Pukul satu siang, setelah solat dhuhur Aish ingin segera pulang. Setelah melipat mukena parasutnya, dia beranjak keluar dari mushola sekolah.
Sedikit terkejut karena Hendra yang masih menunggunya di luar, duduk ditangga mushola.
"Belum pulang Hen?" tanya Aish duduk disebelah Hendra sambil memakai sepatunya.
"Nungguin Lo, tuan putri" jawab Hendra.
"haha, ngapain juga ditungguin. Nggak bakalan ilang gue, tahu kok jalan pulang" jawab Aish terkekeh.
"Makan dulu yuk, laper gue" kata Hendra.
"Boleh, gue juga lagi pengen makan mie ayam nih" kata Aish.
"Mana ada tukang mie ayam siang bolong gini" Hendra menjawab.
"Ada kok, ayok kesana sekarang".
"Enak nggak nih?".
"Menurut gue sih enak. Lo biasa makan di tenda pinggir jalan nggak nih? takutnya lo orang kaya yang steril gitu, semacam Seno lah" kata Aish mengingat salah satu sahabatnya yang makanannya sangat dijaga oleh sang mami.
"Aman gue mah, apa aja hayuk" Hendra mulai sedikit banyak bicara, tidak seperti saat pertama mereka bertemu dulu.
"Yaudah, ayuk dah" Aish berdiri diikuti Hendra yang berjalan disampingnya.
"Ayo naik" kata Hendra memerintah Aish supaya duduk di boncengannya, setelah mereka sampai di parkiran dan ingin segera ke kedai tenda yang Aish bilang.
"Tinggi banget Hen, nggak yakin gue bisa naik"Aish takut jatuh.
"Lo tinggal naik di postep ini dulu, terus pegangan pundak gue, abis itu kaki lo yang kanan lo angkat biar bisa duduk. Terus udah deh duduk. Gitu doang, Kalau masih nggak bisa gue telponin Khabe Lame dah buat ngasih Lo tutorialnya" Hendra menjelaskan dengan bersungut-sungut.
"Hahahahahha.... iya, iya, nggak usah telpon juga. Gue berusaha nih, untung seragamnya celana, kalau rok bisa nyangsang gue" kata Aish tertawa sambil naik ke atas jok motor Hendra yang tinggi.
"Udah nih" kata Aish sambil memajukan sedikit kedua tangannya meniru gaya youtuber Khabe Lame yang lucu itu.
"Dasar cebol, hahaha" kata Hendra menertawakan tingkah Aish.
"Pegangan, entar lo jatoh. Badan lo kan kecil, nggak kerasa gue kalau tiba-tiba lo mental karena angin" kata Hendra.
"Kalian tuh seneng banget ngatain gue kecil, gue tuh imut, bukannya kecil. Kalian aja yang ketinggian, apalagi si Falen tuh, turunan penjajah. Mana bisa tinggi gue bisa sama" Aish mengomel kemudian berpegangan pada tas punggung Hendra.
Selama perjalanan, mereka banyak mengobrol dan bercanda. Tidak seperti kelihatannya, Hendra sebenarnya asyik juga diajak bercanda. Pembawaannya yang tenang dan cenderung pendiam, nyatanya menjadi humoris saat bertemu dengan orang yang dianggapnya tepat.
Saat pembicaraan salah satu dari mereka tak terdengar karena angin yang berhembus, maka kalimat 'budeg' senantiasa terlontar secara bergantian. Membuat tawa pecah setelah mengucapkannya.
Tak lama mereka telah sampai di kedai tenda yang menjual bakso dan mie ayam. Seperti yang Aish katakan, memang ditempat ini buka dari siang hingga habis, bahkan bisa sampai malam banget kalau lagi sepi.
"Bang, mie ayam sama toping bakso dua ya, tambahin somay juga dua, terus pangsit gorengnya dibanyakin, makan sini bang, tambah jeruk anget kayak biasanya" Aish memesan pada abang penjual seolah si abang sudah hafal dengannya.
"Oke neng" kata si abang.
"masnya mau pesan apa?" tanya abang itu lagi pada Hendra kali ini.
"Mie ayam bang, pakein bakso juga, sama teh tawar anget aja" kata Hendra.
"siap, ditunggu bentar ya. Bisa sambil duduk" kata si abang.
Aish dan Hendra duduk di kursi di depan gerobak mie ayam. Duduk berhadapan dengan Aish yang menghadap si Abang penjual.
"Tadi kakaknya eneng kesini loh, pesan mie banyak bener. Nih belom diambil, pasti bentar lagi dateng dah neng. Kenapa eneng jadi jarang kemari neng, abang kan rindu" kata si abang penjual mie pada Aish.
Raut muka Aish berubah setelah mendengar kata-kata si abang. Hendra menyadari bahwa wajah itu berubah menjadi sedih. Tapi dengan cepat Aish berusaha menormalkan raut wajahnya agar kembali ceria dengan senyum yang dipaksakan.
"Oiyah bang, berarti sebentar lagi gue bakal ketemu kakak dong ini bang?" Tanya Aish.
" iye kali neng, tungguin aja bentaran" kata si abang.
Tapi hingga pesanan mereka sampai, si kakak yang mereka sebutkan masih belum nampak batang hidungnya. Membuat Hendra semakin penasaran.
Aish makan dengan lahap dan terlihat nikmat. Hendra jadi bingung sendiri, meskipun badannya kecil, tapi makannya banyak juga cewek anggun didepannya ini.
Mereka makan dengan nikmat, tidak banyak obrolan terjadi saat proses makan sedang berlangsung. Karena keduanya sibuk menikmati mie ayam yang ternyata memang lezat menurut Hendra.
Hingga makanan mereka tandas bersih, masih belum ada tanda kedatangan kakak Aish. Dan keduanya setuju untuk segera pulang saja.
"Berapa bang?" tanya Aish ingin membayar pesanannya.
"Sudah gue aja, lo tunggu diluar ya" kata Hendra sedikit mendorong Aish agar menepi, karena Hendra yang akan membayar.
"Bener nih, uwaahh... sering-sering aja ya Hen nraktir gue" kata Aish.
"Gue tungguin dimotor lo ya"
"Iya bawel"
Aish pun melangkah dengan manyun karena dikatain bawel oleh Hendra. Dengan sedikit menghentakkan kaki sambil berjalan.
"Makasih bang, seperti biasa, mie nya enak" kata Aish sambil berlalu.
"Iya neng" jawab si abang sambil menerima uang dari Hendra.
Diluar tenda, Aish berdiri disamping motor Hendra. Untungnya Hendra parkir dibawah naungan pohon, membuat Aish juga tidak merasa kepanasan saat menunggu.
Seorang pengendara wanita datang dengan motor maticnya dengan seorang balita perempuan sekitar usia 3 tahunan datang dan memberhentikan motornya tepat disamping Aish.
Ternyata itu adalah Khalifah Khotijah, kakak Aish. Sebelumnya mereka masih belum menyadari akan keberadaan satu sama lainnya.
Aish sibuk dengan Ponselnya, sedangkan kakaknya masih sibuk dengan balitanya.
Mendengar ada yang datang, Aish mendongakkan kepala untuk sekedar tersenyum pada orang yang baru datang.
Ya, seramah itulah Aish. Sesibuk apapun, pasti akan meluangkan seutas senyum untuk menyapa orang lain. Gadis itu sangat ceria.
"Kak Alif" kata Aish menyapa sang kakak yang tetap terlihat acuh.
"Kakak apa kabar? kenapa nggak pulang kak? Apa kakak tahu apa yang terjadi sama Ayah setelah kepergian kakak?" tanya Aish dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu jangan sok dekat sama saya. Jangan panggil kakak lagi sama saya. Kamu sama keluarga kami sudah bukan apa-apa bagiku. Setelah ayah kamu ngusir saya tiga tahun yang lalu, sudah tidak ada lagi hubungan apapun diantara kita" kata Alif, kakaknya Aish dengan amarah yang sudah tidak tertahan lagi.
"Satu lagi, dimanapun kamu bertemu saya, Jangan pernah panggil saya dengan sebutan kakak, saya bukan kakak kamu lagi. Dan apapun yang terjadi sama ayah kamu, itu urusan kamu bukan urusanku. Dia yang sudah membuangku, jadi jangan pernah lagi kamu sok dekat dengan saya" Alif pergi setelah marah pada Aish, membuat anak balitanya kaget dan malah menangis kencang.
Hendra mengetahui semua kejadian itu hanya terdiam, 'masalah keluarga' pikirnya. Dan Hendra akan berusaha diam selama Aish tidak mau bercerita.
Setelah kakaknya Aish pergi, Hendra mendekati Aish yang menangis sesenggukan sambil tertunduk lesu.
Air mata membanjiri wajah cantiknya hingga membuat hidungnya memerah. Mengetahui Hendra menatapnya, Aish malah berjongkok, menyembunyikan kepala didalam lekukan lengannya. Menangis lagi.
"Sudah Ai, jangan nangis disini. Ayo ikut gue" kata Hendra membujuk Aish.
"Kemana?" tanya Aish mendongakkan sedikit kepalanya.
"Suatu tempat, biar lo sedikit terhibur" kata Hendra.
Aish yang masih bergeming membuat Hendra mengambil tangannya dan menggandeng untuk segera naik ke atas motornya.
Hendra mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan dengan santai. Karena hari libur, suasana jalan jadi sedikit lengang. Apalagi suasananya terik semacam ini.
Diperjalanan, tidak ada candaan seperti tadi. Aish masih menangis meskipun dalam diam. Hendra jadi tidak tega untuk sekedar bertanya.
Beberapa saat berlalu, ternyata Hendra membawa Aish ke atas bukit tak jauh dari kotanya. Berada di ketinggian seperti itu membuat diri serasa kecil, karena bangunan tinggi menjulang dibawah sana terlihat sangat kecil.
Kawasan ini cukup sepi, dengan deretan kursi panjang yang terlindung oleh barisan pohon yang juga tertata rapi, menghadap ke arah kota yang bangunannya terlihat seperti titik-titik dari atas sini.
Hendra membawa Aish untuk duduk disalah satu kursi, dengan motornya yang berada dibelakang kursi mereka.
"Lo sering kesini?" tanya Aish dengan senggukan yang tertinggal.
"Sering, dulu. Sekarang sudah jarang" jawab Hendra dengan tatapan lurus ke depan.
Aish mengikuti arah mata Hendra, melihat keindahan kota yang menjadi kerdil.
Tiba-tiba, dari belakang, ada tangan yang menepuk pundak Aish. Membuat gadis itu terperanjat kaget karena sedang asyik melamun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 236 Episodes
Comments