Patah Hati

Rasanya lega melihat Gibran sudah kembali ke sekolah. Perasaan sepi dan sendirinya lenyap begitu saja. Kenapa begini? Aninda ngga ngerti. Gibran membuat perubahan cuaca dengan cepat dalam hatinya.

Mereka bertatapan ketika Aninda akan memasuki kelas nya pagi ini. Gibran juga. Tapi kali ini Aninda memberanikan diri memberikan seulas senyumannya sebelum ngacir ke dalam kelas. Ada gelenyar aneh yang ngga dapat dideskripsikan di dadanya. Apalagi tadi Gibran juga membalas senyumnya. Tanpa dia sadari, senyum di bibirnya terus mengembang manis.

"Senyum senyum aja, abis ketemu Martin ya," goda Reta yang sedang piket.

Apaan sih, rutuk Aninda sebel dalam hati. Senyumnya pun langsung surut. Suasana indah yang ada di hatinya menguap begitu saja mendengar nama Martin.

Tanpa menjawab, Aninda meletakkan tasnya, dan mengambil sapu di pojok kelas. Dia piket juga hari ini.

"Udah kamu terima belum?" tanya Sari nyinyir.

"Nggak," jawabnya ketus sambil terus menyapu. Para cowo kemarin sudah meletakkan kursi kursi di atas meja, memudahkan para cewe untuk menyapu.

Sari dan Reta ngikik melihat ekspresi kesal Aninda. Memang Martin tampangnya lumayan, pintar gitaran. Tapi cowo itu cukup norak. Ngga nyangka tipenya adalah Aninda. Aninda beneran dapat musibah.

"Tadi aku lihat Gibran. Tuh anak kemana aja ya, seminggu kayaknya ngilang," kata Reta mengganti topik.

"Katanya lomba lagi. Juara satu kayaknya," tambah Sari menanggapi.

Gile, ternyata selain sepupunya, mereka tau juga tentang Gibran.

"Tadi malam aku ngelihat dia di twenty one sama Marsha. Mereka belum putus ya," lanjut Sari lagi.

DEG

Rasanya hati Aninda sakit mendengarnya. Ternyata mereka masih pacaran. Terus dia dianggap apa sama Gibran? Salah hatinya mulai tercubit dengan tatapan Gibran.

"Marsha, jauh jauh ke sini hanya untuk nemuin Gibran. Gilaa.... cinta banget kayaknya," seru Reta heboh.

"Cowo seperti Gibran ngga boleh dibiarkan lama lama sendiri. Banyak diincar pelakor," tandas Sari lagi yang diangguki Reta.

DEG

Hati Aninda rasanya ditusuk ribuan jarum. Perih.

Dia bukan pelakor, bantahnya dalam hati.

Bukan.

"Aninda, tolong kamu lap in mejanya ya. Sapunya biar aku aja," kata Reta membuyarkan lamunan Aninda.

"Oke."

Aninda pun menyerahkan sapunya pada Reta dan mulai mengambil sulak untuk membersihkan debu di atas meja.

Aninda merasa kecewa. Bariu saja dia mencoba memberikan senyumnya pada Gibran. Dan dibalas manis cowo itu. Tapi kenyataan yang baru saja dia dengar membuat kuncup di hatinya ikut luruh. Ini namanya patah hati? Sakit sekali rasanya.

"Anye yang satu kelas dengan Gibran biar nyaho. Dikirain Gibran single," kekeh Reta senang.

"Kasian ya. Sok kecantikan tuh anak," tambah Sari dengan seringai jahatnya.

Anye memang gosipnya lagi mendekati Gibran. Kalia juga. Siapa sih yang ngga mau menggantikan posisi Marsha. Aninda pun kepengen karena sudah merasa Gibran memberikan tanda tanda suka padanya. Tapi dia harus berhenti, kalo diteruskan akan dicap pelakor juga sama teman temannya.

Rasanya Aninda ingin cepat cepat menyelesaikan tugas piketnya. Sudah ngga mood lagi mendengar obrolan kedua temannya.

*

*

*

"Muram aja wajah Lo," ganggu Risma saat keduanya sedang istirahat di kelas. Ke perpus pun Aninda ngga minat. Dia hanya ingin duduk di dalam kelasnya saja. Kalo keluar kelas, Aninda ngga tau gimana dia harus bereaksi seandainya bertemu Gibran.

"Udah tau kalo Marsha kemarin malan ketemu Gibran?" tanya Risma hati hati.

Aninda menggelengkan kepalanya. Belum siap jujur dan menapilkan ekspresi terlukanya.

Risma membuang nafasnya kasar.

"Tuh cowo udh putus apa belum, sih. Kalo belum kenapa tebar pesona terus. Mentang mentang ganteng," kesal Risma sambil menutup buku pe er matematika Aninda yang sudah sekesai disalinnya.

Aninda sudah ngga mood untuk berkomentar.

"Kantin yuk," ajak Risma sambil berdiri. Pegal pinggangnya kelaaman duduk. Dia pun menggerak gerakan pinggangnya ke kanan dan ke kiri.

"Aku pengen di kelas aja," tolak Ainda dengan senyum tipisnya.

"Mau nitip nggak?"

"Nggak."

"Oke," katanya sambil berlalu pergi. Dia harus cepat cepat, jam istirahat akan berakhir sebentar lagi.

Aninda mengambil botol minumnya dan langsung menenggakknya sampai isinya berkurang setengah.

Masih teringat ucapan Sari, kalo Marsha pindah karena melanjutkan karir modelnya. Gadis itu lebih tinggi darinya. Dan cantik tentu saja. Dia sudah jadi model dan selebgram yang cukup terkenal ketika kelas satu SMP. Mungkin karirnya akan lebih cepat berkembang kalo dia stay di ibukota.

Karena itu dia pindah. Apalagi mereka masih SMP. Mereka terpaksa pisah dengan perasaan lagi cinta cintanya. Gimana kalo Aninda bisa masuk diantara mereka. Setiap Marsha mebghampiri Gibran, pasti Gibran akan melupakannya saat itu juga.

Aninda membuang nafasnya kasar. Di berpikir terlalu jauh. Aninda sudah searching di gugel, kalo cowo hanya suka menatap tanpa melakukan tindakan, dia hanya iseng. Menyakitkan. Di kala hatinya sedang senang senangnya dengan berjuta harapan, langsung dilempar ke dalam jurang yang sangat dalam.

"Kamu udah bawa baju renang?" tanya Risma yang sudah kembali dengan dua teh botol dan empat buah roti.

"Sudah."

Nanti sore mereka akan ujian praktek renang.

"Nih makan," kata Risma sambil menyodorkan rotinya.

"Kenyang, makasih," tolaknya lagi. Selain hilang selera dia beneran udah kenyang.

"Nanti kan kita renang. Kamu harus makan," kata Risma memaksa.

"Buat nanti aja ya," kata Aninda tetap menolak.

"Ya udah," kata Risma menyerah. Risma menatap temannya penuh selidik. Apa Aninda terganggu dengan berita Gibran yang dibawanya? Benaknya mulai bertanya.

Tapi Aninda terlihat biasa saja. Dia serius membaca bukunya.

"Kamu belajar terus," komentar Risma sambi menggigit rotinya.

Aninda hanya tersenyum sambil terus memandang bukunya.

Risma menatapnya diam diam dengan pikiran heran. PT Intan Perkasa bukan nama kosong. Tapi kenapa Aninda begitu sederhana. Risma pernah bertemu dengan sepupunya Zifa yang beda sekolah dengan mereka. Sangat modis dengan selalu diantar jemput mobil mewah. Tapi Aninda lebih sering terlihat jalan kaki. Saat ke rumahnya pun, Risma menyembunyikan ketekejutannya. Ngga jelek, tapi rumah itu terlalu sederhana untuk cucu dari pemilik PT Intan Perkasa, PT yang bergerak di bidang pertambangan dan meraja di dalam negeri serta sudah memiliki beberapa cabang di luar negeri.

Tapi Aninda yang tertutup soal keluarganya membuat Risma segan untuk bertanya. Soal perasaannya dengan Gibran pun Risma cuma menerkanya saja. Aninda terlalu rapat menyimpan rahasianya. Padahal Risma selalu menceritakan semuanya padanya.

Tapi Risma betah berteman dengannya. Dia sangat pintar, baik dan juga tidak pelit dalam membagikan ilmu, pe er sampai contekan ulangan. Risma jadi nyengir mengingatnya. Apalagi yang terakhir. Aninda dengan santai memiringkan kertas ujiannuya agar mudah di contek Risma. Sayangnya mereka ngga bisa melanjutkan di SMA yang sama karena dia harus mengikuti papinya pindah tugas.

Terpopuler

Comments

Lee

Lee

Jadi keinget dulu suka disenyumin kaka kelas,tiap ktemu dledekin..ujung2x cma bwt iseng2an kn asem.
q Ge'eR nya udah stengah mati itu tau thor !
eh...jdi curhat ya..

2022-02-27

4

Lenkzher Thea

Lenkzher Thea

6 like hadir di sini thor, lanjut

2022-02-27

2

Fenti

Fenti

Mentari mampir lagi 😊😊

2022-02-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!