Dibawah langit berbintang, bersama sinar dan hangatnya lampu jalan terlihat sosok yang menjadi harapanku untuk terus hidup, berjuang, dan mengharapkan hari esok. Dia yang menjadi lentera hidupku, dia yang kusayang, dia yang kucinta. Artia tiba-tiba berdiri disampingku denga senyum lembutnya kearahku.
Dion :”T-Tia?” suara hati yang tak tertahankan keluar begitu saja saat melihat wajah dan juga rambut ungunya,
Artia :”Iya?”
Dion :”Tia?!”
Arita :”Iya?”
Dion :”Tia!!”
Artia :”Iya, Dion.”
Dion :”TI-“
Tia memelukku sebelum aku memanggilnya sekali lagi,
Hangat....
Artia :”Iya, iya, aku disini, aku gak akan kemana-mana kok. Tenang aja, g usah panik gitu. Cup, Cup, Cup...” Ucapnya dengan mengelus bagian belakang kepalaku dengan lembut dan membisikkan suara lembutnya tepat di
telinga kananku.
Hanya dengan suara, pelukan dan usapannya seluruh kedinginan yang ada dalam diriku langsung tak lagi terasa, tubuhku terasa begitu hangat dan juga ringan, perasaanku dipenuhi rasa bersyukur, bahagia, dan juga lega. Tanpa sadar air mata sudah mungalir lagi membasahi kembali pipi yang baru saja ku keringkan, tapi kali ini berbeda,
ini bukanlah air mata kesedihan....
Tapi ini adalah.....
.
.
.
.
.
.
......air mata kebahagiaan.
Ku balas pelukan Tia dengan cukup erat, cukup erat hingga membuatku yakin aku takkan kehilangan dia lagi saat mataku berkedip selanjutnya.
Vista :”Ehem, dari tadi gua ngomong g di dengar, giliran Tia langsung di respon. Kalo mau mesra-mesra an jangan pas ada gua lah. Mentang-mentang udah pacaran jadi suka lupa sama sekitarnya.” Kata Vista dengan sebalnya dan memasukkan kedua tangannya ke kedua sisi kantong celananya.
Apa?!
Artia :”Hehe, buat sekali ini aj doang, Vis. maklumin yah. pas ngeliat Dion kayak gitu sebagai pacarnya mana bisa aku mengabaikannya.” Jawab Tia dengan sedikit bercanda ke Vista,
Apa yang mereka katakan?!
Ku lepaskan pelukanku begitu juga dengannya dan ku kupegang kedua bahunya, kedua mata kami bertemu dalam bisu, kesunyian dan momen tercipta dengan sangat sempurna hingga wajah Artia mulai memerah menahan malu.
Artia :”Eh Dion? Seriusan mau disini? Sekarang juga? Tapi kan ada Vista..” Kata Artia sambil malu-malu dan sesekali menghindari kontak mata denganku dengan paniknya,
Menggunakan gaun one piece berwarna putih, bersama rambut ungunya yang tertata rapi lurus perlahan ku perhatikan mulai dari atas ke bawah hingga aku melihat kedua tangannya yg mulus di sampingnya yang sedang bermain-main dengan sendirinya mengalihkann rasa malunya dengan menarik-narik kecil gaunnya.
Dion :”Jadi gitu ya....” jawabku dengan pasrah,
Artia :”Ada apa, Dion?”
Ku lepaskan kedua tanganku meninggalkan mereka berdua dan melanjutkan perjalananku menuju Alun-Alun.
Benar,
Kenapa aku bisa sebodoh ini.
Dengan menyeret kaki dan mengankat tubuh dengan sekuat tenaga, hanya dengan mengambil satu langkah lagi-lagi aku harus menggigit bibirku berkali-kali untuk mempertahankan kesadaranku dan juga agar aku tak lagi terjatuh dalam halusinasi ini. Darah mengalir melalui mulutku namun aku tak merasakan rasa sakit, namun walau begitu aku terus menggigitnya sekuat tenaga sambil menatap jauh ke depan bersama dengan pernglihatanku yang mulai kabur.
Langit malam yang begitu dingin dihiasi bintang sudah menghilang dalam sekejap, semua menjadi terang dan hangat seperti saat musim panas di siang hari namun walau begitu aku tetap tak bisa menggerakkan kakiku
yang satunya.
“Dion!”
Begitu kecil sampai hampir tak terdengar sama sekali, suara yang memanggilku dari kejauhan itu perlahan mulai membasasr.
“Dion!”
Ku abaikan semua suara yang terdengar di telingaku dan terus maju kedepan, tak ada yang bisa menghentikanku dan tak ada yang boleh. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu dengannya. Kuabaikan semua yang ku
dengar, kurasa dan kulihat, karna aku sadar kalau semua itu tidaklah nyata, hanya sebuah halusinasi dari seorang pemuda menyedihkan yang sedang berada diambang
kematiannya.
*Bruk!*
Tanpa tau kenapa aku tersungkur ke bawah dan tak mau mencari taunya, ku coba untuk bangun namun percuma tak ada tenaga yang tersisa lagi untuk berdiri ataupun menggerakkan tanganku, kalaupun ada tenaga juga percuma
karena kedua kakiku sudah tak lagi bisa kurasakan dan tak bisa lagi kugerakkan sama sekali.
Lapar.....
.
.
.
.
.
Haus.........
.
.
.
.
.
Dinginn.......
.
.
.
.
.
Jika diingat-ingat, kapan terakhir aku makan ya? 5 hari? Atau 1 minggu?
Ku balikkan tubuhku menghadap langit, bersama tanah ku menatap langit dengan mata yang sudah mulai dipenuhi kegelapan disetiap sisiny.
Perlahan kumulai kesulitan memakainya untuk melihat,
SIALAN!!...... Hanya sampai disini sajakah batasku?
Walau mataku sudah terbuka lebar namun jarak pandanganku perlahan mulai berkurang seperti akan dipenuhi oleh kegelapan yang datang entah dari mana...
Maafkan aku, Vista.... sepertinya.....aku tak bisa.........memenuhi janjiku....
Nafasku semakin lemah, cukup lemah hingga aku sendiri tak bisa merasakan detakan jantungku kembali.
“Dion!”
Terdengar panggilan itu lagi, dan itulah suara terakhir yang kudengar sebelum aku kehilangan pendengaranku sepenuhnya dan tenggelam dalam kegelapan dan juga kesunyian tanpa batas.
Dengan suara terengah-engah jauh dalam hatiku,
Akhirnya...... Sunyi juga......
Kedua kakiku tak bisa kurasakan atau kugerakkan, begitu juga kedua tanganku, kedinginan ini terus menggerogoti tubuhku dari bawah ke atas, hanya masalah waktu sampai menguasai seluruh tubuhku sepenuhnya dan mencapai
otakku.
Ku hembuskan nafasku yang begitu berat ke langit dengan mulutku dengan sangat lemah,
Jadi.......... inikah yang namanya kematian?
Papa......
Kak Rendi....
Kak Paula....
Aku takut......
Dion sangat takut, pa....
Apakah mataku sedang terbuka atau justru tertutup? Aku bahkan sudah tak bisa membedakannya lagi. Semua yang kulihat hanyalah kegelapan semata.
Sunyi.... Tanpa suara....
Gelap.... Tak terlihat apa-apa....
Tak bisa kugerakkan sekujur tubuhku seperti biasanya,
Rasa takut memenuhi diriku,
Seakan aku berada disuatu dunia yang hanya diisi oleh diriku seorang, tak peduli seberapa lama kubicara takkan ada yang menjawabnya, tak peduli seberapa lama ku berjalan takkan bertemu siapapun. Sebuah dunia tanpa apapun dan hanya ada diriku seorang.
Sampai kusadari aku sudah bisa bergerak dengan bebas lagi di dunia hampa ini, kedinginan yang begitu menyakitkan itu, rasa lapar, semua menghilang dengan begitu saja.
Apakah aku sudah mati?
Ku duduk memeluk lutut dan tak bergerak, lagi-lagi aku tak bisa membedakan, apakah mata ini terbuka atau tidak, karena semua terlihat sama, hanya kegelapan semata.
“DION!!”
Suara itu lagi........
Ku tatap langit namun percma semua pemandangannya jg sama hanya kegelapan semata,
“KUMOHON.......JANGAN MATI......”
Kenapa suara itu terus mengikutiku?
*Krak!*
Terlihat sebuah retakan di langit-langit dan keluar secuil cahaya dari arah sana. Setelah melihatnya ku berdiri dan mengulurkan tanganku walaupun jelas-jelas tidak mungkin terjangkau ke langit itu.
*Kratak!*
Semakin lama retakan itu semakin besar dan membesar, terus menjalar hingga mencakup sangat jauh hingga tak dapat ku ikuti mataku lagi.
*Cetar!!!*
Bagaikan kaca, semua kegelapan itu pecah dan hancur berkeping-keping, runtuh seperti hujan berwarna hitam pekat. Dibalik semua itu terlihat cahaya yang begitu cerah, hangat dan sangat menyilaukan. Sangat menyilaukan hingga membuatku tak bisa kabur darinya walaupun ku tutup kedua mataku.
Ketika ku buka kedua mataku hal pertama yang kulihat selain langit berbintang adalah sebuah rambut, berwarna ungu mengkilap seperti batu amethyst dan juga sepasang matanya indah yang yang berwarna ungu berkaca-kaca
dan di ikuti air mata disetiap sisinya.
Dengan lemas aku terkejut setengah mati saat melihat gadis yang kucinta, gadis yang kucari, gadis yang menjadi tujuan hidupku meneteskan air mata memohon keselamatanku sambil mencium langsung dimulutku.
TIA?!
Gadis itu melepaskan ciumannya dan meminum sebuah coklat panas dari botol ditangannya dan memasukkannya paksa kedalam mulutku saat menciumku dengan tergesa-gesa hingga menumpahkan beberapa coklat panas mengalir disamping bibirku, saat ku sadari ternyata tubuhku mulai terasa hangat, tenagaku kembali walaupun hanya sedikit.
Selain rasa manis dan juga hangatnya coklat panas itu aku merasakan hal lain, aku juga mersakan dia yang gemetaran menahan rasa takut sambil menangis dari pertemuan kedua bibir ini.
Tepat setelah semua coklat panas di mulutnya tersalur masuk ke dalam tenggorokkanku ia melepaskan mulutnya dariku, sebelum ia meminumnya lagi.
*Clak!*
Botol itu terjatuh dan menumpahkan sebagian banyak isinya ke trotoar dan membuatnya cukup panik dengan air matanya yang terus mengalir tanpa henti,
Berdasarkan keinginan yang begitu kuat tiba-tiba tubuhku bergerak dengan sendirinya dan saat kusadari aku sudah memeluk dan mencium gadis yang terlihat terkejut setengah mati itu. Air matanya mengalir dan ia juga menutup
kedua matanya terdiam tanpa perlawanan.
Dalam beberapa saat kami berada di posisi seperti ini sampai akhirnya kulepaskan ciumanku dengan gemetaran ketakutan, ku peluk erat tubuhnya dan kurasakan rasa hangat darinya.
Dion :”Ti-Tia?! Ini Tia yang aslikan?!”
Artia :”Jadi maksudmu kamu bakal mencium gadis secara acak seperti tadi tanpa mengenalinya dulu?” jawab jailnya bersama senyuman manisnya dengan kedua pipinya yang dibasahi air matanya.
Bersambung - Selanjutnya : [Arc 4, 3 Of Us : Harapan Egois Tia]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Zai X🍀
keren gila!!!!
2022-07-28
0
meli meilia
superb! baca bab ini bikin bulu kuduk merinding.. ga kebayang kalo sampe ngalamin apa yg dirasain Dion. 👻👻 pemilihan kata katanya bagus bgt thor!👍semangatt smangatt
2022-03-24
2
El_Tien
ini ciri khas ya, bikin dialognya model begitu hehehe
2022-03-22
2