V

Renjani mengaduk-aduk tasnya mencari benda tipis yang dari tadi bergetar sejak ia keluar dari Coffee Shop. Nama Mama terpampang di layar ponsel Renjani membuat si pemilik malas untuk segera menjawab telepon tersebut. Sungguh lebih baik mamanya tak meneleponnya selama seminggu atau satu bulan karena Renjani sudah bisa menebak apa yang akan mamanya bicarakan. Pasti tak jauh-jauh dengan pernikahan dan pindah kerja. Mamanya akan selalu membandingkan Renjani dengan Jesi yang mendapat gaji tinggi di rumah sakit.

"Halo Ma."

"Lagi dimana Re kok banyak suara kendaraan?"

"Iya Rere lagi di jalan mau pulang."

"Jam segini baru pulang?"

Renjani memutar bola matanya jengah, ini baru setengah 7 sedangkan banyak para gadis di luar sana yang pulang hingga pukul 12 malam.

"Rere ngopi bentar barusan."

"Coba kamu punya pacar pasti ada yang nganterin pulang pergi, nggak naik motor sendiri, Re Mama ini udah tua kapan kamu mau menikah atau seenggaknya punya pacar dulu deh."

Tuh kan bahas ini lagi, nggak ada yang lain apa? kenapa mamanya hobi membuat Renjani stres dengan kalimat yang menyuruhnya untuk segera menikah.

"Ma, Rere baru 25!" Renjani menghentakkan kakinya kesal, ia duduk di atas motornya di tempat parkir Coffee Shop yang sangat padat. Sepertinya malam ini semua orang butuh kopi hingga memenuhi Coffee Shop ini.

"Temen kamu banyak yang udah punya anak, masa kamu mau begini terus, kerja juga nggak bener, jangan egois dong Re kamu udah dewasa."

Renjani menelan salivanya dan memejamkan mata menahan emosi, kenapa ia disebut egois bukankah selama ini mamanya yang telah egois dan mengatur Renjani bahkan ia tak ingin kuliah di jurusan analis kesehatan jika bukan mamanya yang meminta dirinya kuliah di jurusan tersebut.

"Rere tutup dulu." Renjani menurunkan ponselnya dari telinga.

"Re, Mama belum selesai bicara!"

Renjani menekan ikon telepon berwarna merah meski mamanya masih terdengar berteriak-teriak memanggil namanya.

Renjani memasukkan ponselnya ke dashboard motor dan mengenakan helm sebelum melesat pergi dari parkiran Coffee Shop tersebut.

Ternyata tinggal jauh dari mama tidak membuat Renjani tenang, ia seperti mendapat teror dari mamanya sendiri yang terus menyuruhnya menikah atau pindah kerja. Apa yang salah dari pekerjannya, hanya karena tidak sesuai dengan jurusannya saat kuliah maka mamanya bilang itu kerjaan nggak bener. Tidak bisakah ia memilih jalan hidupnya sendiri.

"Asem banget muka lu." Suara Jesi langsung menyambut kedatangan Renjani yang baru turun dari motornya. "Kemarin jalan kaki asem sekarang naik motor makin asem."

"Capek gue." Renjani menghempaskan tubuhnya ke sofa, tak hanya capek fisik pikirannya juga capek.

"Kenapa? Tante Lasti ngomong macem-macem lagi?" Jesi sepertinya sudah hafal pada ekspresi wajah Renjani ketika mendapat telepon dari mamanya.

"Ya biasa." Renjani beranjak dari sofa setelah ingat bahwa ponselnya berada di dashboard motor. Ia memeriksa ponselnya, terdapat satu pesan dari nomor yang tidak ada dalam kontaknya. "Mandi dulu ya." Ia menyambar tas kerjanya di atas sofa lalu melangkah masuk ke kamar.

Saya Kelana, mari bertemu untuk bicara berdua. Kapan kamu ada waktu luang?

Mata Renjani membulat, netra nya yang berwarna kecoklatan melebar membaca pesan singkat yang ternyata dari Kelana itu. Entah kenapa dada Renjani bergemuruh membaca nama violonist tersebut.

Besok saya libur. Mau ketemu dimana?

Dimana saja yang penting sepi.

Renjani berpikir, dimana kah tempat di Jakarta ini yang sepi. Ia bukan gadis yang suka nongkrong atau hangout dengan teman-teman sebayanya sehingga ia tak banyak tahu tentang tempat-tempat nongkrong.

Satu-satunya tempat yang terpikirkan oleh Renjani adalah rumah ini karena besok pasti Jesi berangkat pagi sehingga tidak akan ada orang lain disini. Itu bisa menjaga privasi Kelana.

Tempat kos saya sangat sepi.

Renjani mengetik jawaban kepada Kelana. Namun detik berikutnya pesan dari nomor Kelana masuk ke ponselnya.

Apartemen ku saja, besok Yana akan menjemputmu.

Renjani mendengus kesal lalu untuk apa Kelana menyuruhnya berpikir tempat yang tepat untuk mereka bicara. Seharusnya Kelana bilang dari awal bahwa mereka harus bertemu di apartemennya.

Renjani melempar ponsel ke atas tempat tidur lalu menggantung tas selempang nya di belakang pintu. Renjani harus segera mandi sekaligus menenangkan diri dari dua hal yang membuatnya kesal hari ini. Pertama mamanya yang menyuruh Renjani segera menikah padahal kenalan cowok pun ia tidak punya, bukan karena tak ada yang mau dengan Renjani justru banyak cowok yang menggodanya entah itu di perpustakaan atau bahkan rumah sakit tempat Jesi bekerja. Sesekali Renjani memang berkunjung ke tempat kerja Jesi. Namun Renjani memang belum menemukan seorang cowok yang bisa membuatnya jatuh cinta. Dan kedua adalah Kelana yang tiba-tiba membuat Renjani bertemu di apartemen cowok itu.

Renjani merasa bertanggungjawab terhadap kehebohan ini jadi ia tidak boleh membiarkan Kelana menyelesaikannya sendiri. Jika bukan dirinya yang jatuh dan mengenai tubuh Kelana pasti tak akan ada kehebohan semacam itu.

*******

Gedung apartemen pencakar langit yang terletak di tengah kota itu terkenal sebagai tempat tinggalnya para artis dan publik figur karena tingkat keamanannya yang ketat serta fasilitas mewah dan lengkap.

Renjani menunduk melihat sepasang kakinya yang terbungkus sneaker berwarna putih kontras dengan lantai marmer hitam apartemen tersebut. Ini akan menjadi kali pertama bagi Renjani menginjakkan kaki di apartemen Kelana sekaligus terakhir kalinya. Tentu saja siapa yang akan mengundang Renjani kesini lagi setelah ini. Renjani berharap masalah ini segera teratasi sehingga Kelana bisa fokus pada persiapan konsernya.

"Silakan duduk Mbak mau minum apa?" Yana mempersilakan Renjani duduk di sofa ruang tamu sementara ia memanggil Kelana di kamarnya.

"Apa aja." Jawab Renjani, ia tidak mau merepotkan Yana yang terlihat begitu lelah mungkin karena ada banyak hal yang perlu diselesaikan.

"Mbak nggak usah tegang, saya panggil Mas Lana dulu."

Renjani spontan menurunkan bahunya setelah sadar bahwa dari tadi ia tegang sepanjang perjalanan dari tempat kosnya hingga sampai disini. Padahal Renjani hanya akan bertemu Kelana bukannya dosen pembimbing. Namun Kelana bukan orang biasa, ia adalah violinist terkenal yang telah menghasilkan banyak lagu. Semoga setelah melihat Kelana, Renjani tak lagi teringat pada peristiwa hari itu ketika bibirnya menyentuh bibir Kelana. Renjani harus membuang jauh-jauh bayangan itu.

Tanpa sadar Renjani menyentuh bibirnya saat mengingat kejadian itu padahal ia sudah berusaha untuk melupakannya. Namun semakin Renjani berusaha melupakannya, momen itu justru semakin melekat di otaknya bagai gelatin yang tidak bisa dilepaskan.

"Terimakasih Renjani kamu sudah meluangkan waktu untuk datang kesini."

Suara itu membuat Renjani spontan menurunkan tangan dari bibirnya dan beranjak, ia melihat sosok Kelana melangkah menghampirinya. Kelana memberi kode agar Renjani kembali duduk.

"Hari ini emang nggak ada acara kok." Renjani tersenyum simpul seraya kembali duduk di sofa. "Saya nggak menduga kalau kejadian hari itu akan berbuntut panjang sampai hari ini."

"Saya sudah memikirkan cara untuk menyelesaikan semua masalah dan gosip yang telah tersebar ini."

"Apa itu?" Ternyata si Kelana orangnya to the point ya, nggak basa-basi apa gitu kek.

"Menikahlah denganku."

"Hah?" Renjani membelalak, ia menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan saking kagetnya mendengar kalimat Kelana. Menikah katanya? menikah bagaimana? Renjani bukannya tidak mengerti arti kata menikah, ia hanya bingung mengapa Kelana mengucapkan satu kata itu dengan ekspresi santai tanpa rasa berdosa.

"Hanya itu cara agar gosip ini mereda, aku akan mengumumkan bahwa kau dan aku telah lama berpacaran dan akan segera menikah."

"Nikah? emang nggak ada cara lain?" Renjani tak lagi bicara formal pada Kelana.

"Tidak ada, kamu tidak mau?"

"Bukannya nggak mau—"

"Jadi kamu mau?"

"Ih tunggu dulu aku belum selesai ngomong." Renjani mengubah posisi duduknya menghadap Kelana sepenuhnya, ia mengibaskan rambutnya karena gerah. Padahal Renjani yakin AC di apartemen ini sangat dingin tapi ketika Kelana mengucapkan kata menikah itu tiba-tiba ia merasa gerah. Rasanya Renjani ingin menceburkan diri ke kolam renang yang berada di bawah sana.

"Menikah itu seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling cinta dan udah direncanakan sejak jauh hari, bukan kayak gini."

"Orang-orang sekarang menikah bukan lagi karena cinta." Kelana berpikir bahwa Renjani begitu naif. Kelana mengatakan begitu karena papanya dan Ratih—istrinya yang sekarang menikah bukan karena cinta tapi karena mereka menggeluti dunia bisnis yang sama. Namun Kelana melihat seiring berjalannya waktu Wira terlihat mencinta Ratih.

"Itu menurut kamu."

"Lagi pula selama ini bukannya aku tidak tahu, kamu selalu diam-diam memperhatikan ku saat aku membaca buku di perpustakaan, apa kamu menyukaiku?"

Renjani mendelik, ia pikir Kelana tidak menyadari hal itu. Narsis banget sih, siapa juga yang suka sama lu, emang sih lu ganteng tapi masa gue tiba-tiba suka?

"Dan kamu juga yang menyebabkan gosip ini, coba kalau kamu tidak jatuh mengenai ku pasti sekarang aku bisa duduk tenang menyusun not musik untuk membuat lagu baru."

"Oke aku yang bikin semuanya jadi gini tapi dengan menikah itu artinya aku mengorbankan semua hidup aku buat kamu."

Kelana tersenyum samar—sangat samar sampai Renjani tidak menyadari bahwa itu adalah senyuman.

"Aku akan mewujudkan mimpi mu, aku bukan orang yang egois jadi dalam hal ini kita akan saling menguntungkan."

Renjani terdiam. Memangnya apa yang Kelana tahu tentang mimpinya? memangnya Kelana bisa datang ke mimpi Renjani. Memangnya Kelana siapa hingga bisa mewujudkan mimpi itu?

Yana datang membawa dua gelas jus jeruk dan pie buah yang ia beli kemarin di supermarket. Kelana melirik jus tersebut, mengapa Yana memberikan perasan jeruk itu pada Renjani. Bukankah stok jeruk menipis di kulkas?

"Saya sudah membeli banyak jeruk." Ucap Yana seolah mengerti apa yang Kelana pikirkan.

Kelana mengangguk samar, bisa-bisanya ia memikirkan jeruk disela pembicaraan seriusnya dengan Renjani.

"Bukankah kamu ingin memiliki perusahaan penerbit?"

Alis Renjani terangkat, dari mana Kelana tahu hal itu padahal selama ini ia tak pernah menceritakannya pada siapapun kecuali Jesi. Jangan bilang Kelana telah bertemu Jesi.

"Aku akan memberimu kesempatan membuat perusahaan penerbit milik mu sendiri asal kau mau menikah denganmu."

Bibir Renjani berkedut mulai tertarik dengan penawaran Kelana. Lagi pula Kelana tampan dan kaya, Renjani menghibur dirinya sendiri.

"Hanya satu tahun, aku butuh status itu selama satu tahun setelah itu kamu bebas melakukan apapun dan tentu saja perusahaan penerbit yang kau inginkan itu akan tetap jadi milikmu, aku tidak akan menyentuhmu atau melakukan hubungan seperti pasangan suami istri pada umumnya, kamu pasti mengerti, aku hanya butuh status." Kelana mengucapkan status dua kali agar tidak membuat Renjani salah paham.

"Pernikahan ini tidak akan mengikatmu, kamu bebas melakukan apapun meski kita sudah menikah."

"Beri aku waktu untuk berpikir." Renjani bertanya-tanya dari mana Kelana menemukan solusi gila itu. Mungkin kalau Renjani dan Kelana ditemukan telanjang di sebuah hotel maka Renjani akan memakluminya jika mereka harus menikah. Atau jika Renjani mengandung anak Kelana tapi mereka hanya ditemukan berciuman di perpustakaan lalu gosip menyebar begitu cepat, lagi pula itu tidak bisa disebut sebagai ciuman.

"Baik 24 jam."

"Kok 24 jam sih?" Renjani tak setuju, ia butuh waktu lama untuk menata hatinya.

"Kalau begitu 12 jam."

"Ya udah 24 jam."

Kelana tersenyum puas melihat eskpresi kesal Renjani. Hari ini Renjani terlihat berbeda karena Kelana biasa melihat gadis itu mengenakan pakaian kerja. Celana jeans dan kaos longgar berwarna putih membuat Renjani terlihat seperti anak kecil, ah tidak—tubuh mungil Renjani memang membuatnya terlihat seperti remaja. Tunggu dulu Kelana tidak bertanya berapa usia Renjani, apakah jauh lebih muda darinya?

"Berapa usiamu?"

Renjani hampir saja tersedak jus jeruk yang sedikit asam itu karena pertanyaan Kelana.

"Kenapa? kamu takut usiaku lebih tua?"

"Tidak mungkin." Kelana memicing, ia yakin usia Renjani berada jauh di bawahnya. Ia melihat ke arah Yana yang berdiri di sampingnya, Yana mengangguk samar, berarti perkiraannya tidak salah.

"Mbak Renjani hanya tiga tahun lebih muda dari Mas." Yana berbisik lalu pergi dari sana untuk meletakkan nampan di dapur.

Ekspresi Kelana datar ketika mengetahui bahwa Renjani hanya beberapa tahun lebih muda darinya. Kalaupun Renjani lebih tua pun kelana tak akan ambil pusing lagi pula ia hanya butuh status pernikahan itu tanpa ada cinta di dalamnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!