Rabu sore selalu menjadi waktu bagi Kelana untuk membaca buku di perpustakaan, tapi kali ini ia tidak pergi seorang diri melainkan bersama Renjani. Kelana juga berniat mengajari Renjani menyetir mobil agar ia tidak perlu khawatir saat melepas gadis itu pergi seorang diri. Kelana hanya takut para fans nya mengganggu Renjani saat naik motor sendirian.
"Ini jalan sepi, ayo kamu coba duduk disini." Kelana menghentikan mobil meminta Renjani bertukar posisi dengannya.
Renjani terpaku di jok penumpang, bagaimana jika ia menabrak sesuatu dengan mobil ini. Walaupun Kelana bilang ini adalah mobilnya yang paling murah tapi Renjani yakin ia tak akan mampu membelinya meski telah bekerja seumur hidup.
"Kenapa kamu selalu takut pada sesuatu yang bahkan belum dicoba." Kelana kesal melihat Renjani.
"Bukan aku yang penakut tapi kamu yang suka buru-buru." Gerutu Renjani, bayangkan saja mereka bahkan menikah kurang dari satu bulan setelah bertemu. Lalu hari kedua menikah Kelana memberikan gedung perusahaan dan hari ini Renjani diminta belajar mengendarai mobil. Mengapa Kelana tidak memberi Renjani waktu untuk bernapas. Bahkan Renjani belum resign dari tempatnya bekerja karena penjaga perpustakaan yang baru belum bisa bekerja dengan baik.
Renjani adalah orang suka berjalan perlahan memikirkan semua resikonya sedangkan Kelana selalu buru-buru dengan mendorong Renjani agar cepat sampai.
"Aku nggak suka buang-buang waktu." Kelana turun dari mobil, ia membuka pintu di sisi kiri meminta Renjani menggeser duduknya.
"Iya sabar elah!" Renjani melepas seat belt dan duduk di jok kemudi.
Kelana sedikit menjelaskan tentang bagian-bagian penting pada mobil untuk memberikan gambaran sebelum Renjani mempraktikannya.
"Kamu bisa bawa motor manual kan?" Tanya Kelana setelah menjelaskan teori untuk menyetir mobil. Dilihat dari ekspresi Renjani selama Kelana menjelaskan, sepertinya ia sudah paham.
"Bisa."
"Oke sekarang nyalakan mesinnya, putar searah jarum jam."
Renjani melakukan apa yang Kelana perintahkan. Ia menginjak kopling dan memasukkan gigi transmisi kemudian menginjak gas bersamaan dengan mengangkat kopling pada kaki kirinya.
"Pelan-pelan." Kelana memperingatkan.
Mobil berjalan dengan mulus melewati jalanan yang sepi siang itu. Renjani jadi ingat masa dimana ia pertama kali belajar mengendarai motor bersama Arya dulu. Kalau diingat itu adalah salah satu momen menyenangkan mereka selama berpacaran. Ketika Renjani menabrak pohon mangga milik tetangga Arya, mereka tertawa lepas seolah tak ada beban. Arya memohon maaf berkali-kali pada tetangga pemilik pohon mangga itu. Arya bahkan mengobati luka di siku Renjani dengan cekatan. Sekarang luka itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka di dalam hati Renjani.
"Eh!" Renjani memekik ketika mobil tiba-tiba berhenti. "Kenapa nih?"
"Angkat kopling dan injak gas secara bersamaan, kamu pasti mengangkat kopling nya terlalu cepat."
"Ini beda banget sama motor manual yang pernah aku bawa." Kata Renjani berusaha meredakan kepanikannya.
"Memang beda."
"Terus kenapa tadi kamu nanya aku bisa bawa motor manual atau nggak?"
"Aku cuma nanya."
Renjani mendengus kesal, ia kembali menyalakan mesin mobil dan melakukan seperti yang Kelana katakan tadi.
Kelana yang semula pendiam jadi cerewet memberi aba-aba pada Renjani, kalau hanya mobil mungkin tak akan seberapa. Kelana lebih mengkhawatirkan nyawa mereka.
Beberapa kali mesin mobil mati atau berderu ketika Renjani tidak menginjak gas dan melepas kopling secara bersamaan. Itu hal biasa sehingga Kelana optimis Renjani bisa mempelajari ini dengan cepat.
15 menit berlalu Renjani berhasil melewati jalan lurus dan sepi, ketika hampir sampai di perpustakaan mereka kembali berganti posisi karena jalanan cukup ramai. Kelana tidak mau menanggung resiko jika Renjani menabrak pengendara lain.
Renjani melirik ponsel Kelana yang diletakkan pada phone holder, layarnya menampilkan sebuah catatan judul buku. Beberapa dari mereka memiliki tanda ceklis, sepertinya itu buku yang sudah selesai Kelana baca karena Renjani masih ingat beberapa buku yang Kelana pinjam di perpustakaan.
"Kamu mencatat buku-buku yang mau dibaca?" Tanya Renjani.
"Iya."
"Hidup kamu bener-bener tertata rapi ya." Puji Renjani. Sangat berbeda dengan kehidupan Renjani yang berantakan, ia suka melakukan sesuatu secara mendadak.
"Supaya lebih gampang juga jadi waktu di perpustakaan nggak perlu lama-lama lagi cari bukunya."
"Karena kamu nggak bisa lama-lama berada di tengah-tengah buku?" Pantas saja Kelana selalu memilih kursi dekat jendela yang jauh dari rak.
Kelana mengangguk sedangkan tatapannya fokus pada jalanan.
"Kalau gitu biar aku yang bantu cari, hari ini mau baca apa?"
"Nggak usah, kamu juga pasti sibuk nanti di perpustakaan."
"Tapi itu bagian dari pekerjaan aku juga."
Kelana mengangguk samar membiarkan Renjani membantunya meski ia sudah terbiasa memilih buku sendiri. Namun jika Renjani memaksa maka Kelana tidak akan menolaknya.
"Maaf soal kata-kataku waktu itu." Renjani ingin minta maaf dari tadi tapi kalimat itu seolah hanya tercekat di ujung lidahnya tanpa mau keluar. Renjani takut Kelana marah lagi seperti malam itu.
"Yang mana?"
"Aku bilang 'kamu nggak akan tahu rasanya jadi aku karena keluarga kamu utuh', aku nggak tahu kalau—"
"Aku udah lupain hal itu dan aku anggap kamu nggak pernah bilang gitu."
Renjani menatap Kelana tak percaya, jika luka karena goresan benda tajam akan hilang dalam hitungan hari maka lain lagi jika luka yang disebabkan oleh ucapan seseorang. Renjani tahu Kelana tidak akan melupakan ucapannya begitu saja apalagi tentang orangtua.
"Kelana?"
"Hmm?" Kelana hanya menggumam menjawab panggilan Renjani
"Apa kamu bahagia?"
Kelana spontan memutar kepala mendengar pertanyaan Renjani, ia tampak terkejut untuk beberapa saat karena sebelumnya tidak pernah ada yang bertanya seperti itu padanya. Orang-orang tak akan peduli Kelana bahagia atau tidak yang penting mereka melihat Kelana mau bermain violin dan menghasilkan uang. Hanya itu.
"Aku kebahagiaan itu penting?"
"Tentu aja, hal-hal yang kita lakuin itu tujuannya untuk mendapat kebahagiaan."
"Kamu begitu?"
Renjani mengangguk beberapa kali, "dulu aku pergi dari rumah dan memutuskan untuk tinggal sendiri terus kerja di perpustakaan setelah lulus kuliah, itu karena aku pengen bahagia."
"Kamu berhasil?"
"Ya." Renjani mengangguk yakin, andai ia tidak memberanikan diri pergi dari rumah pasti sekarang mama nya masih mengatur seluruh kehidupannya dan Renjani tidak suka itu.
"Aku iri sama kamu." Kelana tersenyum getir, andai ia juga bisa memilih jalan hidupnya sendiri.
"Tentu aja kamu bisa seperti aku dengan memilih jalan hidup mu sendiri."
"Seseorang pernah mengatakan bahwa aku memang terlahir untuk orang lain dan nggak pantas bahagia."
"Siapa yang bilang gitu?" Renjani tampak kesal tak habis pikir mengapa ada orang yang bisa mengatakan hal menyakitkan seperti itu.
"Papa."
Renjani tertegun bahkan tanpa terasa ia menahan napas selama beberapa saat karena tak percaya kalau seorang papa bisa mengatakan hal itu pada anak kandungnya sendiri. Ternyata hidup Kelana lebih kelam dari yang Renjani bayangkan.
"Tapi kamu mencintai musik dan kamu bahagia karenanya."
"Kamu benar." Kelana menghentikan mobil di depan perpustakaan yang tampak ramai karena banyak motor terparkir di halamannya. "Mama ku juga seorang violinist yang luar biasa begitupun dengan Papa jadi mungkin itu alasannya kenapa aku mencintai musik terutama violin."
"Kelana." Renjani menahan tangan Kelana yang hendak keluar dari mobil. "Aku akan gunakan satu tahun ini buat bahagiain kamu."
Kelana terkekeh, "kamu jangan mikirin aku, tujuan kamu menikah bukan itu."
"Aku menikah karena mau mempertanggungjawabkan perbuatan ku waktu itu."
"Bukan untuk memiliki perusahaan sendiri?"
"Itu juga—tapi itu bukan tujuan utama ku."
"Dengan cara apa kamu akan membahagiakan ku?"
Renjani tampak berpikir, bukankah Kelana sudah memiliki segalanya. Harta, ketenaran, wajah tampan dan dicintai banyak orang. Namun Kelana tetap tidak terlihat bahagia.
"Nanti aku pikirin lagi caranya yang penting niatku serius mau bahagiain kamu."
Kelana tersenyum melihat kesungguhan Renjani. Kesan pertama Kelana bertemu Renjani adalah gadis yang menyebalkan, lalu setelah menikah ia melihat banyak keburukan Renjani. Kelana tidak suka Renjani berjalan dengan kaki basah dari kamar mandi atau menaruh barang sembarangan. Namun satu yang Kelana tahu, Renjani adalah gadis yang tulus. Maka Kelana akan menerima ketulusan itu dengan senang hati.
"Besok aku akan sangat sibuk mengurus persiapan konser dan aku udah daftarin kamu kursus mengemudi." Ujar Kelana setelah turun dari mobil tidak lupa mengenakan masker hitam yang menjadi atribut wajibnya saat keluar. Meski orang-orang tetap akan mengenalinya tapi setidaknya itu bisa melindungi Kelana dari mereka yang suka mengambil foto diam-diam.
"Oke." Renjani tidak masalah dengan siapapun ia belajar mengemudi. Ia cukup percaya diri karena sudah belajar sebentar barusan.
"Selamat datang." Suara Desty menyambut ketika Renjani dan Kelana memasuki perpustakaan.
Renjani tersenyum pada Desty yang begitu bersemangat persis seperti dirinya saat pertama kali masuk kerja dulu. Desty adalah penjaga perpustakaan yang akan menggantikan Renjani.
"Duduk aja biar aku yang isi daftar pengunjung buat kamu, tadi mau baca buku apa?" Ucap Renjani pada Kelana dengan suara pelan.
"The Devotion of MR X." Kelana menyebutkan judul buku yang ingin ia baca hari ini.
"Kamu baca novel juga?" Renjani membelalak, ia pikir Kelana hanya menyukai buku-buku berat yang judulnya saja tak akan pernah terlintas di kepalanya.
"Aku baca semua jenis buku." Kelana berlalu dari sana, seperti biasa ia memilih tempat duduk yang jauh dari rak dan dekat dengan jendela.
"Ya ampun Kak Rere beruntung banget dapet suami kayak Kelana." Desty memekik tertahan ketika Renjani menulis inisial Kelana pada tablet di atas meja resepsionis.
Renjani hanya menanggapinya dengan senyuman, itu adalah kalimat yang sering didengarnya sejak menikah dengan Kelana. Menikah? apakah ini bisa disebut pernikahan sedangkan berpegangan tangan saja mereka belum melakukannya. Namun Renjani memang tak pernah berharap apapun dari pernikahan itu terutama perasaan cinta yang sewaktu-waktu bisa tumbuh karena terbiasa. Namun melihat sikap Kelana sejauh ini sepertinya mereka akan berpisah baik-baik nanti setelah satu tahun berlalu.
"Kalau udah resign dari sini, Kelana masih bakal kesini nggak Kak?"
"Dia memang suka baca buku disini sebelum kami kenal jadi pasti dia bakal tetep kesini walaupun aku udah resign." Renjani melangkah menuju salah satu rak yang menyimpan novel-novel seri detektif. Renjani segera menemukan The Devotion of MR X yang akan Kelana baca hari ini.
"Ini bukunya." Renjani memberikan buku bersampul putih itu pada Kelana. "FYI aku juga ngikutin seri detektif Galileo." Bisiknya.
"Kenapa perpustakaan ini selalu memutar lagu ku?" Tanya Kelana mengabaikan ucapan Renjani.
"Itu permintaan pengunjung, kami menyediakan kotak saran disana." Ia menunjuk sebuah kotak di dekat pintu. "Kebanyakan dari mereka meminta diputarkan lagu kamu."
"Thanks ya." Kelana berterimakasih.
"Its okay." Renjani meninggalkan meja Kelana untuk mengerjakan yang lainnya. Ia juga bertugas mengajari Desty yang mulai terbiasa dengan pekerjaan baru di perpustakaan ini. Itu artinya Renjani bisa segera resign dari sini walaupun sebenarnya amat berat karena ini adalah tempat paling nyaman untuknya. Namun Renjani harus mencoba pekerjaan lain, ia akan mengelola perusahaan penerbit miliknya sendiri. Renjani tidak boleh mengecewakan Kelana yang telah memberi kepercayaan padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Yeni Selfian
smangat nulisnya ya mbakk author 💪💪💪🌺🌺
2022-04-27
0