"Kami butuh waktu untuk memikirkan semuanya dulu, Pak! paling lambat dalam beberapa hari ini saya akan beri tahu keputusan saya!" pinta Imran.
Saat itu ia belum bisa menentukan apapun, pilihan dari kepala kampung membawanya ke dalam sebuah dilema yang mengharuskannya memilih tanpa bisa menawarnya lagi.
"Baiklah! saya kasih kalian waktu tiga hari untuk berfikir!" tegas kepala kampung.
Pak Imran hanya mengangguk pasrah.
"Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Pak Imran! semakin cepat anda mengambil keputusan, maka keresahan warga juga akan lebih cepat mereda!" lanjut Pak Kepala kampung dengan nada penuh penekanan. Setelah itu ia segera berlalu meninggalkan rumah Imran.
Kini hanya tinggal Imran, Segara dan Mutiara di rumah itu. Ketiganya masih duduk di tempat semula, suasana menjadi sangat hening karena Segara dan Mutiara masih hanya diam menundukkan kepalanya. Imran juga hanya duduk mematung dengan tatapan kosongnya. Mereka hanyut dengan perasaan masing masing.
Setelah beberapa menit sama sama terdiam, Segara mulai mengangkat wajahnya.
"Tolong maafkan aku! aku lah penyebab semua kesalahpahaman ini, jadi sudah seharusnya aku yang pergi dari kampung ini!" ucap Segara datar.
Setelah sesaat suasana hening di antara mereka, akhirnya Segara membuka suaranya.
"Tidak, Bang! Abang tidak boleh pergi dari sini, memangnya Abang mau pergi kemana? ingatan Bang Gara masih belum pulih!" seru Mutiara.
Gadis belia itu sama sekali tidak ingin Segara meninggalkan kampung itu terlebih dalam keadaanya yang mengalami amnesia.
Imran masih tetap hanya duduk membeku tanpa merespon ucapan Segara maupun Mutiara.
Segara lalu beranjak dari tempat duduknya, "aku harus pergi, Ra! kalau aku masih disini maka permasalahan ini tidak akan pernah selesai!" resahnya.
Segara lalu melangkah menuju ruang tengah untuk mengambil jaketnya dan perlahan mengenakannya.
Melihat Segara yang benar benar berniat pergi, Mutiara langsung bergegas menyusulnya dan menghampirinya di ruang tengah.
"Aku mohon Abang jangan pergi, Bang! Ingatan Abang masih belum kembali, Abang sendiri nggak tahu kan harus pergi kemana?" rengek Mutiara.
Entah mengapa ia menjadi sangat mengkhawatirkan Segara, tanpa disadarinya setetes air mata jatuh dari ujung matanya.
Segara memegang pundak Mutiara dan mengusap air mata yang menetes di pipi Mutiara dengan tangannya.
"Maafkan aku, Ra! aku harus meninggalkan kampung ini, selama aku masih disini hidup kalian tidak akan pernah tenang, warga pasti akan menghujat kalian lagi!"
Segara lalu kembali melangkah mendekati Imran yang masih duduk di ruang tamu.
"Aku mohon pamit, Pak!" Segara berjongkok di hadapan Imran yang masih duduk terdiam di kursi, dan Segara memegang tangan Imran sangat erat.
"Aku sangat berterima kasih atas semua kebaikan kalian selama aku disini, aku berhutang nyawa pada Bapak dan juga Mutiara karena kalian yang sudah menyelamatkan dan merawatku selama ini. Aku akan mengingatnya seumur hidupku!" sebingkai kaca ikut menghiasi mata Segara. ia lalu mencium punggung tangan Imran dan berdiri menghadap ke pintu keluar rumah itu.
"Bang Gara jangan tinggalkan kami, Bang! Abang sudah seperti keluarga kami disini!" Mutiara mendekati Segara dan mencegahnya keluar dari rumah itu. Pipinya nampak basah oleh air mata, ia merasa sangat sedih dan tidak ingin Segara meninggalkannya.
"Bapak, tolong!" Mutiara menghampiri Imran, "tolong jangan ijinkan Bang Segara pergi, Pak! dia masih belum ingat siapa dirinya, apa Bapak tega membiarkan dia pergi dalam keadaan seperti itu?" Mutiara ikut berjongkok di hadapan Imran dan memohon agar bapaknya melarang Segara pergi.
Imran mengangkat pundak Mutiara sambil menatap wajahnya yang masih basah karena air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Imran hanya tersenyum datar melihat putrinya yang terlihat begitu sedih.
"Tunggu, Segara!" Imran bangun dari tempat duduknya lalu melangkah mendekati Segara yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Kamu tidak perlu pergi dari sini!" pekik Imran.
"Walaupun kamu pergi, masalah tidak akan berhenti sampai disini saja, Segara!" tegas Imran, ia lalu memegang kedua pundak Segara dan menatap matanya dengan sorot mata penuh arti.
"Warga kampung sudah menuduh kalian berdua berbuat hal tidak senonoh, kalau kamu pergi, apa tanggapan warga terhadap Mutiara? Setelah semua yang terjadi mereka pasti akan memandang sebelah mata terhadapnya." lanjut Imran lagi. Ada kegelisahan yang tersembunyi di balik wajah datarnya.
Segara ikut menatap wajah Imran, ia bisa memahami semua maksud perkataan Imran.
"Pak Imran, aku mengerti maksud Bapak!, menikahi Mutiara mungkin satu satunya pilihan yang bisa aku jalankan sekarang, Tapi bagaimana dengan Mutiara, Pak? kami tidak saling mencintai, selama ini kami sudah seperti saudara, hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik saja!" kilah Segara, ia merasa ragu kalau harus memilih menikah dengan Mutiara.
"Itu benar, Pak!" Mutiara ikut menyela, "Bang Segara masih belum bisa mengingat apapun tentang dirinya, bagaimana kalau sebenarnya dia sudah punya istri? aku tidak mungkin menjadi istri keduanya, Pak!" suara Mutiara bergetar, ia berusaha menahan isak tangisnya dan dia juga sangat takut bila harus menikah dengan seorang Segara yang masih belum jelas asal usulnya.
"Tapi ini satu satunya pilihan yang harus kita lakukan sekarang, Ra! kalian harus menikah, dengan demikian warga akan berhenti mencemooh kalian!" dengan penuh penekanan kembali Imran menegaskan kata katanya.
"Beri kami waktu memikirkannya dulu, Pak!" ucap Mutiara sendu, ia mengusap pipinya pelan menghapus air mata yang masih terus membasahi wajahnya.
Imran hanya menghela nafas pelan, "Baiklah, silahkan kalian pikirkan dulu, Pak Kepala Kampung hanya memberi kita waktu tiga hari, Bapak harap besok kalian sudah memantapkan keputusan kalian! Ingatlah, ini harus kita jalani demi kebaikan kita semua!" desak Imran.
"Bapak akan berangkat melaut! dan kamu, Segara! kamu tidak perlu ikut melaut malam ini. Kamu temani Mutiara saja di rumah, dan pikirkan semua keputusan yang harus kau ambil agar kita bisa segera lepas dari permasalahan kita!" Imran lalu melangkah keluar tanpa melirik lagi ke arah Mutiara maupun Segara, ia dengan cepat menyambar peralatan melautnya dan segera melangkahkan kakinya menuju pantai dimana ia memarkirkan perahunya.
Segara dan Mutiara membeku di tempatnya masing masing, tiba tiba saja rasa canggung memenuhi pikiran mereka, satu keputusan yang harus mereka jalani membuat mereka merasa seperti orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain.
Menikah tanpa rasa cinta, bukanlah hal yang mereka inginkan. Terlebih Mutiara, pikirannya sangat kacau, dia sangat takut membayangkan menikah dengan seorang pria yang hilang ingatan, gadis lugu sepertinya pasti sangat takut apabila ternyata setelah menikah Segara ingat akan masa lalunya apalagi kalau Segara ternyata juga sudah beristri, menjadi istri kedua adalah hal yang paling tidak diinginkannya selama ini.
Sesekali keduanya saling menatap, namun tak sepatah katapun terucap dari bibir mereka, hanya perasaan yang tengah berbincang di hati mereka masing masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
"Candy75
terima aja
2022-07-29
0
Nunung Sunarti
setujulah untuk dinikahkan ya
2022-07-02
1
Nurmila Karyadi
semoga crtamu beda y thor walau sudah ingat segara tetap cinta m mutiara
2022-06-04
2