*Peringatan : Chapter ini mengandung banyak adegan yang tak layak untuk ditiru atau dibawa ke dunia nyata\, jangan tolol sekali lagi jangan tolol\, kenapa novel ini ada batasan umur? Karena di harapkan pembaca bisa membedakan mana fiksi dan realita\, apa yang ada didalam novel biarkan menjadi didalam novel jangan dibawa ke dunia nyata\, jangan tolol. Author tidak mau jika ada kabar dimana pembacanya menjadi brutal karena habis membaca novel\, itu adalah tindakan tolol g perlu dewasa tapi cukup pikirkan tanggung jawab jika melakukan apapun disini author Cuma bisa sekedar mengingatkan dalam bentuk kata\, novel ini hanya diperuntukkan hiburan semata bukan kitab suci yang harus didekati ajarannya dan menjauhi larangannya\,author tidak bertanggung jawab atas apa yang pembaca lakukan\, apa yang kalian tanam itu yang kalian panen\, Sekian terima kasih selamat membaca.*
Sinar mentari yang mempertemukan kami berdua kini sudah tiada, langit cerah tanpa awan itu perlahan memperlihatkan bintang, begitu kecil sampai aku tak menyadarinya, di ikuti oleh bulan dan muncullah malam.
Kegelapan mulai menelan kamar dimana kami berada, di atas keramik, genangan darah, pantulan seperti cermin pada tiap senjata, semuanya memantulkan bayangan wajah dari orang yang sama, pemuda yang sudah mulai mencapai batasnya, pemuda yang menolak kenyataan bahwa mulai saat ini mereka tak akan lagi menjadi
bertiga, namun hanya berdua.
Dion :”Hey, Tia.... apa kamu marah padaku karena menembakmu dengan tiba-tiba saat itu? Jika iya aku minta maaf, kau bisa melupakannya, mari kita anggap semua itu tidak pernah terjadi, tapi...*Air mata tiba-tiba menetes kelantai bercampur dengan genangan darah* jika kau tidak marah, kumohon....cepatlah bangun....”
Bau menyengat mulai tercium, dan semua itu hanya ada satu kemungkinan, yaitu tubuhnya yang sudah mulai membusuk.
Bau itu seakan menamparku dan mengatakan untuk segera menerima kenyataan yang ada, untuk segera merelakan kepergiannya. Tak peduli seberapa keras kucoba membohongi diriku, mencoba bersikap sok tegar, bertingkah tenang dan mempercayai semua akan baik-baiknya, namun jauh di dalam diriku aku sudah mengetahuinya sejak awal, hanya saja aku yang terus memalingkan diri dari kenyataan, sampai kusadari air mata ini telah keluar dengan sendirinya.
Dion :”Tia....” ku panggil namanya untuk terakhir kalinya setelah menerima semua kenyataan itu walaupun begitu menyakitkan.
Ku usap kedua air mataku dan tersenyum lebar kearahnya,
Dion :”Mimpimu akan ku wujudkan! Jadi kau bisa tenang disana, Ti-“
*Brak!*
Terkejut mendengarnya ku menoleh ke belakang dan melihat sebuah tombak menembus pintu kamar ini dan terus melesat, dari arahnya... aku langsung tersadar dan saat aku ingin manggapai untuk menghentikannya sudah terlambat.
*JROOT*
Tombak itu menusuk tepat di perut jasad gadis itu, setelah itu terdengar suara seorang lelaki dari arah tombak itu berasal dari balik pintu kamar.
“Dasar enggk guna..” begitu kasar dan tanpa perasaan kalimat itu tercipta
Tanpa menunggu orang itu menunjukkan wajah sepenuhnya aku sudah mengenalinya suara itu.
Ku ambil sebuah pedang dan mengayunkan tepat ke arah lehernya saat hendak memasuki kamar lewat lubang yang sudah kubuat.
Ku ayunkan pedang itu ke arah lehernya saat ia baru melewati lubang itu,
*Srett*
Vista :”Kenapa berhenti?” Ia menatapku dan berbicara dengan begitu tenang,
Ujung pedang yang ku ayunkan ke lehernya tertahan dan menancap ke dinding sebelum memenggal kepalanya. Aku berhenti bukan karena menghentikannya, malahan justru aku tak ada niatan untuk menghentikan tanganku
karena tubuhku yang diselimuti oleh rasa amarah yang tak tertahankan saat melihat vista menembuskan tombak ke jasad Artia, melihat begitu dalamnya pedang itu tertancap kedalam dinding membuatku begitu sadar, betapa besarnya kemarahanku dan ingin memenggal kepala sahabatku sendiri.
Vista menyadari niatku yang ingin membunuhnya namun ia tak gentar sedikitpun dan melewatiku begitu saja menuju jasad gadis itu.
Dion :”BERHENTI!!” Ku bentak dia namun ia sama sekali tak menghentikan langkahnya
Ku ambil pedang lain yang tertancap diperabotan rusak dan mengarahkan ke samping wajahnya dari belakang,
Dion :”JANGAN PAKSA AKU!”
Vista menghentikan langkahnya, tepat setelah kukira dia sudah menyerah namun tiba-tiba ia menoleh ke arahku dan membiarkan pipi kiri sampai ujung hidungnya teriris oleh pedang, menatapku dengan serius.
Vista :”Coba saja.” Ia melanjutkan langkah kakinya,
Berbeda dengan sebelumnya kini aku tak memiliki keberanian untuk membunuhnya,
Sudah cukup aku kehilangan satu sahabatku aku tak ingin kehilangan lagi. Tanpa dirinya aku akan jadi seperti apa...
Saat ku mulai ragu Vista sudah naik ke atas ranjang dan mencabut tombaknya dari perut Artia,
Dion :”H-Hey! A-apa yang kau lakukan?!”
Wajahku langsung memucat, aku tak menduganya sama sekali. Dibalik wajah tenangnya Vista itu, di balik sifat humorisnya, dibalik tawanya yang terukir kuat didalam ingatanku itu dia bisa melakukan hal ini dengan begitu tenang. Dengan kedua tangan kosongnya ia memperlebar dan membuka perut Artia dari bekas lubang yang diciptakan tombaknya.
Darah menyembur dan keluar tanpa arah dan menghujani tubuh serta wajahnya tanpa henti,
Dion :”Tck!” kugigit bibirku dengan kuat membulatkan tekadku untuk menghentikan Vista,
Ku ambil rantai di sampingku dan melemparnya sampai meliliti tubuh Vista, setidaknya cukup untuk menghentikan tangannya yang sedang membongkar organ bagian dalam Artia sampai tak berbentuk lagi.
Dion :”Sudah cukup! Vista hen-“ Sebelum keselesaikan kalimatku Vista yang tak bisa lagi menggerakkan tangannya itu tanpa ragu menggunakan mulutnya dan menenggelamkan wajahnya kedalam perut Artia.
Dion :”VISTA!!”
Ku tarik dengan kuat sampai menjatuhkan Vista dari ranjang.
Dion :”SUDAH CUKUP! Sudahlah, Vista kita harus-“
Vista :”JANGAN MENYERAH!!! BUKALAH MATAMU, DION!!!” Bentaknya,
Dion :”Aku tau ini berat, begitu juga denganku tapi kita harus merelakannya.”
Vista langsung berdiri dan menghampiriku,
*DAK!*
Vista membenturkan kepalanya ke dahiku begitu keras hingga membuat ku terjatuh dan melonggarkan rantainya. Tak membiarkan kesempatan itu Vista melepaskan rantainya dan menujuk langsung ke arah jasad itu dengan darah yang menetes di ujung jari telunjuknya tanpa henti.
Vista :”APA MENURUTMU TIA ADALAH TIPE ORANG YANG AKAN MATI DENGAN BERDIAM DIRI TANPA PERLAWANAN SEPERTI ITU? APA MENURUTMU DIA SELEMAH ITU? APA KAU LUPA SIAPA YANG SELALU MENGHENTIKAN KITA BERDUA SAAT BERKELAHI HEBAT? SIAPA YANG MEMBUAT KITA BERDUA TERPURUK DI TANAH SECARA BERSAMAAN? BUKALAH MATAMU, DION!!”
Ku lihat ke arah jasad itu,
Dion :”Apa yang- Huh?!”
Kenapa aku tak menyadarinya?
Walaupun tubuhnya penuh akan luka dan tak ada kepalanya hanya karena dia memakai seragam dengan nama Artia, ukuran tubuh yang sama, aku terlalu cepat membuat keputusan sampai mengabaikan hal terpenting,
Kedua telapak tangannya,
Tak ada bekas luka bakar sama sekali......
(Catatan pengingat : Artia terkena luka bakar di kedua tangannya saat membuat kue ultah Dion di Arc 2, Artia : Pengakuan Dion.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
🐰Far Choinice🐰
Semangat thoorrr.. aku lanjut nyicil bacanya yaaa
2022-03-27
1
🐰Far Choinice🐰
kata2 pembukanya ngeriii... hihi
2022-03-27
0
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
merinding 😳😳😳
2022-03-25
1