Cinta Sang Maharani
~Berawal dari mata, cinta turun dan menjelma dalam hati.
Rasa baru yg menyergap jiwa, telah mengulik pula kehidupan sang pemilik raga.
duhai rasa..
kedatangan mu slalu meninggalkan tanya.
kira kah kau bertahan ada untuk selamanya?
atau melebur hilang dan tak tersisa?
hanya kau dan Sang Pencipta, yg tahu jawabannya~
***
Anna setengah berlari melewati halaman Fakultas Keguruan. Siang itu matahari sudah sampai pada titik paling teriknya. Anna yang baru keluar dari kelasnya, bergegas menuju gerbang keluar kampus.
Ia sudah berjanji untuk membelikan Zizi, adik perempuannya, mie laksa yang ada di dekat kampus. Anna berharap pedagang mie laksa itu masih ada di tempat pangkalannya.
Kalau sampai Anna lupa lagi untuk membelikan Zizi mie kesukaannya itu, Anna khawatir adik perempuannya itu akan kembali tantrum seperti hari-hari kemarin.
Mengingat Zizi, hati Anna terasa nyeri. Zizi sudah akan berumur 16 tahun, November nanti. seharusnya adiknya itu kini sudah masuk SMA. Tapi dengan kelainan mental yang dideritanya itu, Zizi harus memulihkan diri di rumah.
Zizi menderita scizophrenia. Saat normal ia cenderung pendiam dan senang bersenandung. Tapi jika penyakitnya kambuh, Zizi akan meracau dan teriak tak jelas. "Bunda Rani..Bunda Rani.." selalu saja nama itu yang dipanggilnya.
Hanya Anna saja yang bisa mendekati Zizi untuk kemudian memeluknya hingga tenang. Tak ada bunda untuk mengadu. Tak ada Ayah sebagai pelindung. Hanya Mama Ira, istri kedua Ayah, serta kedua putranya yang menjadi teman seatap Anna dan Zizi.
Disebut teman seatap pun sepertinya jabatan yang terlalu tinggi untuk ketiganya. Karena Mama Ira selalu menganggap sinis keberadaan Anna dan Zizi.
Walau sebenarnya rumah yang mereka tinggali adalah hasil kerja Ayah yang sukses sebagai aktor di masa lampau.
Anna kini berada di pinggir jalan raya. Sebelum sampai ke tempat pangkalan pedagang mie laksa, Anna terlebih dahulu harus menyeberangi dua jalan raya.
Tapi baru satu kali menyeberang, matanya menangkap sosok nenek renta yang nampak kebingungan untuk menyebrang. Akhirnya Anna tergerak untuk membantu nenek tersebut menyeberang ke jalan yang baru saja diseberanginya.
Setelah itu, Anna kembali menyeberangi jalan raya lagi sebanyak dua kali. Hingga ia tiba di pelataran masjid besar yang terletak di seberang kampusnya.
Anna menyusuri pelataran masjid hingga keluar dan tiba di gang kecil yang nampak penuh oleh para pedagang yang berjejer rapih.
Pedagang mie laksa yang ditujunya kebetulan berada di ujung tikungan jalan. Anna pun mempercepat langkahnya.
Sesampainya di sana, Anna disambut oleh keramaian di lapak pedagang mie laksa.
"Pak, saya pesan mie laksa ya dua. Tolong dibungkus!" Pesan Anna.
"O..iya, Neng. Sebentar ya, Neng. Sambal dicampur?"
"Dipisah aja, Pak."
"Ya. Tunggu dulu ya, Neng."
Anna menelusuri bangku-bangku di sekitarnya. Dan ia menemukan satu bangku kosong di pojokan. Ia pun bergegas ke sana. Setelah duduk, Anna khusyu mengamati keramaian di sekitarnya.
Entah kenapa di keramaian ini ia malah merasa terasing. Serasa seperti tak cocok dengan dunia di sekitarnya kini. Apalagi memikirkan masa depannya. Ia tak tahu apakah ia bisa melanjutkan kuliah. Mengingat Mama Ira yang makin hari semakin membatasi keuangannya.
Sebenarnya uang yang diterima Anna setiap bulannya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Sebelum Ayah pergi menghilang enam tahun lalu, Ayah sudah memberi amanat kepada Paman Sam, pengacara keluarga, untuk mengurus keuangan yang diterima oleh Anna.
Mama Ira pun sebenarnya juga menerima uang bulanan dari Ayah. Tapi herannya Mama Ira selalu saja memotong uang bulanan Anna hingga separo.
Sehingga untuk mencukupi kebutuhan ia dan Zizi, Anna menyambi jual kue donat di kampus.
Anna terkadang merasa iri jika melihat kawan-kawan sekampusnya. Umumnya semua kawannya masih mendapat perhatian dari orangtua mereka. Sehingga mereka tak perlu bersusah payah seperti Anna.
Melihat orang-orang di sekitarnya nampak tertawa bebas, membuat Anna jadi ingin melupakan semua beban hidupnya. Ia pun asyik memperhatikan orang-orang di sekitarnya kini.
Ada sepasang muda-mudi yang asik saling menyuapi. Ada segerombolan mahasiswi yang ramai membincangkan entah apa. Ada beberapa pemuda yang entah sendiri atau berkumpul bersama kawannya. Hingga akhirnya pandangan Anna terhenti pada sesosok pemuda tampan yang duduk dua bangku lurus di seberangnya.
Entah kenapa mata Anna ingin berhenti agak lama untuk mengamati pemuda itu. Ia berkulit putih, tinggi, dengan wajah seperti orang Arab-Eropa. Pemuda itu terlihat sedang menelpon seseorang.
Melihat dari kemeja jas yang dikenakannya, pemuda itu tak nampak seperti seorang mahasiswa. Meski Anna menaksir usianya mungkin tak lebih dari 25 tahun.
Pemuda itu tak menyadari kalau ia sudah menjadi pusat perhatian segerombolan mahasiswi yang duduk tak jauh darinya.
Anna lalu memperhatikan wajah pemuda itu lebih seksama.
Rambut cokelat kemerahan. Wajah oval. Bibir yang agak pink. Hidung mancung. Alis hitam dan tebal. Terdapat poni belah tengah yang menutupi dahinya. Serta mata setajam elang yang dihiasi oleh bulu mata yang lurus nan panjang.
Anna menduga, mungkin mata pemuda itu sering terlilip oleh bulu matanya sendiri. Membayangkan pemuda itu terlilip oleh bulu mata panjangnya, membuat Anna ingin tertawa.
"Tasya..?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan aneh Anna.
"Tasya..?"
Anna mengerjapkan mata. Suara itu terdengar tak asing di telinganya. Panggilan lembut dengan nada barito.
Anna mngedarkan pandangannya ke asal suara yang menarik hatinya itu. Dan pandangannya terkunci pada mata tajam milik pemuda tampan yang baru tadi diperhatikannya.
Satu detik. Dua detik. Pandangan kedua muda-mudi itu terkunci.
Tetiba saja Anna merasa bunyi keramaian di sekitarnya menghilang perlahan. Hingga hanya terdengar degup jantungnya yang berdetak agak lebih cepat dari yang seharusnya.
Ada rasa hangat yang menelusup ke dalam jiwa Anna secara diam-diam.
'perasaan apa ini? Kenapa aku seolah mengenal pemuda asing itu? Atau.. apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?' Anna membatin.
Segera saja Anna menunduk dan menyadarkan diri. Mencoba menutupi semburat merah yang mulai mewarnai wajahnya.
'apa yang terjadi padaku? Sepertinya aku mulai ikutan gila seperti Zizi,' desah Anna dalam hati.
Anna pun bergegas bangun. Ia berjalan menuju gerobak mie laksa untuk menanyakan pesanannya. Sekaligus melarikan diri dari sumber penyebab munculnya rasa malu dan rasa aneh yang baru saja menderanya.
Tapi kemudian suara pemuda itu terdengar lagi.
"Tasya.."
'siapa sebenarnya yang dia panggil? Tak mungkin aku, kan? Jelas bukan. Ia memanggil nama Tasya. Itu bukan namaku.'
Merasa penasaran, Anna menoleh kembali ke pemuda itu. Dan ia terkejut, ketika pemuda itu tampak menatap lurus padanya.
Anna menengok ke sekelilingnya. Ada seorang wanita yang baru saja berlalu pergi.
'oh.. mungkin perempuan itu yang dipanggilnya..?' Anna menduga.
Anna pun melanjutkan langkahnya kembali menuju gerobak mie laksa. Berusaha keras tak menghiraukan sosok pemuda tampan di belakangnya.
Sayangnya di sekitar gerobak ada cukup banyak orang yang berkerumun sehingga ia harus menunggu selama beberapa saat.
Setelah kerumunan itu berkurang sedikit demi sedikit, Anna pun menanyakan pesanannya pada Bapak pedagang.
"Pesanan laksa saya dua bungkus sudah jadi, Pak?" Tanya Anna.
"Yang sambalnya dipisah ya, Neng?"
"Iya, Pak!"
"Ini, Neng,"ucap Bapak pedagang sambil menyerahkan bungkusan mie laksa kepada Anna.
"Jadi berapa, Pak?"
"Udah dibayar, Neng," Jawab Bapak itu.
"Ehh?.. belum, Pak. Saya belum bayar. Tadi kan saya baru mesen dulu," Jawab Anna jujur.
"Udah, Neng.. tadi udah dibayarin kan sama temen lakinya Neng."
"Mm..kayaknya Bapak salah orang deh. Saya sendirian kok, Pak."
"Beneran, Neng. Tadi udah dibayarin sama anak laki ganteng yang datang bareng Neng. Orang dia jelas nunjuk Neng pas mau bayarnya kok."
"Mm.. tapi kayaknya Bapak salah orang deh. Saya tadi datang ke sini sendirian, Pak. Ini, biasanya 7 ribu kan seporsinya? Uang saya pas 14 ribu, Pak. Tolong terima ya, Pak. Terima kasih."
Anna bergegas pergi. Sebelum Bapak pedagang mie laksa itu mengembalikan uang yang telah diberikan padanya.
Sembari melangkah cepat, Anna sedikit merasa penasaran. Apakah tadi benar ada yang sudah membayar pesanannya. Atau Bapak itu yang lupa dan salah orang.
'ah.. apa peduliku. Itu sudah pasti salah orang. Di tempat tadi tak ada orang yang kukenal," Gumam pelan Anna.
Saat Anna hendak menaiki angkot biru 02 yang akan mengantarkannya pulang, tiba-tiba saja wajah pemuda tampan yang tadi memanggil nama 'Tasya' itu melintas di benaknya.
Spontan saja, wajahnya kembali merona. Ia pun tak menyadari bahwa mengingat pemuda itu telah memunculkan segaris senyuman di wajahnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 176 Episodes
Comments
Biarkan aku menangis
Bagus ceritanya.
Rajin promo ya, Kak.
Bisa di gryp2 fb atau di mana gitu yg punya banyak member.
Semangat, sukses selalu.
2022-09-17
2
Dewi
Aku yakin Anna adalah anak yang baik karena menolong sesama tanpa pamrih
2022-09-07
2
Anonymous
AQ mau dngr ceritanx
2022-08-22
2