah sekelas ngga sama dia?" tanya Debi seakan baru sadar kalo yang ditanya ngga semangat jawabnya.

"Engga," jawab Aninda jujur.

Serentak Radina, Maya, Kamila, Zifa, dan Safa tertawa.

"Pantasan kamu bengong aja," kekeh Safa yang sebaya dengan Debi. Kalo Radina, Maya dan Kamila lebih tua setahun dari Debi. Yang seumuran dengan Aninda hanya Zifa.

"Yah, padahal aku mau minta no hpnya buat Reva," ujar Debi agak kecewa.

"Kamu punya ngga nomernya?" tanya Zifa setengah tertawa. Kasian juga melihat wajah bingung Aninda.

Pastinya Gibran ngga mungkin berteman dengannya. Nggak kelasnya. Bukan Zifa merendahkan Aninda, tapi Aninda bukan seperti dirinya dan sepupunya yang laen. Aninda ngga pernah ke club. Dia juga ngga suka shopping, padahal orang tuanya ngga mungkin ngga memberikannya uang. Aninda lebih suka menemani nenek mereka di rumah. Fix, Aninda anak rumahan.

Walaupun Zifa suka nongkrong di kafe dan club, dirinya, Safa dan Debi masih belum bisa mendekati Gibran dan teman temannya. Karena kelompok Gibran bukan kaleng kaleng. Padahal beberapa kali mereka bertemu, tapi susah untuk kenalan atau dekat dengan mereka. Seakan Gibran dan teman temannya terkesan sombong dan memilih dalam berteman. Apalagi dengan Aninda. Wajar kalo Aninda hanya sekedar tau sosok Gibran, karena Gibran kan terkenal. Terkenal tampan dan super tajir. Anak tunggal lagi. Apalagi mereka ngga pernah sekelas. Kelihatanya Gibran juga ngga ada dalam pikiran sepupunya yang selalu belajar dan ngendap di rumah ini.

"Aku ngga punya," jawab Aninda jujur. Karena setelah keselek tadi, Risma lupa memberikan nomer hp Gibran padanya.

Mengingat Risma membuat Aninda sekuatnya menahan senyumnya. Takut dikira gila sama sepupunya, senyum senyum sendiri.

Segelas es teh tadi ngga cukup buat ngobatin rasa perihnya di tenggorokan Risma. Aninda tadi yang memesankan segelas es teh manis lagi untuknya. Apalagi yang dimakannya adalah rujak bebeg yang level pedasnya lima cabe rawit yang berwarna merah terang. Semakin mantap lah rasa perih di tenggorokan Risma.

"Reva naksir sama Gibran? Brondong lah si Gibrannya," cela Radina kemudian terkekeh bersama Maya.

"Ngga apa, si Gibran brondong yang berkualitas," bela Debi santuy.

Mereka pun kompak tertawa.

"Reva juga aslinya seumuran dengan Aninda dan Zifa. Dia terlalu cepat masuk SD nya," jelas Debi membuat mereka menggut manggut.

"Kali gitu ngga usah dipanggil kakak, dong. Kan seumuran," kekeh Zifa.

"Eits, tetap dong. Dia masih tua bulan dari kalian," tepis Safa dengan senyum lebar.

"Yang sopan adik kecil," tambah Maya ikut tersenyum geli.

"Gibran bulan apa ya lahirnya. Cariin infonya ya, Ninda," rengek Debi membuat Aninda tanpa sadar mengusap wajahnya.

"Ngga mungkin bisa," tandas Kamila ikut berkomentar karena kasian melihat wajah Aninda yang sudah kebingungan mau menolak.

Mereka pun kembali terkekeh, bahkan Debi pun juga sambil menggelengkan kepalanya, pasrah, karena ngga mungkin dapat info apa pun tentang Gibran dari Aninda.

Gibran, kita gibahin kamu loh, batin Aninda geli campur senang.

Terpopuler

Comments

Putri Handayani

Putri Handayani

pindah di sini kak semangat💪💪💪

2022-04-05

1

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

mantap

2022-03-19

2

~🌹eveliniq🌹~

~🌹eveliniq🌹~

hadir lagi nih support selalu

2022-03-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!