"Meera, bantu mbak kasirnya gih. Kasihan tuh ramai." Almeer memangkas kalimat Genta.
"Iya, Mas." Tak banyak bicara, Ameera langsung beranjak.
Tatapan Almeer berpindah pada Genta. Pria paruh baya itu sudah paham kemudian ia tersenyum pada Sora.
"Oom balik kerja dulu, ya. Takut dipecat sama Bosnya." Pamit Genta lalu beranjak pergi.
"Iya, Oom." Sora mengangguk dan tersenyum mengantar kepergian Genta.
Sora kembali menatap Almeer, "Kamu kenal adikku, Al?"
"Belum, hanya pernah lihat dan denger-denger tentang dia aja." Jawab Almeer.
"Gak nyangka ya kalau dia adek aku?" Tebak Sora.
Almeer mengangguk.
"Dia agamis banget dari kecil, anggun, lembut. Sifat dan perilakunya mamaku banget deh, beda sama kakaknya yang pecicilan ini." Kata Sora.
Almeer tersenyum, "Kamu juga punya banyak kelebihan yang gak dimiliki adikmu atau orang lain, Ra."
"Oya? bantu aku menemukannya." Pinta Sora.
"Kamu tuh, aneh...,"
"Aneeeh?" Ulang Sora tak terima.
"Bukan bukan, unik maksudnya." Ralat Almeer kemudian.
Sora menggeleng, "Kamu benar, kok. Emang aku cewek aneh."
"Hei, jangan ngambek gitu doong." Almeer membujuk.
Sora menatap Almeer, "Aku gak ngambek, Al. Emang aku sadar sendiri kalau aku ini aneh, gak pinter, manja dan nyusahin orang." Ia menutup dengan menghela nafas.
Almeer diam dan sudah siap mendengarkan keluh kesah wanita didepannya itu.
"Dari dulu semua orang menilai aku dari fisik dan uangku aja. Dan emang betul, aku cuma mengandalkan itu semua untuk mendapatkan teman atau apapun yang aku mau. Sebenarnya aku hanya cewek tulalit yang berotak kosong." Lanjut Sora.
"Lalu. bagaimana si otak kosong ini bisa menyelesaikan studinya di Harvard University? ku rasa disana bukan kampus abal-abal yang bisa di money politik-kan." tanya Almeer.
"Kamu tahu aku lulusan Harvard?" Sora balik tanya.
"Aku sempat mendengarnya dulu di kampus, Sky punya saudara kembar yang menempuh MBA di Harvard."
"Ooh...," Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebenarnya aku cuma main-main ambil study di Harvard. Mana ku tahu juga kalau aku bakal keterima disana. Keadaan memaksa otakku untuk berfikir dan bekerja keras disana, Al. Sedih aku tuh." Bibir Sora mayun semayun-mayunnya mengingat kerja kerasnya.
"Jadi kamu lulus dari sana karena usahamu sendiri kan?"
"Gak juga sih, banyak bantuan sana sini dan itupun nilaiku gak bagus-bagus amat. Yang ku syukuri aku bisa lulus aja udah cukup dan bisa balik lagi kesini." Sora cekikikan.
Almeer tersenyum melihat sikap Sora yang tiba-tiba berubah 180°.
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika seorang pelayan mengantarkan pesanan Almeer dan Sora.
"Makasih ya, Mas." Ucap Almeer dan Sora sebelum pelayan itu pergi meninggalakan meja mereka.
"Sama-sama." Ucap pelayan itu kemudian pergi.
"Sebulan aku kerja di perusahaan itu rasanya kesiksa banget, Al! Mereka banyak yang gak suka aku, banyak yang ngomongin kejelekan aku. Memang telingaku udah sering dari dulu denger hal seperti itu, tapi tetep aja sakit banget!" Keluh Sora.
"Menurutmu apa yang membuat mereka membicarakanmu?" tanya Almeer.
"Kebodohanku, Al." Jawab Sora, ia mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkan jawabannya. "Aku gak suka dengan kerjaanku, aku gak suka dengan sesuatu hal yang ribet, bikin pusing."
"Trus, kenapa kamu bisa pilih pekerjaan itu?" tanya Almeer.
"Karena kamu." Jawab Sora.
"Aku?"
Sora mengangguk, "Sebenarnya aku membuat yang meminta papa untuk memperkerjakanku disini biar aku bisa cari kamu. Tapi aku pengennya jadi direktur, Al. Yang cuma tinggal tunjuk-tunjuk doang. Eeh, malah dikasih jabatan kayak gini. Malah ditambahin aturan gak boleh ada yang tahu siapa aku. Kan bikin ribet."
"Papa kamu pengen kamu belajar mandiri, Ra." Ujar Almeer. "Kita gak tahu berapa lama orangtua kita ada di dunia ini. Mereka pasti ingin membekali anak-anaknya ilmu dan harta mereka. Begitu juga dengan orangtua kamu, Ra. Bisa saja mereka meninggalkan warisan harta yang melimpah untuk kamu, tapi kalau kamu gak bisa mengendalikannya, harta itu akan hilang sia-sia dan kamu akan jatuh dalam penyesalan. Ketika kamu terpuruk, orangtuamu sudah tidak ada. Bagaimana?"
Sora bergidik dan menggeleng cepat.
"Udah waktunya kamu bekerja keras untuk masa depanmu, Ra. Aku tahu, kamu bukan Sora si otak kosong seperti yang orang lain bicarakan. Aku tahu kamu orang yang gigih. Berusahalah sedikit lagi, pahami kemana keinginanmu dan lebih pekalah dengan orang-orang sekitarmu. Kamu pasti bisa, Ra."
"Al...,"
"Kamu gak bisa gini terus, Ra. Harta yang melimpah membuatmu menerima banyak sanjungan. Tapi, bagaimana jika semua harta yang kamu punya menghilang?"
Sora terdiam.
"Makan dulu, biar kuat mikirnya." Almeer mendorong piring berisi pizza kehadapan Sora.
"Jahat, ih!" Gerutunya sambil mengambil satu potong Pizza.
Almeer tertawa melihat Sora, "Kamu orang yang jujur, Ra. Aku iri dengan itu. Kamu bisa mengekspresikan semua perasaanmu dengan lepas."
"Memang kamu enggak? bukannya itu mudah? tapi jangan deh, orang lain melihat kejujuranku itu seperti kebodohan. Jangan iri, jangan!"
"Jangan pedulikan kata orang, kamu punya kepribadian yang baik. Walau sedikit unik."
Sora hanya melirik Almeer dan menghabiskan sisa potongan pizza ditangannya. Keduanya diam dalam pikiran mereka masing-masing sambil menikmati hidangan dan suara musik yang mengalun indah dari dalam cafe.
"Apa aku bisa melewati ini semua, Al?" Sora membuka pembicaraan lagi setelah sekian lama terdiam menikmati minumannya yang sudah hampir habis.
"Pelan-pelan, Ra. Pahami aja dulu. Allah membuatmu dalam situasi ini tidak mungkin tanpa alasan. Mungkin ini salah satu caraNya untuk membuatmu belajar bangkit dari rasa sakit, membuatmu menjadi wanita kuat?"
Sora terdiam kembali dan mencoba memahami semua kalimat Almeer.
***
Bunyi dari petikan ujung bulpoin yang sengaja dimainkan ibu jari Almeer menjadi satu-satunya suara yang ada di ruang tengah rumahnya. Alunan musik dari cafe sudah berhenti beberapa jam lalu dan menyisakan keheningan.
Jam digital menunjukkan angka 00.05 tengah malam, hari dan tanggal sudah berganti namun pria yang duduk diatas sofa itu masih serius menatapi beberapa lembar kertas yang sedang ia pegang. Matanya masih tegas mencermati sebuah foto yang terlampir dilembaran itu.
"Ehem!"
Sebuah deheman dari Genta tak membuatnya terkejut, ia hanya melirik pamannya yang ikut duduk di sisi sofa yang yang lain.
"Mau nikung tante Sekar di sepertiga malam, Om?" tanya Almeer, ia meletakkan kertas yang sedari tadi ia pegang diatas meja.
"Dibaca juga akhirnya." Kata Genta.
Almeer mengangguk.
"Gimana? cocok?" tanya Genta.
"Entahlah, Oom." Almeer menyandarkan tubuhnya di punggung sofa.
"Kamu nyari yang gimana sih, Al? dicariin papa mamamu gak mau, banyak yang udah ngirim CV juga gak dilihat, nyari sendiri gak dapet dapet. Mau niat ngelajang aja kayak Oom ini?"
"Oom Genta kan gak niat, tapi udah takdir. Diralat Oom."
Genta gemas dan sudah mengepalkan tangan meninju udara untuk melampiaskan kekesalannya.
"Cewek tadi itu, gimana?" tanya Genta, "Kakaknya Mina."
"Kenapa dia?"
"Cantik."
"Namanya juga cewek, Oom."
"Tipe kamu?"
"Bisa juga."
"Kamu suka dia?"
"Bisa jadi."
Genta megeratkan giginya mendengar jawaban Almeer yang selalu menguji kesabarannya. "Jawab yang bener napa sih, Al?"
"Udah bener, Oom."
Genta mencondongkan badannya kedepan. "Jadi, pilih kakaknya apa adiknya?"
"Hahahaha, aku ini siapa Oom sampai harus milih mereka." Almeer berdiri dari duduknya. "Mereka itu siapa, dan aku ini siapa. Ngebayangin aja aku gak berani, Oom."
"Papa sama mamamu memang gak sekaya mereka, Al. Tapi kan usaha papa mamamu cukup bagus, kamu pewaris—"
"Enggak, Oom. Aku hanya seorang Almeer, Sagara Almeer."
Mata tajam Almeer cukup membungkam mulut Genta hingga tak bisa memberikan sanggahan.
"Aku ke kamar dulu, Oom." Almeer mengambil CV milik Mina dan meletakkannya diatas meja kerjanya kemudian pergi ke lantai dua.
Ia tak langsung masuk ke kamarnya, ia berdiri dibalik jendela balkon lantai dua menatapi rumah Sora yang ada berada jauh didepan sana. Ia berulangkali menghela nafas dengan sorot mata penuh keresahan.
***
Jarum jam belum menunjuk sepenuhnya ke angka tujuh, namun Sora sudah sibuk di meja kerjanya. Ia terlihat fokus mengerjakan sesuatu dengan teliti. Badannya hilir mudik ke depan komputer ke tempat printer ke mesin fotocopy kembali ke mejanya menata lembaran-lembaran kertas.
"Tumbenan udah datang sepagi ini, Ra?" tanya Laura yang selalu menyempatkan mampir ke meja kerja Sora untuk memastikan persiapan Sora di pagi hari.
Sora mengangguk, ia tak mengangkat kepala dan hanya sibuk merapikan kertas-kertas diatas meja. "Mulai sekarang aku harus fokus, La!" Ujar Sora.
Laura tersenyum, "Beneran nih?"
"Iyaaa...," Sora menunjukkan buku agendanya dan beberapa dokumen pada Laura. "Coba lihat, deh. Aku udah revisi dari jam enam pagi tadi."
Laura membaca lembar demi lembar dokumen-dokumen yang diberikan Sora.
"Iya, nih. Udah cocok kok, sesuai semua. Nanti kalau rapat jangan bengong aja, di catat. Oke!"
Sora mengacungkan jempolnya.
"Kenapa tiba-tiba jadi gini, Ra?"
"Takut di pecat. Hahahaha." Jawab Sora dengan tawanya.
"Ooh, sekarang butuh uang kamu?"
Sora terkekeh, "Udah, aku mau nyiapin berkas di meja Bos keling dulu." Ia beranjak meninggalkan meja kerjanya dan masuk ke ruangan Prany.
Kali ini Sora berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik. Bukan hanya Laura yang terkejut dengan sikap Sora yang tiba-tiba berubah, Prany dan karyawan lain yang selalu direpotkan Sora ikut terheran-heran.
Walau masih banyak kesalahan dan masih banyak yang harus Sora pelajari, kali ini ia tak akan menyerah begitu saja. Ia pasti bisa keluar dari zona nyamannya.
"Sora, hasil rapat barusan bisa kamu selesaikan sebelum pulang kantor gak?" tanya Prany sekeluarnya mereka dari ruang rapat.
Beberapa pasang mata sudah menatap Sora sedangkan Sora masih berfikir sejenak sebelum menjawab.
"Atau catatan kamu kasih ke Nadia aja, biar dia yang urus." Prany menatap Nadia yang juga sedang berjalan di belakangnya.
"Enggak usah, Pak. Saya kerjakan sendiri aja." Sahut Sora.
"Oke. Kalau kesusahan minta bantuan anak-anak lain aja, ya." Kata Prany, "Saya mau ketemu direktur dulu, hasil rapatnya langsung kamu bawa kesana ya nanti."
Sora mengangguk dan membiarkan Prany berjalan menduluinya sedangkan ia segera kembali ke meja kerjanya.
"Pastiin kerja yang bener!" Ujar Nadia, "Jangan bikin susah orang lain!"
Sora hanya melirik sinis dan pergi mendahului Nadia.
Sesuai perintah Prany, Sora segera mengerjakan tugas-tugasnya. Sedangkan Nadia tetap mengawasi tingkah Sora dari meja kerjanya.
Lama Sora duduk didepan layar komputernya, akhirnya ia berdiri dan mengambil hasil print out pekerjaannya. Senyum mengembang dibibir Sora, ia sedang memuji dirinya sendiri.
"Oke, siap kasih ke bos keling." Gumamnya.
Sora segera meninggalkan meja kerjanya dan menuju ke lantai empat, tempat ruangan direktur berada. Ia segera masuk ke lift untuk naik ke lantai empat. Ada Nadia dan beberapa karyawan pria disana.
"Hai Soraa...," Sapa beberapa pria di dalam lift.
Sora hanya tersenyum malas membalas sapaan pria-pria itu.
"Kak Nadia mau ke lantai empat juga?" tanya Sora basa basi ketika pintu lift sudah tertutup.
Nadia mengangguk dengan wajah juteknya yang tidak pernah ramah pada Sora.
"Sora ada kepentingan apa ke lantai empat?" Seorang pria mendekati Sora.
"Aku sering lihat kamu diantar jemput mobil loh, siapa tuh?"
Sora tak meladeni pertanyaan itu dan membuka ponselnya untuk mengalihkan perhatian.
"Aku heran sih, kamu kerja cuma jadi sekretaris tapi barang-barangmu mewah semua. Aneh banget gak sih?" Cetus Nadia, ia melirik ponsel dan jam tangan Sora.
Sora menghela nafas dan menatap Nadia, "Maksud kakak apa? aku jual badan?"
"Wiiiiiih ....," Seru pria-pria yang ada dalam lift.
"Siapa yang kuat beli aku? potongan kuku jariku aja kalau di jual harganya jutaan." Ujar Sora khas dengan wajah sombongnya.
Nadia yang mendengar itu merasa jengkel, ingin membalas namun pintu lift sudah terbuka. Tepat di ujung koridor terlihat Aga, Prany dan beberapa staf lain sedang melangkah ke arah lift. Hal itu membuat Nadia mempunyai ide licik pada Sora.
BRUK!!
"Arrgh!"
Sora jatuh tersungkur tepat didepan pintu lift karena langkahnya tersandung kaki Nadia.
"Sora!!" Pekik beberapa karyawan disekitar.
Aga yang melihat Sora terjatuh langsung berlari menghampiri Sora dan membantunya berdiri. Tentu saja hal itu mengundang pertanyaan dibenak karyawan lain.
"Kamu gak apa-apa, Sora?" tanya Aga.
Sora menepis tangan Aga dengan kasar, "Lepasin!" Kata Sora dengan wajah kesalnya.
"Sora! Jaga bicaramu!" Bisik Prany, "Dia direktur, Sora."
Sora menatap Aga sejenak, kemudian menatap orang-orang disekitarnya yang menatapnya kesal.
-Bersambung-
.
.
.
.
.
Jangan lupa sebelum tekan LIKE, ketik KOMENTAR, kembali ke halaman sampul buat KASIH BINTANG LIMA dan VOTE novel ini ya.
Terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
Mak sulis
om Genda yg sabar ya..ternyata emang ponakamu lumayan menyebalkan...dan ekarang pasti lagi bingung dua kakak beradik menyukainya..tp yakinlah buat memilih Almeer akan melibatkan Gusti Allloh
2025-04-16
0
Se_rHa🍁
kek w batt 🤣 sesuatu yg rumit sm musti butuh ke telatenan sm strategi bla bla tuh kg bnget 🤭🤣🤣
2025-01-09
0
lembayung senja 🌺
ada kantong kresek ndak?
mau bungkus nadia bakwan
2024-05-19
0