Bagai tenggelam dalam lautan tanpa dasar, menatap diri yang tak lagi kukenali, tak peduli seberapa keras ku meraih permukaan hanya pada akhirnya hanya menjadi mimpi, satu persatu indraku menghilang saat ku tatap ke ke arahku tenggelam hanya warna hitam pekat yang menanti, Aku masih hidup namun jiwaku telah mati.
Semakin ku memberontak semakin dalam ku tenggelam, gelembung-gelembung yang tercipta dari penolakanku terbang ke atas sampai tak lagi terlihat,
akankah suaraku sampai ke permukaan? ataukan hanya larut dalam kehampaan?
Yang bisa kulakukan hanya terus berharap,
Baik mulut dan juga hati tiada henti untuk terus berteriak...
Jiwaku terus tenggelam tanpa mempunyai kendali lagi dengan tubuh asliku,
Seakan kehilangan suatu hal yang penting dalam diriku, semua bermula ketika aku melihat senyumannya dan hilang begitu saja tanpa bisa berbuat apapun dan tau apapun. Pikiranku kosong, aku sama sekali tak merasakan
sedih ataupun rasa ingin menangis ataupun marah, di malam itu, di bawah cahaya lampu merah itu ku temukan diriku tertawa lepas.
Dion :”HAHAHAHAHAHAHAHAHA!”
Tenang,
Untuk pertama kalinya pikiran, jiwa dan hatiku begitu tenang bagai kolam air tanpa gelombang genangan sedikitpun. Bahagia? Sedih? Marah? Takut? Aku bahkan tak lagi mengenali setiap perasaan yang ada.
*Sret*
Tubuhku hampir terjatuh karena lemas namun berhasil kutahan dengan kuda-kudaku,
Dion :”HAHAHAHAHAHAHAHA!”
Seakan bergerak sendiri, setengah wajahku sudah ku genggam erat, cukup erat hingga kuku-kuku disetiap jari yang ada bisa menembus kulit wajahku dan mengeluarkan darah dan menghancurkan sisi kanan kacamataku.
Sedangkan kakiku berjalan mengikuti karpet merah merona yang menggiringku menuju truk itu namun tangan kiriku berpegangan ke benda terdekat dan memegangnya sekuat tenaga mencoba menghentikan langkah kakiku,
Seluruh tubuhku bergerak secara kontradiksi dengan otak kosongku.
Sebagian dari tubuhku mencoba berjalan mengikuti karpet merah darah itu, sebagiannya lagi mencoba menghentikannya, mulutku tertawa lepas, namun hatiku sangatlah tenang, air mata tiada henti terus mengalir, namun otakku sama sekali tak menangkap kenapa aku menangis. Pandangan mata kananku berubah menjadi merah tercampur darah dari luka diwajahku, sedangkan mata kiriku terhalangi air mata. Otakku tak dapat bekerja, tak bisa berpikir, mengingat ataupun mengatur tubuhku,
Siapa aku?
Kenapa aku disini?
Kenapa aku berlumuran darah?
Kenapa disetiap ku memandang hanya terlihat warna merah?
Aku bahkan sudah berhenti memikirkan semua pertanyaan yang tak bisa lagi kujawab itu.
Suara tawa mengisi kekosongan dan kesunyian kota. Berpegang kuat pada tiang jalanan mulutku mengigit dan menarik tanganku dengan paksa hingga melepaskan genggamannya, disaat yang sama kacamataku yang sudah hancur setengahnya itu terjatuh dan ku injak tanpa mempedulikannya lagi.
Pandangan terlihat kabur dengan kedua alasan yang berbeda mata kanan karena tertutup darah dan mata kiri tertutup air mata, keduanya sama-sama tak bisa digunakan untuk mengenali lagi apa yang kulihat. Mata yang tak memiliki cahaya lagi bagai mata ikan mati, tak berkedip ataupun terlihat hidup namun juga tak mati, bisa melihat namun tak bisa mengenali apapun yang ku lihat hanya menampilkan gambar bergerak tanpa arti.
Dan di gambar dari kedua mataku yang buram terlihat suatu benda yang melambai-lambai di kaca spion truk seakan akan pergi terbang dibawa angin malam jika tak segera kuraih.
Saat ku berhasil mencapai benda itu tubuhku langsung merespon dan mengenalinya, tawa yang tak dapat ku kendalikan itu terhenti dengan seketika, kaki yang berjalan tanpa perintah juga berhenti, tangan yang tak lagi bisa kukendalikan tiba-tiba bergerak dengan kemauan yang sama, yaitu mengambil benda yang melambai padaku yang ternyata adalah sebuah syal yang berwarna merah.
Syal merah?
.
.
.
.
.
.
.
.
Kenapa Syal ini bisa keluar dari kotak kado?
Perlahan otakku mulai mengikuti arus yang ada dan mencoba untuk mengenali setiap sudut yang ada di depan mataku.
Syal merah? Bukannya aku membali Syal putih? Yah biarlah, mungkin aku salah ingat.
Setelah menyerah untuk perfikir lebih dalam ku balikkan badan dan kembali ke tempat semula, tepat di saat detik-deik ku membalikkan badan ku lihat sebuah tangan putih dengan cincin di jari manisnya di jepitan truk bagian depan itu dibanjiri genangan darah.
Apa itu? Tanya otakku,
Aku tak peduli....Jawab hatiku,
5 menit lagi jam 8, nampaknya aku akan terlambat ke tempat perjanjianku dengan Tia ke alun-alun.
Kulilitkan Syal merah yang sedikit hangat dan lebih berat dari syal biasanya itu ke leherku.Dengan sempoyongan ku berjalan ke arah Alun-Alun kota. Telanjang kaki, baju yang dipenuhi bercak darah, wajah yang penuh luka, tatapan kosong, tanpa kacamata, namun anehnya walaupun tanpa kacamata kakiku bisa mengarahkanku tepat ke
Alun-Alun, Walaupun tanpa alas kaki tak kurasakan sedikitpun rasa dingin di kaki ataupun tubuhku atau mungkin aku yang sudah tak lagi mengenali apa itu artinya dingin mungkin rasa sakit juga termasuk.
Pikiranku hanya tertuju pada satu hal, Mencapai tempat perjanjian kita berdua dan memberikan Syal ini kepada Tia
yang sudah menungguku di sana.
Ku berjalan menuju tempat perjanjian kita berdua, hari ini akan jadi hari dimana kau akan menjadi milikku dari sekarang dan untuk selamanya begitu juga sebaliknya. Mengikat janji dan cinta di hari natal biarkan langit menjadi saksi, biarkan jejak kaki menjadi bukti, biarkan syal ini menjadi penyambung hati, biarkan lampu hias di setiap
sisi kota menjadi penerang jalan kita berdua untuk memulai semuanya bersama, kedua cincin yang kusiapkan akan menjadi perubahan dari kau dan aku menjadi ‘kita’ .
Langkah demi langkah otakku mengingat serpihan serpihan kecil ingatanku,
Melawan arus kerumunan orang dan melewatinya, penjual permen kapas disebelahku, saat ku melihatnya membuatku tersenyum.
Benar juga, dia tidak akan peduli dengan apapun jika itu tidak ada permen kapas…..
Kulanjutkan perjalananku setelah membawa satu untuknya,
“……..Seperti anak kecil saja dia itu.” Gumam kecilku sambil tersenyum
Melewati Stan penjual kembang api,
Dia selalu mengagetkanku dan menggangguku dengan kembang api dan juga petasan, tak ada hari-hari damai tanpa serangan jantung darinya….
Ku lanjutkan langkah kakiku setelah membeli beberapa kembang api untuknya,
“……..Seperti anak kecil saja.”
Lagi-lagi langkahku terhenti namun kali ini kulihat sebuah toko kue, perhatianku tertuju penuh pada kue ulang tahun yang di pajang di etalase toko.
Jika dipikir-pikir aku belum berterima kasih atas kue darinya ya, seingatku dia membuatnya sendiri dan memberikannya padaku satu hari sebelum hari ulang tahunku, ya? (Wajahku kembali tersenyum) aku juga heran gimana caranya dia membuat Roti coklat menjadi asin gitu.
Ku palingkan wajah melanjutkan perjalananku dengan telanjang kaki,
Bener-bener deh, kau adalah gadis paling kekanak-kanakan tapi tiada henti membuatku terkejut tak pernah bosan
kalau bersamamu, aku bersyukur sudah bertemu denganmu.
Semua orang menuju tempat dimana kembang api dan pohon natal menyala bersama pasangannya masing - masing, Sedangkan aku berjalan kearah sebaliknya ketika orang-orang melihatku mereka langsung membuat jarak, walau aku tak bisa melihatnya dengan jelas namun aku tau, tercipta berbagai reaksi dari wajah mereka,
Takut,
Kaget,
Jijik dan bahkan tak sedikit dari mereka yang berpura-pura tak melihatku.
Tanpa mempedulikan semua itu aku berjalan menuju tempat yang kutuju, jauh dari keramaian, jauh dari cahaya, jauh dari kehangatan, duduk di sebuah bangku taman dingin seorang diri menatap tanah dengan tatapan kosong.
“Aku sama sekali tak bisa berbuat apapun…..” suara lemas di bungkus penyesalan,
Ku letakkan permen kapas yang sudah mulai mengecil itu disampingku bersama dengan kembang api.
Di tengah-tengah keramaian, aku sama sekali tak mendengar sekecilpun suara.
Di tengah-tengah kemeriahan lampu hias dimana-mana, aku sama sekali tak melihat adanya warna ataupun cahaya dimataku.
Di dunia tanpa suara dan warna ini, di temani syal merah yang menggelantung dileherku membuatku semakin mengingatnya.
Kenapa…….
Kenapa………….
Kugenggam erat syal merah dileherku itu mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa kehangatan yang tertinggal untuk mengingatnya. Di dalam kegelapan sebuah salju mulai berjatuhan,
Jam menunjukkan pukul 9 malam, tengah kota menjadi semakin ramai di isi oleh para pasangan yang sedang
bermesraan,
Jam 10 malam, Kembang api mulai diluncurkan dan menghiasi malam natal bersama para bintang.
Jam 12 malam, kerumunan sudah mulai berkurang dan tempat mulai sepi. Semua orang kembali ke rumahnya masing-masing dan juga menikmati pesta kecil mereka.
Aku tau.......tak peduli seberapa lama aku menunggu takkan ada seorangpun yang akan datang kesini.
Ku peluk dengan erat syal merah yang sudah tak tersisa lagi kehangatanmu disana dengan berlinang air mata.
Maafkan aku, Tia……..
*Tik*
*Tik*
*Tik*
Setiap air mataku langsung terserap oleh syal merah itu. Seluruh perasaan yang kurasakan ku curahkan pada selembar syal, Namun semua bukan tentang syal itu melainkan kehangatan dari orang yang pernah memakainya.
Hanya dengan senyuman manisnya, ke imutannya, kebahagiaanku tiada tara, membuatku seakan punya kekuatan dan keinginan kuat dan bisa melalukan apapun untuknya. Ku pikir aku bisa melakukannya, namun,
Dion :”Maaf, Maafkan aku Tia..... Aku bahkan tak sanggup mengabulkan permintaanmu.”
Betapa lemahnya diriku, betapa rapuhnya diriku, betapa tak becusnya diriku, aku bahkan tak bisa mengabulkan satu permintaan darinya.
Tanpamu, aku hampa.
Tanpamu, aku tersesat.
Tanpamu, aku kebingungan.
Aku hanyalah pecundang besar, yang bisa kulakukan hanya lari, lari dan lari.
Lari dari bahaya,
Lari dari ketakutan,
Bahkan lari dari kenyataan,
Saat aku tenggelam dalam penyesalan, tiba-tiba aku mengingat perkataan gadis itu,
“Akan akan mendirikan sebuah sekolah tanpa System Ranking dan kau yang akan menjadi gurunya, mari berjuang
bersama-sama agar impian itu tercapai, selama kita bersama kita pasti bisa melalui apapun, iya kan, Dion?”
Sebuah senyuman kecil terlukis di wajahku,
Benar, selama kita bersama kita pasti bisa......
.
.
.
Selama kita bersama...
Ku arahkan stik kayu permen kapas yang sudah mencair itu ke arah leherku,
Tunggu aku, Tia. Aku akan datang....
Ku angkat wajahku dan menutup kedua mataku. Saat ku kubayangkan dengan ini aku bisa memeluknya lagi rasa takutku langsung menghilang, tubuh, pikiran, dan hatiku langsung tenang bagai danau tanpa gelombang.
Disaat tak ada lagi keraguan yang tersisa tanpa membuang waktu ku tarik dengan kuat stik kayu itu ke leherku,
*Wuuusshhh*
.
.
.
.
.
.
.
.
Gelap,
Sunyi,
Tubuhku tak lagi bisa kugerakkan ataupun kurasakan,
Perasaan ini.....
..........Apakah kali ini aku sudah mati?
Perlahan kubuka kedua mataku,
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bintang - Bintang melebur bersama gelapnya malam tanpa sisa, dengan sinar redup rembulan bersama awan besar di sekitarnya membuatku semakin sadar betapa lemah dan kecilnya diriku. kehadiran mereka menghapus segala warna, cahaya dan harapan yang ada, terpuruk dalam keputusasaan, tenggelam dalam kehampaan dan hancur dalam harapan yang ciptakan.
Terlihat jauh dilangit seekor burung terdiam dilangit tak bergerak, saat kulirik ke sekitar tak hanya burung, namun semut, udara, dan juga suara, semua terhenti seakan waktu terhenti.
Ku lihat Stik kayu yang kupegang terhenti sebelum menusuk leherku dan jauh di depanku terlihat satu sosok, di dalam dunia abu-abu ini hanya sosok itu yang mengeluarkan warna, seorang pemuda seumuran ku berjalan lurus tepat ke arahku dengan tubuhnya yang bercahaya itu.
Pada awalnya ku tak dapat melihatnya karena kedua mataku yang masih sulit dipakai untuk melihat namun saat ia
berdiri dihadapanku akhirnya aku tau, dia adalah bocah bangsawan yang mencari Tia dan membuat kacau kelasku di hari itu.
Ia mengambil stik kayu ditanganku dan mematahkannya dengan satu tangan.
Bocah bangsawan :”Aku sebenarnya tidak peduli denganmu, namun semua ini kehendak tuan putri.”
Tiba-tiba wajah kalemnya berubah, kedua alisnya mengkerut dan menatapku dengan penuh dendam dan amarah.
Bocah bangsawan :”Malahan, jauh aku benar-benar membencimu. Tuan Putri mempercayaimu, tapi lihatlah dirimu, kau malah membiarkannya pergi....”
*BRAK!*
Ia menendang kursi taman dengan sangat kesal,
“SIALAN!!!” Teriaknya,
Diwaktu yang sama dunia kembali menjadi normal, angin mulai bergerak, burung kembali bergerak, begitu juga dengan tubuhku yang bisa kembali kugerakkan termasuk mulutku,
Tuan putri? Apa yang sebenarnya dia katakan? Tapi abaikan hal itu,
Apa tadi itu kekuatannya? Pantas saja para Seed tak ada yang berani melawan para Exceed.
Penghenti waktu.......tunggu dulu? Waktu?
Seketika aku teringat dengan orang yang mengaku sebagai diriku yang datang dari masa depan (Di Bab 1 Prolog)
Dion :”Hey, kau.... Aku punya penawaran, aku akan memberikan segala yang kupunya untukmu, tangan, kaki, mata, atau bahkan nyawaku, tapi bawa aku kembali ke masa lalu, jika tak bisa beberapa hari yang lalu beberapa jam yang lalu saja sudah cukup.”
Ia melirikku dengan wajah yang semakin kesal,
Tiba-tiba terdengar sebuah jawaban dari belakangku,
??? :”Sayangnya itu mustahil.”
HAH?!
Dengan terkejut ku balikkan tubuhku dan melihat sebuah pria dengan baju pelayan berdiri disana, saat ku ingat-ingat dia adalah orang yang bersama bocah bangsawan itu di kelas.
Bagaimana dia bisa dibelakangku?! Aku tak mendengar suara langkah kaki sama sekali sejak tadi..
Dion :”Apa maksudnya mustahil? Kalian Exceed kan? Bukankah melakukan hal diluar logika adalah kelebihan
kalian?”
Bocah Bangsawan :”ARRGGGG!! (Ia menggaruk kesal kepalanya) Karna inilah aku sangat benci para Seed, SIALAN!!!”
Pelayan :”Kita bukanlah dewa, kekuatan kita ada batasannya, jangankan untuk kembali ke beberapa jam, untuk kembali 5 menit saja itu sudah menguras seluruh tenaga si pengguna. Melakukan perjalanan waktu itu sangatlah tidak memungkinkan, bahkan dengan Exceed Kelas S pun hal itu masih mustahil.”
Mustahil? Bahkan untuk Exceed kelas S? lalu bagaimana bisa dia.....
Disaat aku bergulat dengan pikiranku pelayan itu berjalan melewatiku menuju bocah bangsawan dibelakangku namun ku hentikan sebelum ia menjauh dariku,
Dion :”Tunggu, kalian ini siapa sebenarnya?”
Seketika bocah bangsawan dan pelayan itu saling menatap dalam keheningan seakan mengingat suatu hal yang sama lalu kembali melihatku dan menjawab secara bersamaan,
Pelayan & Bocah bangsawan :”Kami berdua adalah adik Artia.”
Adik Artia? Mereka berdua ini? Bagaimana mungkin? bukankah Tia seorang Seed?
Pelayan :”Karena ada urusan, kami berdua permisi dulu.”
Dion :”Tunggu, apa boleh aku menanyakan satu hal lagi untukmu?”
Pelayan itu membalikkan badan dan menghadap ke arahku,
Pelayan :”Apa itu?”
*Glek*
Ku telan ludahku dan disaat keputusanku sudah bulat ku utarakan apa yang mengganjal dipikiranku dalam satu pertanyaan.
Dion :”Ka-Kau sudah tau tentang kakakmu kan. Lalu bagaimana kau bisa bersikap tenang seperti itu?”
Pelayan :”Karena, aku percaya dengannya. Permisi.” Ia menundukkan kepala dan berjalan menuju bangsawan itu,
Bocah Bangsawan :”Hey, pecundang! Tangkap!” Sebuah benda melambung ke arahku dan dengan reflek ku tangkap.
Bocah Bangsawan :”Ada pesan dari temanmu.”
Sebelum jawab perkataannya kedua orang itu sudah menghilang seperti sebelumnya saat di kelas, menghilang tanpa jejak atau suara.
Ku buka kedua tanganku dan ternyata benda itu adalah sebuah HP dengan panggilan masuk dari nomor saja tanpa nama,
Tanpa adanya petunjuk ataupun spekulasi ku terima panggilan itu dan saat ku tempelkan layar HP itu ketelingaku terdengar suara orang yang kehabisan nafas,
“Hey.” Begitu singkat, Tanpa makna tapi terdengar sangat jelas.
Dion :“V-Vista?” jawabku dengan suara gemetaran,
Vista :“Ngapa? Lu jadi cengeng lagi?”
Dion :“E-Enggk!” Ku usap kedua mataku yang berkaca-kaca,
Vista :“Giman Tia? Udh ketemu?”
Dion :“........”
Aku hanya bisa berdiam, suaraku tak mau keluar saat ingin memberitaunya yang sebenarnya, pertanyaan dari Vista langsung menusuk diriku dan membuatku sakit. Disaat aku mulai kembali tenggelam dalam keputus asaan ku teringat perkataan dari pelayan itu “Karena aku percaya dengannya.”
Angin malam berhembus melewatiku dengan membawa sebuah suara bisikan kecil tanpa tau dari mana asalnya.
“Suatu hari aku akan mengambilnya kembali.”
Ku putar kepalaku melihat sekitar tak melihat siapapun, dan tiba-tiba terlihat kilauan cahaya kecil di sampingku tepat di kursi yang sama yang kududuki di sebelah tanganku. Ku raih dan ku pungut benda itu dan tiba-tiba membuatku bisa tersenyum lega dan menjawab pertanyaan Vista.
Dion :”Dia tidak bersamaku, tapi dia baik-baik saja sekarang.” Jawabku dengan percaya diri dan menatap ke arah langit, tepatnya ke arah salju – salju yang mulai berjatuhan,
Walau aku tak tau keberadaanmu, namun saat ku ketahui kita berada di bawah langit yang sama suatu hari nanti pasti aku akan menemukanmu, Tia....
Kugenggam erat cincin yang kutemukan di sampingku itu dengan tangan yang sedang mengenakan cincin yang sama.
Disaat yang sama, Di tempat jasadnya Artia yang tak sempurna itu berada muncul 2 bayangan yang mendekat dan
menyelidikinya yang tak lain adalah bocah bangsawan dan juga si pelayan,
Theodor :”Bagaimana menurutmu?” Tanyanya dari atas truk ke Astrea,
Astrea :”Dari DNA, Ciri-ciri, dan juga golongan darahnya,tak salah lagi dia adalah Artia.”
Theodor :”Tapi apa yang sebenarnya terjadi,dia adalah Artia namun bukan Artia.”
Astrea :”Aku juga tak mempercayainya jika aku tak melakukan beberap tes tadi, Tapi dia benar-benar Artia, walaupun ini seperti wujud Artia saat dia sudah dewasa saja.”
Bersambung – Selanjutnya [Arc 4, 3 Of Us : Hilangnya Dion dari Dunia]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Zai X🍀
keren thor 👏🏻👏🏻👏🏻
2022-07-28
0
Mak e Bila
Kata-katanya...wow..., keren 👍
2022-03-25
1
Bunga Kering
aku lanjut baca thor
2022-03-22
1