XVIII

Langkah Renjani menggema di koridor apartemen yang sepi. Sejak pindah kesini Renjani memang belum pernah bertemu dengan tetangga yang tinggal di sekitar apartemen Kelana. Renjani penasaran apakah semua penghuni disini begitu sibuk sampai batang hidungnya saja ia tak pernah lihat. Namun jika dipikir lagi, tak mungkin ada pengangguran yang bisa tinggal di apartemen mewah ini.

Renjani menekan kombinasi angka pada pintu apartemen lalu masuk. Aroma jeruk menyambut kedatangan Renjani yang merasa hari ini berjalan sangat lambat karena ia tidak sabar ingin pulang dan melihat keadaan Kelana. Renjani menghirup udara lebih dalam, ia yakin ini bukan aroma pengharum ruangan karena biasanya Yana menyemprotkan pengharum beraroma kopi.

Alih-alih berjalan ke kamar, Renjani pergi ke dapur. Tampak Yana sedang memeras jeruk dan menampungnya pada gelas.

"Aku pikir Kelana di rumah sakit." Renjani mendekat.

"Eh Mbak." Yana terperanjat mendengar suara itu, ia tidak menyadari kedatangan Renjani karena sedang fokus memeras jeruk. "Mas Lana nggak mau, katanya istirahat di apartemen aja. Mas Lana memang punya trauma kebakaran makanya tadi saya kaget banget waktu tahu perpustakaan itu kebakaran."

"Maaf Yana, aku nggak bisa jaga Kelana."

Yana tersenyum, "itu bukan kesalahan Mbak, siapa yang tahu kalau perpustakaan itu akan terbakar."

"Pasti sebelumnya Kelana mengalami kejadian kebakaran yang sangat mengerikan."

Yana mengangguk, "Mama kandung Mas Kelana meninggal karena kebakaran itu."

Renjani tersentak, ia tak pernah menduga jika mama Kelana meninggal karena kebakaran. Pasti sangat sulit bagi Kelana melupakan kenangan buruk tersebut.

"Yana, kamu tahu soal wanita bernama Elara?" Renjani bersandar pada kitchen island. "Seseorang yang juga kenal Kelana atau punya hubungan sama Kelana karena aku lihat banyak foto mereka berdua di internet."

"Elara?" Yana berusaha menggali ingatannya soal nama-nama wanita yang diberitakan pernah dekat dengan Kelana.

"Elara Adaline." Renjani menyebutkan nama lengkap Elara.

"Saya belum pernah ketemu sama cewek bernama Elara."

"Udah, lupain aja anggap aku nggak pernah nanya, itu buat Kelana ya?" Hampir setiap hari Renjani melihat Yana membuat jeruk peras seperti itu untuk Kelana. Sepertinya Kelana memang hanya mengkonsumsi 3 jenis minuman yakni air putih, kopi dan jeruk peras karena Renjani belum melihat Kelana minum selain tiga minuman tersebut.

"Iya, Mbak mau juga?" Yana masih memiliki stok jeruk di dalam kulkas.

"Nggak usah, ini biar aku yang ngasih buat Kelana ya."

"Oke." Yana memberikan gelas tersebut pada Renjani jadi ia bisa menyelesaikan pekerjaan lain. "Mas Lana ada di kamarnya, bawa bubur kacang ijo nya sekalian Mbak."

Renjani membawa nampan berisi semangkuk bubur kacang ijo dan jeruk peras. Itu adalah kombinasi yang aneh tapi Renjani tidak bisa berkomentar karena pasti Yana membuatnya atas permintaan Kelana maka yang patut disebut aneh adalah Kelana.

Pelan-pelan Renjani mendorong pintu dengan sikunya memasuki kamar Kelana. Pandangan Renjani menyapu seluruh ruangan bercat dominan putih tersebut tapi ia tidak menemukan Kelana. Padahal dalam bayangannya Kelana sedang terbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat seperti tadi siang. Namun dugaan Renjani salah. Kemana Kelana? Renjani tetap melangkah meletakkan nampan di atas meja kecil dekat pintu. Renjani juga meletakkan tas kerjanya di lantai.

"Re."

Renjani terkesiap membalikkan badan mendengar suara berat Kelana. Pantas saja Kelana menjadi violinist bukannya penyanyi, itu karena suaranya tidak enak dan dapat mengejutkan siapapun yang mendengarnya.

"Eh sorry." Renjani spontan memejamkan mata karena tak sengaja melihat Kelana yang hanya mengenakan handuk sepinggang.

"Tunggu, aku ganti baju dulu." Kelana melangkah menuju walk in closet mengabaikan ekspresi kaget Renjani. Kelana tak percaya jika ini pertama kalinya Renjani melihat pria bertelanjang dada. Renjani tidak terlihat seperti gadis polos apalagi lugu.

Anehnya Renjani menuruti ucapan Kelana, posisinya bahkan tidak berubah hingga Kelana selesai berpakaian.

"Kamu langsung kesini?" Kelana menarik kursi.

"Iya." Renjani melihat Kelana ragu, "kamu nggak apa-apa?"

Kelana mengedikkan bahu, "mungkin malam ini aku nggak akan bisa tidur." Setiap kali memejamkan mata Kelana akan teringat kejadian tadi dan kejadian belasan tahun lalu. Tadi siang ia bisa tidur karena meminum obat dari dokter tapi malam ini ia tidak mungkin meminumnya lagi.

Renjani terpaku melihat Kelana, ia pikir lelaki itu memiliki kehidupan sempurna seperti yang biasa ia lihat di televisi. Ternyata kehidupan Kelana sangat gelap hingga kedatangan Renjani sedikitpun tidak bisa meneranginya.

"Kamu mau berdiri terus sampai aku selesai makan?" Kelana melihat Renjani dan kursi di sampingnya.

"Hah?" Renjani gelagapan. "Enggak." Ia duduk di samping Kelana yang sedang menikmati bubur kacang ijo beraroma jahe.

"Setelah ini aku bakal bawain buku buat kamu jadi kamu nggak perlu ke perpustakaan."

Kelana mengangguk samar, mungkin beberapa Minggu ini ia tidak akan sempat membaca buku.

"Pasti capek ya." Renjani menyentuh pipi Kelana, pasti capek hidup di bawah tekanan dan penuh tuntutan. Orang-orang tak akan peduli betapa sulitnya Kelana menyembuhkan diri dari traumanya.

"Iya." Kelana menjatuhkan kepalanya pada bahu mungil Renjani, bahu yang harusnya tak cukup kuat untuk menahan Kelana. Namun entah kenapa Kelana begitu ingin melakukan itu. Selama ini tak ada yang pernah menanyakan apakah Kelana bahagia, apakah ia kesulitan menjalani hidup ini. Renjani orang pertama yang melakukannya. Bolehkah Kelana menahan Renjani disini untuk satu malam.

"Temani aku malam ini." Suara Kelana begitu lirih hingga Renjani mengira ia salah dengar. "Hanya satu malam."

"Kalau gitu aku ganti baju dulu." Renjani langsung beranjak dari sana meninggalkan Kelana yang masih belum puas menyandarkan kepala pada bahunya.

Renjani mengangkat lengan mencium ketiaknya sendiri sesampainya di kamar. Tidak lucu jika Kelana mencium aroma tidak sedap dari ketiak itu. Untung Renjani menggunakan deodorant andalannya.

"Untung nggak bau." Renjani melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika hanya menemani Kelana satu malam, tidak masalah bagi Renjani. Mereka tidak akan melakukan apapun. Hanya tidur.

******

Renjani berpapasan dengan Yana yang baru keluar dari kamar Kelana. Yana membawa mangkuk dan gelas Kelana yang sudah kosong.

"Mas Lana nungguin Mbak tuh." Yana melirik pintu kamar Kelana.

Renjani berharap Kelana tidur bahkan ia sengaja mengulur waktu mandi lebih lama padahal ia anti berlama-lama di kamar mandi.

Renjani mendapati Kelana duduk bersandar di atas ranjang king size sedangkan tatapannya fokus pada Renjani. Apakah ia harus tidur disana juga? tentu saja tidak ada kasus lain di kamar ini. Renjani juga tidak mungkin meminta Kelana tidur di sofa.

"Ganti baju lama sekali." Gerutu Kelana karena tadi Renjani hanya bilang hendak ganti baju tapi sampai ia selesai makan dan gosok gigi bahkan memeriksa pekerjaannya, Renjani belum juga datang.

"Sebenernya aku mandi juga." Andai Renjani terlahir wangi maka ia tak akan repot-repot mandi hanya untuk menemani Kelana tidur.

"Kamu udah makan?" Tanya Kelana.

"Udah, tadi Pak Arzan—bos aku traktir kami makan mie deket perpustakaan." Renjani berusaha menepis rasa gugupnya duduk di pinggiran tempat tidur yang empuk tersebut. "Penyebab kebakarannya karena ada korsleting listrik."

"Bagus lah kalau penyebabnya sudah ditemukan."

Renjani menaikkan kakinya, kini ia duduk tepat di sebelah Kelana. Ada banyak kalimat yang berputar-putar di kepala Renjani hingga ia bingung memilah mana yang pantas ia katakan pada Kelana.

"Sekali lagi aku minta maaf soal kejadian tadi."

"Jangan bersikap seolah-olah keberadaan kamu disini untuk menjagaku, hubungan kita nggak seperti itu Re."

"Lalu hubungan kita seperti apa?"

"Kamu istriku bukan penjaga ku."

Pipi Renjani memanas mendengar Kelana menyebutnya istri. Itu terdengar asing tapi entah kenapa hatinya terasa hangat.

"Aku juga punya trauma, mungkin nggak se-parah kamu tapi aku bisa memahami gimana perasaan kamu sekarang."

"Kamu trauma pada apa?"

"Aku trauma berenang karena waktu kecil pernah tenggelam di kolam jadi sampai sekarang aku nggak pernah berenang lagi, waktu itu aku ngerasa kayak ada di antara hidup dan mati." Pandangan Renjani menerawang mengingat kejadian itu. Ia memang bukan satu-satunya orang yang pernah tenggelam. Sebagian orang bisa melaluinya tanpa kesulitan tapi sayangnya Renjani justru merasa takut berlebihan setiap kali melihat kolam. Renjani bersyukur karena ia tidak terlahir di keluarga kaya yang rumahnya memiliki kolam renang sendiri.

Renjani menggeleng cepat menepis lamunan tentang kejadian hari itu, ia menggantinya dengan senyum lebar ke arah Kelana. "Tapi itu udah berlalu, pasti trauma mu jauh lebih menakutkan."

Kelana mencengkram selimut, keringat dingin membanjiri pelipisnya. Sungguh ia tak ingin dihantui ketakutan itu lagi tapi kejadian tersebut seperti kaset rusak yang terus-menerus berputar.

"It's okay Kelana, I'm with you." Renjani menggenggam tangan Kelana yang basah oleh keringat, ia bukan psikolog yang bisa tahu pikiran Kelana. Renjani hanya melakukan apapun yang ia bisa untuk menghibur Kelana.

"Aku melihat sendiri bagaimana api itu membakar tubuh Mama." Bibir Kelana bergetar, cairan hangat meleleh membentuk anak sungai di pipi tirusnya.

Tubuh Renjani menegang mendengar suara lirih Kelana, ia tak bisa membayangkan betapa mengerikannya kejadian itu bagi Kelana kecil. Renjani menarik Kelana ke dalam pelukannya meskipun tangannya tak bisa memeluk tubuh besar Kelana sepenuhnya. Kejadian yang menimpa mereka akan selalu mengendap di dalam hati tanpa pernah bisa dilupakan sedikitpun.

Tubuh Kelana berguncang hebat dalam pelukan Renjani, ia menahan tangisnya sejak tadi siang tapi keberadaan Renjani seolah mengizinkannya menangis malam ini. Renjani seperti wadah yang siap menampung air mata penderitaan Kelana.

Renjani menepuk-nepuk punggung Kelana seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya. Setelah beberapa menit Renjani dapat merasakan Kelana lebih tenang dan merosot.

Renjani ikut beringsut berbaring di samping Kelana. Renjani tidak dapat bergerak karena lengan Kelana yang kekar membelitnya. Kelana terdengar mendengkur halus, Renjani mencibir mengingat Kelana tadi mengatakan tidak akan bisa tidur malam ini. Nyatanya baru beberapa menit Kelana sudah terlelap.

******

Cahaya matahari menyapu kamar Kelana menyilaukan dua orang yang sedang terlelap. Renjani mengerjapkan matanya, ia hendak menggeliat tapi seseorang memeluknya begitu erat. Renjani membuka mata mendapati Kelana masih memeluknya seperti semalam. Ah sesak sekali, apakah Kelana mau membunuh Renjani secara perlahan.

Renjani menekan hidung bangir Kelana hingga membuat lelaki itu spontan melepaskan tangannya dari badan Renjani. Namun Kelana belum mau bangun, ia berbalik memunggungi Renjani.

"Siapa yang semalem bilang nggak bisa tidur?" Renjani turun dari ranjang dan keluar dari kamar itu.

Mencium aroma kue, Renjani melangkah menuju dapur. Pukul berapa Yana bangun, Kelana beruntung menemukan Yana sebagai asistennya. Tak hanya mengurus semua keperluan Kelana, Yana juga mahir memasak.

"Pagi Mbak." Sapa Yana ramah.

"Pagi Yan, masak apa?" Renjani mengintip sesuatu di hadapan Yana.

"Nggak masak Mbak, fans Mas Lana ada yang ngasih muffin jadi aku bikin kopi aja ntar, Mbak Rere mau makan apa?" Yana menyusun muffin rasa blueberry pada piring. Mereka mendapat sekotak besar muffin yang diantar oleh kurir ojek online barusan. Para fans Kelana memang sering memberikan sesuatu, tak hanya bunga mereka juga suka memberi makanan.

"Makan ini aja." Renjani mencomot satu muffin dan melahapnya, rasa blueberry menyebar dalam mulutnya serta rasa gurih susu. "Enak." Pujinya. Selain enak, muffin itu juga kelihatan mahal.

"Mas Lana belum bangun?"

"Belum." Renjani memasukkan kapsul kopi pada mesin pembuat kopi dan mengambil satu mug.

"Berarti kalian harus tidur berdua, Mas Lana biasanya selalu bangun pagi." Yana tersenyum sumringah memindahkan sepiring muffin ke meja makan. "Kalau ditemenin Mbak Rere jadi lebih nyenyak."

"Mungkin dia kecapekan." Renjani tidak mau terlalu percaya diri, lagi pula Kelana hanya bilang ingin ditemani satu malam.

"Aku udah siapin baju Mbak Rere buat dipakai besok."

"Besok?" Renjani duduk di salah satu kursi di meja makan, ia memejamkan mata menghirup aroma kopi yang mengepulkan asap lalu menyesapnya perlahan. Apa arti hidup tanpa kopi, Renjani bisa galau seharian jika tidak mengawali pagi dengan cairan hitam tersebut.

"Besok ke konser Mas Kelana."

Renjani terbatuk-batuk, kenapa ia harus ikut ke konser Kelana. Renjani sudah merencanakan keluar dengan Jesi besok. Renjani pikir ia tak perlu menonton konser tersebut.

"Nggak mungkin istri Mas Kelana nggak hadir, itu konser penting Mbak." Yana mengerti apa yang Renjani pikirkan saat ini.

Mulut Renjani terbuka hendak membalas ucapan Yana tapi urung karena melihat Kelana datang. Renjani terpaksa menelan kalimatnya kembali dan melanjutkan memakan muffin nya yang tinggal setengah.

"Tidurnya nyenyak Mas?" Sapa Yana.

Kelana mengangguk samar duduk bergabung dengan Renjani dan Yana. Kelana masih ngantuk tapi saat menyadari Renjani tidak ada di sampingnya, ia langsung bangun.

"Aku kupas buah dulu ya." Renjani beranjak membuka kulkas dan mengambil dua buah apel serta kiwi untuk makanan penutup. Sementara itu Yana membuat kopi untuk Kelana.

"Kamu udah dapet pengganti Pak Dayat?" Kelana melihat Yana meletakkan kopi panas di dekatnya. Dayat yang bekerja untuk Kelana 2 tahun terakhir mengundurkan diri karena akan pindah ke kampung halamannya di Jawa Tengah sehingga Kelana harus segera menemukan pengganti Dayat.

"Sudah ada puluhan pendaftar Mas, saya akan menjadwalkan wawancara nya setelah konser."

"Baik, Pak Dayat juga masih bisa bekerja hingga konser berakhir."

"Ada apa Mas?" Dari tadi Yana melihat Kelana tidak berhenti mengusap hidungnya, "Mas Kelana nggak boleh flu, itu akan mengganggu penampilan."

"Siapa yang bilang aku flu?"

"Tapi hidung Mas merah." Yana menunjuk hidung Kelana yang berubah kemerahan seperti terserang flu.

"Entah lah, rasanya nyeri dan berdenyut."

Renjani mendelik mendengar percakapan Kelana dan Yana, apa ia memencet hidung Kelana terlalu kuat tadi. Oh tidak. Itu hidung berharga milik violinist ternama seantero negeri lalu Renjani berani menekannya hingga nyeri. Ribuan fans Kelana bisa mengamuk jika tahu Renjani melakukan itu.

"Mau dikompres pakai es batu?"

"Nggak usah, nanti juga hilang."

Renjani meletakkan apel yang sudah dikupas dan dipotong serta kiwi di atas meja. Ia menunduk mengindari kontak mata dengan Kelana.

Mereka menghabiskan sarapan tanpa banyak bicara. Usai sarapan Kelana segera bersiap pergi ke Seohanna Hall tempat ia akan mengadakan konser besok. Sedangkan Renjani akan sibuk belajar mengemudi hari ini.

Terpopuler

Comments

bunda Thalita

bunda Thalita

pencet hidung sepuasnya klo bukan mau konser mah... aahhh renjani jd serba salah

2023-11-09

0

Neneng cinta

Neneng cinta

betul tuh Re..kopi bkn semangat beraktivitas😍💪💪💪

2023-05-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!