Hari demi hari berlalu begitu saja, begitu pula dengan kehidupan Husna yang terasa semakin tidak mudah untuk ia jalani, namun ia pun tetap sabar dan menerima dengan besar hati jalan hidup yang sudah ia pilih.
Semenjak Aryo divonis mengalami cacat permanen akibat tembakan di kakinya, semenjak itu pula ia resmi di keluarkan dari pekerjaannya.
"Dengan kondisi kakimu yang seperti sekarang ini, tidak mungkin kau bisa terus bekerja disini, Aryo. Karena hal itu hanya akan memperlambat pekerjaan. Pergi lah cari pekerjaan lain yang sekiranya cocok untuk orang yang memiliki kaki pincang sepertimu." Begitulah ucap mandor tempat dimana Aryo bekerja pada saat itu.
"Ta,,, pi pak, aku masih kuat, lagi pula aku sudah berpuluh tahun bekerja disini."
"Itu kan katamu Aryo, faktanya tidak ada orang pinjang yang bisa gesit dalam bekerja. Sudah lah, ini ambil uang pesangonmu, dan cari pekerjaan lain!" Mandor itu pun menyerahkan amplop berwarna putih, lalu meminta Aryo untuk pergi meninggalkan lokasi Proyek.
Kala itu Aryo pun hanya bisa terdiam menahan semua kekesalannya, karena percuma jika dia mengamuk disana, tentu tidak akan mengubah apapun.
Hingga akhirnya, kini Aryo telah bekerja sebagai supir angkot, meski bergaji tak seberapa namun cukup lah untuk sekedar mereka menyambung hidup.
Sementara Melati, putri kecil yang sangat Husna sayangi serta ia banggakan, kini mulai tumbuh menjadi seorang remaja yang cantik dan juga pintar. Ya, sejak kecil kecerdasan Melati memang sudah terlihat lebih dominan bila di bandingkan dengan Rio, Melati bahkan berhasil masuk ke SMP negeri paling favorit di desa itu dan mendapatkan beasiswa disana. Hal itu jugalah yang menjadi salah satu faktor kenapa Husna bisa lebih sering membanggakan Melati dari pada Rio kepada hampir semua tetangganya.
Namun, seiring dengan semakin bertambahnya usia Melati, membuat semakin bertambah besar pula rasa malunya terhadap tingkah laku ibunya yang menurutnya sangat berlebihan. Pernah suatu hari, tepatnya pada hari Minggu, saat itu Melati libur sekolah hingga Husna mengajaknya untuk ikut berbelanja ke pasar.
"Yang ini berapa?" Tanya Husna sembari menunjuk ke arah ikan Tuna.
"Itu 40.000 satu kilo."
"Haaissh, mahal sekali, aku hanya ingin membeli setengah kilo saja, apakah bisa menjadi 10.000?" Tawar Husna tanpa ada rasa malu.
"Haiyoo, mana bisa di tawar-tawar, ini sudah harga pasarannya."
Husna terdiam sejenak sembari mulai mengintip uangnya yang tersimpan di dalam dompet.
"Jika uang ini aku gunakan untuk membeli ikan semuanya, maka aku tentu tidak bisa menabung untuk masa depan Melati." Gumam Husna yang lagi-lagi hanya memikirkan Melati dan Melati.
"Ah ayolah, kita sama-sama pedagang di pasar ini, harusnya harganya juga bisa lebih miring." Lanjut Husna kemudian.
"Tidak bisa!" Tegas pedagang ikan itu.
Namun Husna yang ingin sekali memasakan ikan Tuna untuk Melati, terus saja berusaha untuk menawar dan menyingkirkan rasa malunya. Berbeda halnya dengan Melati yang berdiri di belakangnya, melihat tingkah ibunya, ia menjadi benar-benar merasa malu.
Ia pun langsung menarik baju ibunya, membuat ibunya seketika berbalik badan menatapnya dengan bingung.
"Ibu, apa yang ibu lakukan? Kenapa masih saja terus menawarnya??" Keluh Melati.
"Sayang, kamu harus sering-sering makan ikan, agar otakmu semakin cerdas hehe." Jawab Husna dengan tenang di hadapan Melati.
Husna pun tak ambil pusing dan kembali bersitegang dengan pedagang ikan agar demi bisa mendapatkan ikan Tuna dengan harga 10.000.
"Jika tidak punya uang tidak usah beli ikan!" Bentak pedagang ikan yang kesal.
Melihat hal itu, rasa malu pada Melati pun semakin bertambah akibat kala itu ada banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka.
Tak pikir panjang lagi, Melati pun langsung saja menarik tangan ibunya untuk membawa pergi ibunya dari sana.
"Hei apa yang kamu lakukan?"
"Ibu cukup!" Tegas Melati dengan kedua matanya yang mulai membesar.
"Kenapa ibu sangat suka mempermalukan diri ibu sendiri?!" Tambahnya lagi yang saat itu seperti terlihat sangat kesal pada ibunya.
"Nak, itu ibu lakukan demi bisa membelikanmu ikan segar,"
"Aku tidak perlu sering-sering makan ikan bu, tidak usah memaksa jika uangnya tidak cukup!" Melati pun kembali melanjutkan langkahnya dengan rasa kesal.
Namun Husna, dengan cepat menyusul langkahnya untuk menghibur anak gadisnya itu.
"Hei sayang, sudah lah, jangan marah, iya ibu minta maaf." Pujuk Husna sembari tersenyum dan melingkarkan tangannya pada lengan Melati.
Melati pun hanya diam dan terus saja berjalan menuju ke pedagang yang menjual tahu dan tempe.
"Sayang, kamu mau apa?" Tanya Husna bingung.
"Ini berapa?" Tanya Melati pada pedagang itu.
"Yang ini satunya 3000," Jawab pedagang sembari menunjuk ke arah sebungkus tempe.
"Dan kalau tahu, tiga tahu 2000." Tambahnya lagi.
"Ah baiklah, saya beli 6 tahu, dan dua bungkus tempe." Ucap Melati.
"Hei, kamu yakin hanya makan tahu dan tempe hari ini?" Bisik Husna.
"Sudah lah bu, bukankah selama ini juga kita sudah terbiasa hidup susah, bahkan makan nasi hanya dengan garam juga pernah kan? Jadi setidaknya tahu dan tempe akan jauh lebih baik dari pada membeli ikan tapi harus mengorbankan harga diri dan menanggung malu." Tegas Melati pada ibunya.
Husna pun hanya bisa menghela nafas panjang, lalu menyerahkan uang 10.000 pada pedagang, dan mereka pun berlalu pergi.
Keesokan harinya...
Hari ini adalah hari penting bagi Husna, karena ini adalah hari pertemuan antara wali murid dan wali kelas, untuk membicarakan masalah perpisahan murid-murid yang akan di gelar sebentar lagi. Husna, hari itu nampak begitu bersemangat, ia bahkan memangkas rambutnya seorang diri yang kala itu rambutnya sudah mulai panjang. Ia bahkan terlihat tak kalah semangat saat memilih pakaian untuk ia kenakan saat mengunjungi sekolah putrinya.
Tidak terasa, kini waktu telah menunjukkan pukul 09:15 pagi, di kelas 9 juga mulai nampak ramai karena para orang tua/wali murid telah banyak yang berdatangan kecuali Husna. Saat itu, Melati justru terlihat sangat santai meski hanya tersisa orang tuanya yang belum hadir. Karena sesungguhnya, Melati memang berharap jika ibunya tidak perlu datang ke sekolahnya, melihat para orang tua dari teman-temannya yang berpenampilan sangat baik, sangat berbeda dengan ibunya yang selalu lusuh.
"Melati, dimana wali mu?" Tanya wali kelas.
"Maaf pak, ibu saya sepertinya tidak bisa datang karena kurang enak badan,"
"Oh benarkah?"
"Iya pak, jadi ibu bilang, apapun keputusannya, ibu akan setuju." Jelas Melati yang sudah pasti hal itu ia karang sendiri.
"Eeem baik lah kalau begitu, kita mulai saja rapat ini."
Namun selang beberapa menit kemudian, tak sengaja Nana, teman sebangku Melati sekaligus teman di dekat rumahnya, melirik ke arah jendela, dan melihat ibu Melati yang baru saja memasuki gerbang sekolah.
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments