Segara POV
Beberapa hari setelah Pak Imran menemukan dan menolongku saat aku terhempas ke tengah lautan, Pak Imran dan Mutiara masih merawatku dengan sangat baik, luka luka di tubuhku kini sudah mulai mengering sehingga rasa nyeri di sekujur tubuhku juga sudah mulai hilang, akan tetapi aku belum juga bisa mengingat apapun tentang siapa diriku dan juga masa laluku.
Aku merasa sangat beruntung bertemu dengan orang orang baik seperti Pak Imran dan Mutiara yang sangat tulus menolongku, walau aku juga menyadari mereka hanyalah keluarga sederhana dan hidup mereka serba kekurangan.
Tak ingin terlalu menjadi beban bagi Pak Imran dan Mutiara, aku pun mulai membantu mengerjakan beberapa pekerjaan ringan. Seperti membantu Pak Imran memperbaiki jaring ikan dan mempersiapkan perahunya sebelum ia berangkat melaut. Hari ini aku juga ikut bangun saat masih subuh, aku sangat ingin membantu Mutiara pergi ke pasar menjual ikan hasil tangkapan Pak Imran.
Saat perahu Pak Imran baru saja kembali dari melaut aku ikut mengangkat jaring ikan dan mengeluarkan semua kotak penyimpan ikan dari dalam perahu.
Namun Pak Imran dan Mutiara melarangku ikut ke pasar.
"Bang Gara nggak usah ikut ke pasar, Bang! biar aku saja, aku sudah biasa kok mengerjakan ini sendiri!" Mutiara menolak saat aku ingin ikut bersamanya untuk menjual ikan ikan itu.
"Tapi ini berat, Ra! hasil tangkapan Bapak lumayan banyak hari ini, jadi ijinkan aku membantumu membawanya ke pasar!" walau Mutiara melarangku tapi aku tetap memaksa.
"Jangan, Bang! lukamu belum sepenuhnya sembuh sebaiknya kau tinggal di rumah dulu!" Mutiara tetap menolak.
"Iya betul kata Mutiara Gara, kau tidak perlu membantunya dulu, lagi pula tempat ini akan sangat ramai, kau sebaiknya pulang saja!" perintah Pak Imran ikut menimpali.
Sesungguhnya yang dikhawatirkan oleh Pak Imran dan Mutiara bukan karena aku masih belum sepenuhnya sembuh, namun mereka enggan menjawab pertanyaan orang orang yang sudah pasti akan bertanya siapa aku, karena selama ini mereka hanya tinggal berdua dan sanak saudara mereka tinggal sangat jauh dari kampung itu.
Menyadari hal itu, akupun tidak memaksa lagi dan aku berjalan pergi meninggalkan mereka berdua yang masih sibuk mengangkat kotak kotak ikan mereka menuju ke pasar ikan yang tak jauh dari tempat perahu Pak Imran mendarat.
Aku tidak langsung pulang seperti perintah Mutiara dan Pak Imran namun aku melangkah menuju ke sebuah pohon besar yang tidak terlalu jauh dari pasar itu. Di bawah pohon itu ada sebuah bangku kayu dan aku duduk sendiri disana. Dari tempat itu aku bisa leluasa memperhatikan aktivitas orang orang yang sudah mulai ramai ada di pasar itu serta lalu lalang perahu nelayan yang silih berganti berlabuh karena mereka semua baru kembali dari melaut.
Pandanganku tidak pernah lepas dari Mutiara. Gadis manis itu sudah terbiasa dengan pekerjaanya menjual semua ikan ikannya kepada pemasok ikan yang memang selalu datang kesana membeli ikan dari para nelayan. Ikan ikan itu akan di pilah pilah terlebih dahulu sesuai jenis dan ukurannya. Beberapa ikan yang tidak layak untuk di jual dikumpulkannya dan akan dibawanya pulang untuk dimasak hari itu.
Setelah semua ikannya terjual, Mutiara langsung menuju warungnya yang sudah terlebih dahulu di buka oleh Pak Imran dan mulai berjualan untuk para nelayan yang baru pulang dari melaut yang ingin mencari sarapan disana. Warungnya pun seketika ramai pembeli, dibantu oleh Pak Imran, Mutiara terlihat sangat cekatan dalam melayani para pelanggannya, namun keramaian itu hanya sebentar, karena para nelayan hanya singgah disana untuk sekedar mencari sarapan ataupun sekedar minum kopi saja. Setelah itu mereka akan segera pulang melepas lelah setelah semalaman ada di laut lepas.
Dalam hati aku mengagumi kesederhanaan Mutiara. Meski masih sangat muda, dia begitu bertanggung jawab, bekerja keras membantu Pak Imran dalam mencari nafkah untuk kehidupan sehari harinya.
Sejujurnya saat ini aku masih sangat bingung dengan diriku. Aku terus saja berfikir tentang siapa sebenarnya diriku. Di satu sisi aku sangat ingin ingat semua tentang diriku namun di sisi lain aku sangat takut mengetahui kenyataan tentang diriku.
"Siapa sebenarnya aku?" pertanyaan itu selalu ada di kepalaku namun aku sama sekali tidak bisa mengingat apapun.
"Bagaimana kalau ternyata sebenarnya aku adalah seorang buronan yang mungkin saja saat ini tengah di kejar kejar polisi?" aku sungguh tidak berani membayangkan hal itu.
"Lalu kalau aku bukan penjahat kenapa aku bisa hanyut di tengah laut? apakah ada orang yang sengaja mencelakakanku, bukankah aku memakai baju pelampung saat Pak Imran menemukanku?"
"Kalau aku terbawa arus laut karena sebuah kecelakaan kapal, kenapa hanya aku saja dan tidak ada korban yang lain? Kenapa tidak ada puing kapal atau apapun barang bukti lain yang ada di dekatku? Kenapa juga tidak ada orang yang mencariku?"
Tiba tiba kepalaku terasa sangat sakit saat aku berusaha mengingat semua tentang diriku dan aku menekan nekan keningku sendiri sambil meringis menahan sakit yang tak tertahankan.
Aku tarik nafasku dalam dalam kemudian ku hembuskan perlahan. Aku berusaha menenangkan diriku untuk meredakan sakit kepalaku yang begitu dahsyat, ku sandarkan punggungku di bangku itu dan aku pandangi hamparan lautan luas di hadapanku. Sesekali ku pejamkan mataku sambil terus menarik nafas dalam dan ku hembuskan kembali, akhirnya semua itu bisa sedikit mengurangi sakit kepalaku.
Aku masih duduk di bawah pohon itu dan tanpa terasa kini terik matahari yang sudah semakin tinggi menerpa tubuhku. Hembusan angin laut menyamarkan panas sengatan sinar mentari di kulitku. Aku masih memperhatikan semua kegiatan di warung milik Mutiara yang kini mulai terlihat sepi. Di area itu memang hanya ada satu warung saja yaitu warungnya Mutiara, karena warung yang lain kebanyakan adanya di dekat pasar, hanya warungnya Mutiara saja yang paling dekat dengan bibir pantai namun tidak terlalu jauh dari dermaga.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan perlahan berjalan menuju warungnya Mutiara.
"Bapak mana, Ra. Sudah pulang ya?" tanyaku saat aku sudah sampai di warungnya dan tidak melihat Pak Imran lagi disana.
Mutiara yang sedang sibuk mencuci cangkir bekas kopi dan mangkuk mie terlihat terkejut saat aku sudah ada di dekatnya.
"Loh Bang Gara nggak jadi pulang tadi?" tanyanya sambil menatapku heran.
"Aku duduk di bawah pohon itu tadi, aku malas pulang sendiri, habisnya kau melarangku membantumu!" seperti itu alasanku. Dan Mutiara hanya tersenyum medengarnya.
"Bapak buru buru pulang, katanya ada urusan mau pergi ke kota kecamatan!" ujar Mutiara sambil merapikan cangkir dan mangkuknya.
"Bapak juga pergi untuk mencari informasi tentang Abang, siapa tahu saja ada yang sedang mencari Bang Gara atau berita apa gitu terkait dirimu, Bang! Maklum jaringan internet dan GSM kan cuma sampai kota kecamatan saja, disini sangat terpencil jauh dari sentuhan tekhnologi Bang!"
"Sekalian membeli obat untuk Bang Gara juga." Mutiara terus berceloteh menjelaskan tujuan Pak Imran pergi ke kota kecamatan hari itu.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala, ada rasa cemas di hatiku apabila Pak Imran menemukan informasi tentang diriku dan ternyata itu adalah informasi yang tidak sesuai harapanku.
"Kalau aku ternyata adalah seorang penjahat yang sedang dalam pengejaran polisi gimana Ra? Kalian juga pasti akan ikut terseret karena menyembunyikan seorang buronan kan?" tanyaku penuh kekhawatiran.
Namun Mutiara hanya tersenyum menanggapi kekhawatiraku itu.
"Bang Gara sudah beberapa hari ada di rumah kami, dan selama itu Abang tidak ada menunjukkan kalau Abang itu orang yang jahat. Aku sama sekali tidak takut akan hal itu, Bang!" jawabnya seperti tanpa beban.
Aku lalu duduk di sebuah kursi di warung itu dan jujur saja, aku sangat terharu mendengar jawaban Mutiara, selain suka rela memberiku tumpangan di rumah mereka, Mutiara dan Pak Imran juga tidak pernah berfikir kalau bisa jadi saja aku adalah seorang yang jahat, mereka sangat tulus menolongku.
"Bang Gara, mau aku buatkan kopi?" Mutiara menghampiriku karena ia sudah selesai mencuci semua cangkir dan mangkuknya, warung itupun sudah sepi tidak ada lagi seorang pembelipun disana.
"Boleh!" jawabku sambil ku anggukkan kepalaku.
Mutiara segera membuatkan secangkir kopi dan menyajikan beberapa potong ubi goreng sisa yang tidak habis di jualnya. Sudah beberapa hari aku tinggal bersama mereka dan perutku juga semakin terbiasa menerima makanan yang dimasak oleh Mutiara.
"Kamu masak apa untuk makan siang, Ra?" tanyaku lagi, karena biasanya kalau warungnya sudah sepi Mutiara akan memasak makan siang untuk Pak Imran dan juga aku di warung itu.
"Ada sisa ikan hasil sortiran pemasok, Bang, aku mau jadikan pepes!" Mutiara lalu membuka kantong plastik yang berisi beberapa jenis ikan di dalamnya.
Perlahan ku dekati Mutiara, "boleh aku bantu bersihkan ikannya?" tanyaku sambil meraih kantong plastik itu.
"Nggak usah Bang, biar aku saja!" tolaknya.
"Kamu buat bumbunya saja sana, biar aku yang bersihkan ikan ikan ini!" aku tetap membujuk.
"Memangnya Bang Gara bisa bersihkan ikan ini?" tanyanya ragu.
Aku hanya tersenyum menanggapi keraguannya lalu ku ambil ikan ikan itu dan mulai membersihkannya. Entah mengapa aku merasa sangat tidak asing dengan jenis jenis ikan laut.
"Apakah pekerjaanku berkaitan dengan ikan sebelumnya?" sekilas ada pertanyaan itu melintas di benakku.
**Buat yang masih terus menyimak kelanjutan cerita ini tolong tinggalkan jejak dong! Sekedar kasih jempol saja akan membuatku semangat melanjutkan cerita ini! Apalagi kalau mau komentar kasih saran\, aku akan sangat senang. Malam ini aku double up deh biar kalian tetap lanjut bacanya**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Rosdiana Niken
disaku celana si Abang ga ada dompetnya?
2022-08-08
2
Lulu Cooking
aku sih ye Kaka aoutor
2022-07-31
1
Lexca Qilla
semoga sma tiara
2022-07-29
1