Segara perlahan mendekati Mutiara dan berusaha mencairkan kebekuan diantara mereka. Segara memegang pundak Mutiara sambil menatap matanya, ada rasa bersalah yang tidak bisa disembunyikannya lagi.
"Maafkan aku, Ra! ini semua karena aku! Selama ini kehidupan kalian sangat damai disini, akan tetapi setelah aku disini kalian jadi terkena banyak masalah! aku tidak tahu harus bagaimana saat ini, Ra?" ucap Segara pelan.
"Abang nggak salah, Bang! semua yang terjadi di luar kendali kita. Mungkin saja ini sudah takdir yang dituliskan Tuhan untuk kita!" Mutiara menundukkan wajahnya, bulir air mata kembali mengalir di antara kedua katup matanya.
"Kamu benar, Ra. Mungkin memang ini adalah takdir kita! Aku juga tidak pernah menyangka kalau aku akan terdampar disini dan bertemu denganmu. Saat ini yang kita bisa lakukan adalah menjalani saja semuanya!" ucap Segara pasrah. Dengan dua jarinya Segara mengangkat dagu Mutiara dan perlahan mengusap air mata di wajah manisnya. Mutiara mulai bisa mengulas sebuah senyum di bibirnya, walau terasa berat, ia harus pasrah menerima suratan takdirnya dan harus menikah dengan pria yang hanya ia kenal sebagai seorang Segara, seseorang yang sudah kehilangan masa lalunya karena hilang ingatan.
Mutiara memalingkan wajahnya dari tatapan Segara, ia lalu membalikkan badannya, melangkah menuju pintu keluar.
"Kamu mau kemana, Ra?" Segara mengikuti langkah Mutiara yang mulai berjalan keluar dari rumahnya.
"Aku mau menenangkan pikiran sebentar, Bang!" jawab Mutiara datar, sembari terus berjalan melewati pagar rumah itu. Walau cuaca sudah cerah dan hujan sudah berhenti namun suasana sudah mulai gelap, sang surya sudah terbenam digantikan bintang bintang yang mulai menampakan temaram sinaranya.
"Ini sudah malam, Ra! kamu jangan kemana mana?" Segara berusaha mencegahnya, tetapi Mutiara tidak memperdulikan Segara dan terus melangkahkan kaki mungilnya menyusuri jalan setapak yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya di kampung itu.
"Tunggu, Ra! Aku mau ikut sama kamu!" seru Segara, ia pun mengikuti langkah Mutiara yang semakin jauh meninggalkan rumahnya.
Mutiara menghentikan langkahnya di tepi pantai tak jauh dari muara sebuah sungai kecil. Gadis itu lalu duduk di atas pasir memandang lautan lepas yang terbentang dihadapannya. Hanya kedip lampu perahu perahu nelayan yang sedang melaut yang bisa terlihat jelas dari sana. Segara juga ikut duduk di sebelah Mutiara. Suasana di tempat itu sangat tenang karena jauh dari kesibukan aktivitas nelayan yang hendak melaut. Suara deburan ombak yang setia menabuh pantai terdengar jelas dari tempat itu. Hembusan angin menggerakkan daun daun nyiur sehingga tampak seakan mereka tengah menari dengan lemah gemulai membuat suasana terasa semakin tenang di tempat itu.
Mutiara melepaskan pandangannya ke tengah samudra, hembusan angin mengibaskan rambut panjangnya yang sengaja dibiarkan tergerai menutupi wajahnya.
"Kamu mau ngapain disini, Ra?" rasa penasaran mengisi benak Segara, tidak biasanya Mutiara seperi itu.
"Mandangin laut aja, Bang!" jawab Mutiara, "kalau aku lagi punya beban pikiran aku suka duduk disini, aku bisa merasa tenang saat melihat lautan!" paparnya sambil tersenyum tipis memandangi lautan yang menghampar di depan matanya. Segara ikut mengarahkan pandangannya ke laut, ia ingin ikut merasakan apa yang tengah dipikirkan Mutiara saat itu.
"Aku juga merasakan hal yang sama, Ra! dengan memandang lautan aku juga bisa merasa lebih tenang!" ujarnya, hembusan dingin angin pantai menerpa wajah keduanya.
"Sedari kecil aku hidup di kampung ini, Bang! pantai ini menyimpan banyak kenangan masa kecilku!" Mutiara kini mengalihkan pandangannya ke hamparan pasir pantai.
"Dulu aku dan almarhumah Ibu selalu menghabiskan waktu bersama disini. Ibuku dulu selalu menjemur ikan asinnya disini dan aku juga ikut bermain disini!" kenangnya.
"Semenjak Ibu tiada, kami berhenti membuat ikan asin, setelah aku lulus SMA aku lebih suka berjualan daripada jemur ikan, Bang!" ucapnya kalem. Segara hanya menghela nafas mendengarkan cerita Mutiara, kesederhanaan dan kepolosan gadis itu membuatnya makin terkesan.
"Kehidupan disini sangat damai dan tenang, Ra! Aku sangat senang tinggal di kampung ini!" ujar Segara menimpali cerita Mutiara.
"Sudah sebulan aku tinggal disini, aku merasa punya ikatan dengan semua yang ada disini, kalau boleh jujur aku nggak ingin pergi dari sini, Ra!, selain itu ada kamu dan juga Pak Imran yang selalu baik terhadapku, aku merasa hanya kalianlah keluarga yang aku miliki!" lanjutnya.
Angin masih terus berhembus menerpa wajah mereka, sekilas Segara melihat Mutiara menyeka rambut yang menutupi wajahnya. Segara mendekatkan wajahnya menatap Mutiara yang sudah bisa kembali tersenyum membalas tatapannya. Segara ikut mengusap rambut yang menutupi wajah Mutiara yang terus diterpa hembusan angin.
"Aku memang belum bisa ingat semua masa laluku, Ra. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa aku tidak punya siapa siapa di dunia ini selain kalian. Sudah sebulan semenjak kalian menolongku tidak ada seorangpun yang mencariku, mungkin saja sebenarnya aku ini hidup sebatang kara!" tutur Segara, mengungkapkan keraguannya.
"Jangan berkata seperti itu, Bang! semua orang tidak bisa hidup sendiri, kita akan selalu bergantung pada orang lain, mana mungkin Abang ini sebatang kara, pasti Abang punya keluarga dan mungkin saja mereka juga masih berusaha mencari Abang sampai sekarang!' kilah Mutiara menghibur Segara yang terlihat sedih karena sudah lupa akan keluarganya yang sebenarnya.
"Mutiara, mau tidak mau pernikahan kita pasti akan segera dilaksanakan, setelah itu kau dan juga Pak Imran akan benar benar menjadi keluargaku. Aku sendiri tidak bisa memahami apa yang tengah aku rasakan saat ini, Ra!" ucapnya lagi.
"Aku hanya ingin kamu bisa menerima semua ini dengan lapang dada! aku ingin kita mencoba menjalani semuanya, terimalah aku apa adanya, Ra! kalau suatu saat aku bisa ingat semua masa laluku, aku janji aku akan tetap menjagamu, walau apapun yang mungkin akan terjadi!" Segara terus menatap mata Mutiara yang kembali terlihat berkaca kaca saat mendengar kalimat Segara.
"Iya, Bang! semua sudah terjadi, kita harus jalani semuanya bersama!" jawab mutiara dengan bibirnya yang kembali bergetar menahan tangis harunya.
Kata kata Segara begitu menyentuh perasaannya sehingga ia tak lagi ragu menerima sebuah pernikahan yang akan mereka jalani demi menghindari fitnahan warga kampung itu.
Malam semakin larut menyapa, Segara dan Mutiara masih duduk berdua disana, angin laut yang dingin mulai berhembus dan menyelinap diantara pori pori kulit. Mutiara memeluk sendiri kedua lengannya mengurangi rasa dingin di tubuhnya. sesekali ia menggosok gosokkan kedua telapak tangannya dan menempelkannya di wajahnya agar terasa hangat.
Segara bisa menyadari kalau Mutiara mulai merasa kedinginan, ia lalu melepaskan jaketnya dan memakaikannya untuk menutupi punggung Mutiara.
"Makasih ya, Bang!" ucap Mutiara lirih sambil tersenyum kepada Segara dan dibalas oleh Segara juga dengan tersenyum manis kepadanya.
Segara mengalungkan satu tangannya di punggung Mutiara dan mendekatkannya ke pundaknya.Tanpa ragu Mutiara ikut merebahkan kepalanya di bahu kokoh Segara. Hembusan angin seolah tidak dipedulikan lagi oleh mereka berdua, perasaan hangat menyelimuti keduanya hingga tanpa terasa sudah lebih dari dua jam mereka duduk di pantai itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ridho Ikhsan
mesranya
2022-06-26
3
Sang
SMP Thor
2022-06-17
2
Nurmila Karyadi
ciiieee
2022-06-04
1