*Bruak!*
Ku dobrak dengan sekuat tenaga namun tak berhasil,
Dion :”Gila nih pintu terbuat dari apaan dah?”
Ku turuni tangga kembali mencari sebuah alat yang bisa kugunakan untuk menghancurkan pintu itu, Saat menelusuri rumah ini tadi sempat terlihat sebuah kapak menancap di sebuah lemari kamar dibawah. Walaupun sudah melewati jalan yang sama namun tetap saja terasa menyeramkan berada didalam rumah yang cukup luas dan gelap ini seorang diri, apalagi dengan bekas kekacauan yang membuat perabotan hancur dan terpecah kemana-mana menghalangi langkah.
Sesampainya di kamar itu langsung ku coba untuk cabut dengan kuat kapak yang tertancap di lemari.
Dion :”Berrrrrrrat amat anjrr!!!” Kutarik dengan kuat hingga ku tapakkan kedua kakiku ke lemari untuk menariknya.
*Sret!*
Sesaat kapak itu tercabut aku terpental jatuh ke lantai dan untungnya kapaknya tak terlepas dari tanganku apalagi mengenai kepalaku sedangkan Hp ku terjatuh didepan lemari.
Dion :”Duh.....” Ku elus-elus tempurung tengkorakku yang terbentur cukup keras sambil menahan sakit,
Sesaat aku ingin mengambil kembali Hpku tubuhku langsung tak bisa bergerak,
*Krrreeeekkk* Pintu lemari itu perlahan terbuka,
Takut?
Kaget?
Jijik?
Kenapa aku tak menyadarinya selama ini? Bau yang tak begitu asing ini, tak mungkin aku melupakannya, ini adalah bau darah dan juga mayat....
Cahaya dari Hpku menyinari isi dari lemari yang baru saja terbuka itu, sebuah mayat manusia dengan kepala yang terbelah menjadi dua, darah terus mengalir membasahi lantai saat kulihat kembali kapakku terdapat bekas darah di ujungnya.
Dion :”Hah?!” dengan reflek ku bergerak mundur, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi di tempat ini dengan pikiran kosongku dan tiba-tiba tubuhku berhenti gemetaran saat teringat akan dia.
Dion :”Tia?! Bagaimana dengan dia?!” kutinggalkan Hp dan kutak kotak hadiahku di kamar itu dan bergegas berlari ke kamar Tia secepat mungkin.
“Tia!’
“Tia!”
“Tia!”
Dengan seluruh kekuatanku yang tersisa ku hancurkan pintu itu sedikit demi sedikit sampai akhirnya berhasil menciptakan lubang yang cukup untuk kulalui. Jendela terbuka lebar, angin dingin memasuki ruangan di ikuti tirai di jendela dua pintu yang sudah robek-robek melambai ke arahku, terlihat bekas sayatan dimana-mana, meja dan kursi bahkan sudah hancur tak berbentuk dan terpecah berada di tempat yang tak seharusnya, sebuah pedang tertancap dilangit-langit kamar dan disekitarku, sebuah tombak tergeletak dibawah ranjang, sebuah pistol tanpa peluru berserakan di lantai, sebuah rantai berlumuran darah menggantung di antara perabotan yang sudah tak berbentuk. Namun perhatianku hanya tertuju pada satu hal,
Akhirnya kutemukan dirimu, Tia.....
Dion :”Sudah lama kita tidak bertemu, terakhir saat aku menembakmu itu ya? Lihatlah dirimu yang sekarang, kau terlihat lebih kurus, eh tunggu bentar, apakah itu bisa disebut dengan kesuksesan, kan kau pernah berkata ingin diet dan ini kah hasilnya? Hahahahaha, aku turut bahagia kalau gitu. Eh ngomong-ngomong kok kamu tambah pendekan? Apa Cuma perasaanku saja?” ku miringkan kepalaku dan mengingat kembali seberapa tinggi Tia saat terakhir bertemu namun tak butuh waktu beberapa detik aku berhenti memikirkannya.
Ku berjalan memasuki kamar dan menghampirinya yang sedang duduk bersandar di bawah jendela dan di atas tempat tidur, ku duduk di ujung kasur dan membelakanginya.
Dion :”Kau masih aja pake seragam itu? Jangan bilang itu seragam yang sama pas terakhir kita bertemu disekolah? Hahahaha, dasar jorok. Katanya kau pecinta kebersihan tapi kok seragam aja males ganti, kata Vista sejak hari itu kau tidak hadir ke sekolah? G boleh dong kayak gitu, bikin Vista dan aku khawatir aja. Eh tapi aku sendiri juga sama, harusnya aku g berhak marahin kau ya? hahahaha”
Tiupan angin lembut mengeringkan setiap keringat yang sudah kukerahkan untuk menyelidiki rumah ini.
Dion :”Kalau ada masalah, aku dan Vista dengan senang hati akan disini untuk mendengarkannya, baik kau mau atau tidak mau cerita akan kami buat kau mau menceritakannya. Kau sudah terlalu banyak membantuku dan juga
Vista, tapi yah itulah kenapa kita bertiga menjadi sahabat, oleh karena itu takkan kami maafkan kalau kau punya masalah dan memendamnya sendiri.”
Dengan lembut ku gapai tangannya dan tersenyum lembut,
Dion :”Jadi, sekarang cerita aja....”
Kataku sambil menatap tubuh Tia yang dipenuhi oleh luka dan terlihat lebih kurus dari biasanya.
Aneh sekali, biasanya kalau kalau tangannya kupegang kayak gini biasanya dia jadi salting dan wajahnya memerah.
Dan akhirnya akupun menyadarinya,
Dion :”Oh iya, pantas saja kau keliatan jadi pendek banget kayak ada yang kurang gitu....... Kepalamu dimana?” tanyaku dengan kepala miring bertanya-tanya
.
.
.
.
.
Disebrang sana kudengar suaramu tertawa lepas begitu nyata sampai kukira disampingku, Di dalam kamar kubiarkan udara lewat begitu saja di depanku seakan memanggil namanya namun aku tetap menolak kenyataan itu.
Bagaikan cermin, seluruh senjata diruangan itu memantulkan bayangan diriku yang duduk di lantai bersama dengan genangan darah yang mengalir dari atas ranjang tanpa memikirkan apapun. Menunggu hingga sang putri terbangun dari tidurnya dan agar bisa mengajaknya berbicara lagi seperti biasa.
Saat melihatnya terdiam dalam tidurnya itu membuatku menyadari betapa penting dan berharganya dirimu bagiku, kehadiran kecilmu dalam dunia yang begitu luas ini memberikan seorang bocah menyedihkan sepertiku ini memiliki
sebuah mimpi, mimpi yang tak terbilang besar.
Mimpi, hari dimana kita tertawa, bercanda, Aku, Vista dan juga kau, bersama menikmati kekonyolan, ketidak adilan, kelucuan dunia ini. Tumbuh bersama, belajar bersama,melangkah bersama. Ingatkah engkau dengan janji
kita bertiga di hari pertama kita semua bertemu?
Engkau dengan percaya dirinya berkata ingin mendirikan sebuah sekolah dan menjadi kepala sekolah, sekolah khusus untuk Rakyat jelata, takkan ada yang namanya system ranking, setiap individu akan dilatih dengan kelebihan serta minatnya agar bisa menikmati sisa hidupnya tanpa perlu menghancurkan hidup orang lain.
Vista mengatakan ia ingin menjadi pebisnis hebat, cukup hebat hingga bisa menghasilkan banyak uang yang bisa dipakai untuk memberikan tempat para rakyat jelata untuk bekerja, membuka usaha, menciptakan tempat mereka sendiri tanpa bergantung dengan bangsawan. Namun sebelum semua itu ia berjanji akan memprioritaskan membantumu untuk membangun sebuah sekolah terlebih dahulu.
Sedangkan aku hanya terdiam, hanya bocah menyedihkan yang bahkan tak memiliki identitas, tujuan ataupun ambisi, hanya sekedar menjalani hidup tanpa arti ini sampai mati, itulah yang aku tetapkan dalam hidupku untuk
pertama kalinya sejak pemakaman ibuku.
Dengan mata seperti ikan yang sudah mati itu. Hampa tanpa harapan ataupun cahaya sedikitpun, namun kalian berdua dengan se enaknya membuat keputusan. Setelah berfikir selama beberapa menit mereka berdua mengutarakan hasil pemikirannya secara bersamaan.
“Guru!”
Mereka berdua tertawa dengan jawabannya yang sama persis. Sejak saat itu kalian menunjukkanku satu-persatu makna dari kehidupan ini, apa itu harapan? Impian? Dan juga kehangatan dari sebuah persahabatan, perkumpulan
kecil yang beranggotakan 3 orang ini membuatku begitu bahagia.
Dari dulu aku terus memikirkan dan akhirnya aku sependapat....menjadi guru.... mungkin adalah hal yang ku inginkan. Setidaknya aku tak ingin melihat para murid yang belajar terlalu keras seperti robot dan saling menjatuhkan satu sama lain, aku ingin menciptakan lingkungan dimana anak-anak itu bisa berteman, bercanda, bersantai, tempat yang begitu damai dan tenang.
Dion :”Kita bertiga akan merubah kerajaan ini dari dalam, iya kan?”
Dion:”Bukankah kita sudah berjanji seperti itu?”
Dion :”Lantas, jika kau terus tidur seperti ini impian itu hanya akan terus berbentuk mimpi sampai kapanpun...”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
zhA_ yUy𝓪∆𝚛z
bwah bwah ngeriiiii🤣🤣🤣
2022-03-25
1
Bunga Kering
hai...aku lanjut baca ya
2022-03-21
1
Arkmist
12 like sudah mendarat thor! dari Novel The Fake Legend!
2022-03-20
1