Hari semakin siang dan Mutiara sudah selesai memasak makan siangnya. Dia memasukkan semua makanan itu ke dalam rantang yang akan dibawa pulang untuk makan siang bersama bapaknya. Segara tetap menunggunya disana dan ikut membantu Mutiara menutup warungnya.
Mereka berdua lalu berjalan pulang bersama secara beriringan.
Dalam perjalanan pulang mereka bertemu dengan seorang wanita yang menatap mereka wajah dengan penuh tanda tanya.
"Mutiara, tumben kamu jalan sama laki laki, Ra, siapa dia?" wanita itu bertanya sambil menaikkan satu ujung bibirnya menatap ke arah Segara.
Mutiara nampak gugup mendengar pertanyaan wanita itu yang merupakan salah seorang tetangga samping rumahnya. Selama beberapa hari Segara tinggal di rumahnya, Segara memang tidak pernah keluar rumah karena belum sembuh dari luka lukanya.
"Ee...aa...ii...ini.. ini saudara sepupu jauhku, Mbak Lis, dia baru saja datang dari pulau seberang, namanya Segara!" jawab Mutiara sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
"Tidak biasanya ada saudaramu kesini, Ra? dulu kau pernah bilang kau tidak punya saudara sepupu?" Tanya wanita yang biasa dipanggil Mbak Lis itu lagi, ia nampak sangat penasaran. Mbak Lis terus memandangi Segara dari ujung rambut sampai ujung kakinya.
"Aaa... iya sebenarnya aku punya saudara sepupu jauh, Mbak Lis, tapi selama ini dia tinggal di kota, jadi sangat jarang bisa mengunjungi kami disini!" jawab Mutiara berbohong.
"Kenapa banyak sekali bekas luka di tangan sepupumu ini, Ra?" Mbak Lis masih terus bertanya dan Segara hanya diam tanpa reaksi sambil menundukkan wajahnya karena Mbak Lis terus menatap kearahnya dengan tatap mata penuh tanda tanya.
"Iya.... dia habis kecelakaan, jatuh dari motor!" kembali Mutiara berbohong mencari alasan yang sekiranya masuk di akal. Dan Mbak Lis hanya mengangguk namun masih terllihat menaikkan satu ujung bibirnya yang lain dan menatapnya ragu.
"Sudah ya, Mbak Lis, aku pulang dulu, aku mau nyiapin makan siang buat Bapak!" Mutiara segera menarik tangan Segara dan mengajaknya pulang.
"Pertanyaan seperti itu pasti akan sering aku dengar setelah ini!" gumam Mutiara dalam hatinya.
"Bapak belum kembali, kalau Bang Gara sudah lapar biar aku siapin makan siang untuk Abang saja dulu!" Mutiara meletakkan rantang makanannya di meja.
"Aku belum lapar, Ra, nanti saja tunggu Pak Imran pulang lalu kita makan sama sama!" jawab segara sambil duduk di bangku panjang di ruang tengah tempat ia biasanya tidur.
"Duduk sini, Ra! aku mau ngobrol sama kamu!" pintanya.
Mutiara lalu duduk di kursi di sebelah Segara.
"Kamu masih sangat muda Mutiara, usiamu berapa sekarang?" tanya Segara sambil menatap wajah belia Mutiara yang terlihat masih sangat polos.
"Umurku akan genap dua puluh tahun bulan depan, Bang!" jawabnya dengan senyum manis yang selalu melekat di bibirnya.
"Kamu nggak kuliah ya?" tanya Segara lagi.
"Tamat SMP saja disini sudah sangat bersyukur, Bang!" Mutiara mengernyitkan keningnya.
"Sekolah sangat jauh dari kampung ini dan adanya sampai SMP saja. SMA hanya ada di kota kecamatan, dan aku bersyukur dulu aku bisa sekolah disana sampai lulus, selama aku sekolah SMA aku tinggal di rumah salah satu saudara disana!" Mutiara mulai panjang bercerita.
"Oh.. disini cuma ada SMP saja ya?" kembali Segara bertanya singkat.
"Iya, itupun nggak semua bisa sekolah sampai lulus, Bang, terutama yang perempuan. Semua wanita disini masih kecil udah pada nikah. Bang. Bahkan teman temanku banyak yang sudah punya anak dua, dan ada yang sudah punya tiga bahkan hehe...!" Mutiara terkekeh sambil menunjukkan tiga jari di hadapannya.
Mutiara memang seorang gadis yang periang dan bicaranya pun sangat ramai. Apabila dia mendapat satu pertanyaan mungkin jawaban Mutiara bisa dua atau tiga lebih banyak dari yang bertanya padanya. Meski demikian Mutiara adalah seorang gadis yang sangat sopan terhadap orang lain, meski banyak bicaranya namun dia tidak pernah suka membicarakan orang lain apalagi nyinyir terhadap siapapun, dia adalah seorang gadis yang sangat ramah kepada semua orang.
"Terus kamu kenapa belum menikah juga seperti teman temanmu itu?" tanya Segara lagi
"Buat apa cepet cepet nikah, Bang? aku masih pengen sama Bapak, kasihan Bapak tinggal sendiri, lagian nggak ada Ibu aku sudah terbiasa hidup berdua sama Bapak saja!" kilahnya.
"Memangnya Ibumu kemana, Ra?" Segara masih terus bertanya, jawaban ramai dari mulut lugu Mutiara membuatnya merasa terhibur.
"Ibu sudah meninggal karena sakit saat aku masih kecil, Bang!" kini jawaban Mutiara terdengar singkat, ia lalu menundukkan wajahnya dan nampak sedih mengenang ibunya yang sudah tiada.
"Maaf, Ra! aku tidak bermaksud membuatmu sedih!" Segara kembali menatap ke arah Mutiara yang sedang menundukkan wajahnya.
"Nggak apa apa, Bang. Ibu sudah lama tiada, aku sudah terbiasa tanpa Ibu!" Mutiara mengangkat wajahnya dan kembali tersenyum.
"Lalu Bang Gara sendiri kira kira umurnya berapa ya? Kalau aku perhatikan sih Abang sudah cukup dewasa, kalau menurutku usia Bang Gara sekarang mungkin sekitar dua puluh enam tahunan gitu deh!" kini giliran Mutiara yang bertanya kepada Segara dan mengira ngira, tapi Segara hanya menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan Mutiara.
"Entahlah Ra, aku sama sekali tidak ingat!" jawabnya sambil mengusap keningnya pelan. Bekas lukanya masih nampak jelas di keningnya itu.
"Kalau aku tebak sih sepertinya Bang Segara ini sebenarnya pasti sudah menikah dan bisa jadi juga sudah punya anak!" kembali Mutiara hanya menebak saja.
"Pasti keluarga Abang juga sangat mengkhawatirkan Bang Gara saat ini?" Mutiara masih terus mencoba menerka nerka.
Segara pun hanya menanggapi dengan senyuman dan gelengan kepala, ia sama sekali tidak ingat siapa dirinya.
Brummm.....!
Di luar terdengar suara motor butut Pak Imran memasuki halaman rumahnya dan Mutiara bergegas keluar menemuinya. Setelah memarkirkan motornya, Pak Imran langsung menyerahkan beberapa kantong belanjaan kepada Mutiara.
"Berikan ini kepada Segara, Bapak membelikan beberapa pakaian untuknya, kasihan dia pakai baju Bapak kekecilan semua!" perintahnya kepada Mutiara sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya. Selama beberapa hari ini Segara memang memakai pakaian milik Pak Imran yang terlihat ketat saat dipakainya karena terlalu kecil untuk postur tubuh Segara yang kekar jauh lebih besar dari tubuh kurus Pak Imran.
"Ini Bapak membelikan beberapa baju buat Bang Gara, di coba dulu, Bang, mudah mudahan pas!" Mutiara kemudian menyerahkan tas yang berisi beberapa potong pakaian pria itu kepada Segara. Ia pun meraih tas itu dari tangan Mutiara. "Terimakasih banyak ya Pak Imran, aku benar benar sudah sangat merepotkan Bapak!" ucapnya sangat sungkan.
"Bapak ada dapat informasi apa di kota kecamatan, Pak? Apa ada yang sedang mencari Bang Segara?" Mutiara tidak sabar ingin mendengar cerita dari Bapaknya.
Namun Pak Imran hanya menggelengkan kepalanya. "Bapak tidak mendapatkan informasi apapun! Disana tadi internet sedang down ada gangguan fiber optik, Bapak tidak bisa melihat berita online dan jaringan GSM juga sangat buruk, ada angin p*ting beliung beberapa hari yang lalu disana dan membuat tower GSM tumbang!" jawabnya.
Wajahnya Imran terlihat lesu dan nampak ada kekecewaan karena sudah jauh jauh pergi ke kota kecamatan namun tidak mendapatkan juga informasi yang dicarinya.
Mendengar cerita Pak Imran Segara lalu menghela nafas pelan. Ada kecewa dan ada juga senang yang dirasakannya. Ia kecewa karena ia masih harus berusaha sendiri mengingat siapa dirinya namun dibalik itu, ia juga merasa senang karena setidaknya untuk saat ini ia masih bisa tetap tinggal disana karena ia sangat khawatir kalau ternyata dia adalah seorang buronan polisi.
"Maafkan saya harus menjadi beban terus di keluarga ini!" Segara menundukkan wajahnya.
"Saya belum bisa mengingat siapa saya, saya mohon ijinkan saya tinggal disini untuk beberapa waktu lagi sampai ada informasi tentang saya, atau ingatan saya sudah kembali lagi." Segara mencakupkan kedua tangannya di dadanya, nadanya terdengar memelas.
"Jangan terlalu sungkan, Segara! Bapak dan Mutiara tidak pernah keberatan kamu tinggal disini. Hanya saja Bapak kasihan sama kamu, kalau Bapak perhatikan mungkin kamu adalah orang berada, tapi saat ini kamu harus hidup sederhana bersama kami disini!" Pak Imran memegang pundak Segara dan tetap tersenyum menatapnya.
"Bapak akan terus berusaha mencari tahu siapa kamu yang sebenarnya, Segara, dan kamu jangan terlalu mengkhawatirkan banyak hal, kamu belum sepenuhnya pulih saat ini. Selama kamu tinggal disini Bapak akan anggap kamu seperti anak Bapak sendiri jadi anggap saja kami juga adalah keluargamu!" ucapan bijaksana itu sangat membuat hati Segara menadi teduh, ia seperti benar benar menemukan arti sebuah keluarga di rumah itu.
"Kalau begitu ayo kita makan sekarang, sebenarnya aku dari tadi sudah lapar tapi Bang Gara minta nunggu Bapak pulang saja, supaya kita bisa makan sama sama!" Mutiara menyela pembicaraan mereka sambil mempersiapkan meja makan, dan ketiganya lalu makan bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Rizal Zainal
semangat author
2022-07-24
1
Antoni Napitupulu
lanjut
2022-06-10
2
Mar doank
Sebenarnya Novel ini sdh lama disimpan di rak. Penasaran dgn judulnya, tetapi krn baru 7bab, aku tinggalin begitu saja. Barusan bongkar2 rak, eh, nemu ini diurutan paling bawah. Iseng baca satu bab, ternyata nagih banget alurnya. Bakalan marathon dh mlm ini, bacanya.
2022-06-08
3