~Bermimpilah seindah-indahnya, lalu berusahalah segigih yang kau bisa.
semoga setelahnya dapat kau cipta mimpimu hingga mjd bangunan nyata yg semewah-mewahnya~
***
Anna memasuki kamarnya. Di bawah tempat tidur, terlihat Zizi sedang menggambar sketsa. Anna mengambil posisi duduk di samping adiknya itu. Ia mengamati bagaimana jemari lentik Zizi dalam menggoreskan pinsil di atas buku sketsanya.
Menggambar memang keahlian Zizi. Gadis itu memang jarang bicara. Lebih sering ia menggambar sketsa ataupun pemandangan seperti danau, padang rumput, hewan-hewan, dan juga istana. Selalu gambar itu yang diulang-ulang digambarnya setiap hari.
Seperti sekarang ini, samar-samar Anna sudah bisa menebak gambar yang akan dibuat oleh Zizi. Sebuah istana.
Perlahan Anna menyandarkan kepalanya ke meja kecil yang berada di samping tempat tidur. Sembari terus memperhatikan Zizi dan sketsanya.
"Kakak iri sama kamu, Dek. Zizi pintar banget ngegambarnya. Kakak mana bisa menggambar sebagus kamu?" Anna bergumam pelan.
Di samping Anna, Zizi seolah tak mendengar Anna bicara padanya. Ia terus asyik menggurat mata pena dengan khusyuknya. Tak lama dialog monolog itu terus berlanjut.
"Kakak juga iri sama Zizi. Kamu gak mesti mikirin soal hari besok. Kamu bahagia di dunia milikmu sendiri, Dek. Walau mungkin kamu juga pasti kesepian ya? Karena ga ada teman untuk berbagi."
Sret..sret. sret.sret. Zizi masih menggambar dalam diam.
"Maafin Kakak ya Zii karena Kakak ninggalin kamu sendirian di kamar ini.." suara Anna terdengar bagai lirihan yang hampir tak terdengar.
Ada rasa sesak yang menghimpit dadanya kini. Ia sebenarnya tak ingin mengunci Zizi hampir seharian di kamar ini. Tapi jika Anna tak melakukannya, Anna khawatir Zizi akan kembali hilang tersesat.
Seperti dulu, Zizi pernah satu kali menghilang. Ia kedapatan berkeliaran di taman perumahan, mengejar kupu-kupu. Sementara Anna dan Bik Inem yang biasanya mengurus Zizi kepanikan mencarinya hingga sore.
Syukurlah tak ada hal buruk yang terjadi padanya. Sejak itulah Anna mengunci Zizi di dalam kamar. Sesekali Bik Inem memberi makan atau menemaninya bermain di kamar, jika ia sudah menyelesaikan pekerjaan rumah.
"Grook.. grook.." suara burung hantu di halaman terdengar memecah keheningan malam.
Anna menatap ke jendela kecil kamarnya. Di sana ia dapati bulan sabit terpampang menghiasi langit dengan cantiknya.
Tiba-tiba saja Anna didera rasa rindu kembali pada Ayah dan Bunda nya. Entah di mana mereka berada kini. Apakah ia masih menghirup udara di dunia yang sama seperti mereka, ataukah mereka sudah..
"Ah.." Anna mendesah pelan. Selama sejenak ia menutup mata. Berusaha mengumpulkan daya-daya yang tersisa untuk bangkit kembali.
Pikirannya masih begitu kalut memikirkan perjodohan dengan Frans. Tapi secercah harapan bahwa ada cara lain untuk menghadapi hari depan masih bercokol di benaknya.
"Zii.. sudah malam. Kita tidur yuk."
Perlahan Anna membereskan peralatan menggambar Zizi. Melihat Anna, Zizi ikut membereskan sketsanya dalam diam.
Setelah rapih, keduanya pun berbaring dan berpelukan di pembaringan. Mencoba untuk saling menguatkan.
Dan malam pun merajut kisahnya. Ia menabur mimpi di beberapa manusia yang dinaunginya. Juga mengabaikan beberapa hingga terlelap dalam tidurnya.
***
"Ai dengar kabar, kalau Bangsawan Linski hendak pergi ke tanah jauh. Benarkah itu?"
Seorang remaja putri bergaun princess biru muda nampak malu-malu bertanya. Sekitar dua meter darinya, seorang pemuda tanggung nampak berjalan mengiringinya.
Keduanya sedang berjalan-jalan menikmati keindahan taman Pelangi, dengan bunga yang berwarna-warni serta kicauan burung gereja yang bercuit nyaring. Sementara tak jauh di belakang mereka, terdapat beberapa pelayan yang ikut mengiringi perjalanan keduanya dalam diam.
Pemuda tanggung yang ditanya asik mengamati wajah putih remaja putri itu.
"Ya. Ayahanda ingin Ai berguru ke Guru Besar Nomad di Benhill," Jawab pemuda itu dengan jujur.
Sekilas kesedihan terlihat menyapu wajah cantik sang remaja putri.
"..."
"... Tapi Putri jangan khawatir. Ai akan sering mengirim kabar kepada Tuan Putri. Ai berjanji."
"Sungguh?"
"Ya. Ai berjanji. Putri sudah lancar menulis, bukan?"
"Sudah. Tapi.."
"Tapi kenapa, Putri?"
"Ai khawatir, Bangsawan Linski akan sangat sibuk belajar sehingga tak sempat menulis kabar untuk Ai."
Sang pemuda berhenti sejenak. Ia mengamati wajah cantik remaja putri itu lekat-lekat sebelum akhirnya berucap,
"Ai sudah berjanji pada Tuan Putri. Jadi Putri harus yakin pada Ai. Bukankah kita berdua telah terikat janji suci Lovarina. Jadi pasti Ai akan selalu mengingat Tuan Putri. Percayalah!"
Sang putri tersipu saat mendengar penuturan Bangsawan Linski. Perlahan ia menatap balik lelaki yang sudah menjadi tunangannya selama 6 bulan ini.
"Baik. Ai akan menaruh kepercayaan Ai pada Bangsawan Linski."
"Daff," Ujar remaja pria itu tiba-tiba.
"Apa?"
"Ai ingin sekali Tuan Putri memanggil nama Ai. Daff. Panggil Ai, Daff!"
Spontan saja Sang Putri merasa malu. Ia kembali menundukkan pandangannya ke rerumputan di dekat kakinya.
"Itu.. rasanya tak pantas. Madam Tulle pasti akan mengatakan kalau itu tak sopan.. maksud Ai, tak sopan jika Ai memanggil Bangsawan Linski dengan nama langsung."
"Madam Tulle?"
"Beliau adalah guru etika Ai."
"Oo.."
"..."
"Sekali ini saja, perbolehkan Ai memintanya? Anggap saja ini cindera mata ajaib untuk mengantar keberangkatan Ai sebelum berguru ke tanah jauh. Daff. Cukup sekali saja."
"Itu.."
"Tolong.."
"..."
"..."
"Baiklah. Daff!"
Dan Sang pemuda tersenyum lebar. Membuat Sang Putri kian tersipu malu. Keduanya kembali melanjutkan perjalanan pagi mereka di taman. Bersama beberapa pelayan yang berbaris rapih di belakang keduanya.
"Terima kasih. Putri Tasya."
***
Suara jam beker membangunkan Anna dari tidurnya. Dengan mata masih terpejam, ia meraba-raba meja di samping kanan tempat tidurnya.
Di dekatnya Zizi masih pulas tidur. Ia hanya menggeliat sebentar sebelum mendapatkan posisi nyaman yang baru dengan memeluk guling kecil.
Tak ingin membangunkan Zizi, akhirnya Anna memaksa kedua matanya agar terbuka. Ia lalu segera mematikan alarm beker yang berbunyi. Setelah kamar kembali hening, ia melihat jarum pada jam beker di tangannya.
"Jam 5. Sepertinya sudah waktu subuh." Gumam pelan Anna.
Anna menaruh kembali jam beker ke meja. Lalu mengambil posisi duduk untuk menjernihkan benaknya yang baru bangun tidur.
"Sepertinya tadi aku bermimpi sesuatu yang baik. Mimpi apa ya?" Tanya Anna pada dirinya sendiri.
Anna mencoba cukup keras untuk bisa mengingat mimpi yang baru mendatanginya sebelum terbangun tadi. Tapi setelah beberapa menit usahanya tak jua membuahkan hasil, ia pun menyerah.
"Sudahlah. Apa pula pentingnya mengingat mimpi. Toh itu hanya kembang tidur semata."
Anna pun bangkit dari kasur lalu bergegas melakukan aktivitas paginya. Mandi, shalat, menyiram tanaman, memberi makan ikan, lalu sarapan bersama Zizi di kamar. Syukurlah Zizi masih cukup mandiri untuk bisa mandi dan berpakaian sendiri.
Baru pada pukul 9 pagi lah akhirnya Anna pamit berangkat kuliah. Sebelum berangkat, Mama Ira menitipkan baju untuk diantarkan ke butik langganannya di dekat kampus.
Kata Mama, ada beberapa bagian yang perlu dikecilkan. Anna menyanggupi permintaan Mama Ira, dan ia pun berangkat pergi.
***
(keterangan: kata "Ai" memiliki arti "saya")
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 176 Episodes
Comments
Cut Nyak
Saya sangat suka gaya bahasanya...
jika ada cerita yang benar² saya suka maka saya akan benar² membacanya kalimat perkalimat.
saya tidak piawai dalam sastra bahasa, namun jika ada yang bisa mengolah bahasa jadi enak untuk dibaca saya acungi jempol 👍🙏
2022-07-11
1
Hazhilka279
ya karena kebahagiaan itu terjadi terkadang juga dari mimpi. ya ga thor?
2022-05-14
1
NandhiniAnak Babeh
ceritanya bikin sesak
2022-05-07
3