Suasana makan malam tetap seperti biasa, hanya saja lebih ramai karena anggota keluarga lebih lengkap. Aksa dan Rana tampak semakin lengket, sementara Rayhan lebih banyak diam. Ia tidak tertarik menatap Rana bahkan Lisa.
Aksa menyadari perubahan Rayhan. Selama beberapa terakhir, tepatnya setelah ia menikah dengan Rana, Rayhan terkesan semakin tidak peduli padanya. Atau ada tugas-tugas keluar negeri yang sebenarnya perlu turun tangannya.
"Rayhan," panggil Aksa. Rayhan menoleh pada ayahnya.
"Iya, Ayah?"
"Besok kita mempunyai jadwal keberangkatan ke Jepang. Kau dan aku, sebenarnya. Mr. Sakurangi ingin membicarakan proyek pengobaran minyak yang berhubungan dengan kunjunganku ke Saudi Arabia. Kali ini kau harus ikut," tandas Aksa tenang.
Tanpa diduga Rayhan mengangguk. Ia tidak bertanya kenapa ayahnya pergi lagi padahal baru saja sampai sore ini. Pria itu sedang malas berkomentar.
Rana melirik Rayhan seraya tersenyum tipis. Ia mengangkat tangannya untuk mengelus tangan Rayhan, tentu saja gerakan yang wajar dari seorang ibu kepada anaknya, tetapi karena Lisa pernah mendengar dari Rayhan kalau Rana menyukainya, membuat wanita itu terpana juga. Lisa tidak bisa menganggap kalau Rana menyentuh Rayhan secara wajar. Ia pun mengalihkan pandangannya.
Sedangkan Rayhan menatap tajam pada Rana, tetapi tidak menepis tangannya.
"Rayhan sepertinya kelelahan, Sayang. Bisakah jadwal ke Jepang kita undur barang dua atau tiga hari lagi? Lagi pula kau juga lelah ‘kan, Sayang?” Suara Rana terdengar mendayu-dayu.
"Rayhan harus ikut denganku, Sayang. Sudah cukup lama dia bermalas-malasan." Aksa bersikeras.
Rayhan menepis tangan Rana lalu menjawab. "Tenang saja, Ibu. Sudah tugasku ikut dengan Ayah."
Lisa memandang Rayhan yang duduk di hadapannya. Mata mereka terpaku untuk beberapa detik. Rana sama sekali tidak suka melihat itu. Ia berdeham keras untuk mengambil perhatian semua orang, tetapi tidak dengan Rayhan. Pria itu masih memandangi Lisa.
"Lisa, bagaimana pekerjaanmu?" tanya Rana.
Lisa tersenyum. "Pekerjaanku baik-baik saja, Kak."
"Oh, baguslah. Oh ya, aku mempunyai oleh-oleh untukmu dari Saudi Arabia. Aku harap kau akan menyukainya."
***
"Pulang ke Boyolali? Apa kau serius?"
Lisa mengangguk. Ia sama sekali tidak menunjukkan kegusaran di wajahnya. Sebaliknya, wanita itu tersenyum penuh arti pada Rana. Seakan-akan menunjukkan kalau tidak ada siapa pun yang mengancamnya di tempat ini.
Rana menggenggam tangan Lisa. Perasaan sayangnya kepada sang adik masih tersisa di hatinya yang paling dalam. Namun, sebenarnya ia tidak menolak permintaan Lisa untuk keluar dari rumah ini. Sebab itu akan membuatnya bebas bersama Rayhan.
"Lalu, bagaimana hubunganmu dengan Rayhan? Kau sudah putus dengannya?" Rana berusaha mati-matian menahan nada semangat dalam suaranya.
Lisa tidak tahu harus menjawab apa, sebab hubungan mereka hanya mengada-ngada. Ia tidak pernah menyetujui menjadi kekasih Rayhan. Namun, daripada Rana melontarkan pertanyaan lebih banyak lagi, Lisa akhirnya mengangguk, membenarkan pertanyaan Rana.
"Aku putus dengannya."
Rana membuat ekspresi sedatar mungkin, padahal ia ingin melompat dan bersorak sekeras-kerasnya. Ia menang. Akhirnya Lisa dan Rayhan mengakhiri hubungan mereka. Rana tidak perlu was-was lagi.
"Lisa, akhirnya kau menyadari kalau Rayhan tidak baik untukmu. Dia adalah playboy yang tidak akan menikahi gadis sepertimu. Dia akan mencampakkan kita setelah merasa puas, tapi untung saja kalian cepat putus. Kalau tidak--"
"Kalau tidak, Kakak tidak akan mempunyai kesempatan lagi? Benar bukan, Kak?" sela Lisa cepat.
Rana terdiam bagai patung. Ia menatap mata Lisa yang berkaca-kaca.
"A-apa maksudmu?"
"Rayhan pernah berkata kalau Kakak pernah menyukainya. Apa itu benar?" tanya Lisa sedikit takut. Ia meremas pashmina sutra yang baru diberikan Rana padanya.
Wanita itu menatap Lisa sengit. "Jadi, kau mempercayai kata-kata pria itu? Apakah menurutmu itu mungkin? Aku menyukainya, tapi menikah dengan ayahnya? Apa menurutmu aku wanita yang seperti itu?"
Lisa menelan ludah menerima rentetan pertanyaan dari Rana. Wanita itu menutupi salah tingkah dan kebohongannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menekan adiknya.
Lisa tidak menjawab dan menunduk, menatapi pashmina-nya yang sedikit kusut karena diremas. Ia sedikit merasa bersalah.
"Ma-maaf, Kak. Aku ... aku tidak bermaksud mengatakan hal itu. Tentu saja Kakak bukan orang yang seperti itu," ujar Lisa.
Rana tersenyum puas dan merengkuh Lisa ke dalam pelukannya. "Kau harus selalu mempercayaiku, Lisa."
Lisa mengangguk patuh. Ia membalas pelukan kakaknya lebih erat karena besok dan di hari selanjutnya ia tidak akan merasakan hal ini lagi. Lisa tahu kalau tempatnya bukan di sini. Mungkin dengan kepergiannya, Rayhan akan merasa lega.
"Lisa, jika kau pulang ke Boyolali, bagaimana pekerjaanmu di toko bunga?" tanya Rana.
"Besok pagi aku akan naik kereta, aku akan mampir ke sana terlebih dahulu. Aku rasa Yitian pasti mengerti," jawab Lisa.
Rana mengernyit. "Kereta? Lisa, sopirku akan mengantarmu."
"Tidak perlu, Kak. Aku lebih nyaman pulang sendiri. Besok, setelah Tuan Andira dan Rayhan pergi, aku pun akan berangkat. Tapi Kak, aku mohon jangan katakan apa pun pada Tuan Andira. Aku tidak ingin beliau tahu, terutama ... Rayhan."
***
Pagi-pagi sekali Lisa sudah bangun dan berkemas. Ia telah memasukkan semua barang dan pakaiannya ke dalam satu koper besar. Wanita itu duduk di depan cermin rias sambil menyisir rambutnya yang masih sedikit lembab. Ia sudah yakin dengan keputusannya untuk keluar dari rumah ini. Ia tidak ingin berlarut-larut dengan perasaan sakitnya setiap melihat Rayhan.
Rayhan, dalam sekejap telah menghancurkan hidupnya. Coba saja Rayhan tidak menodainya, mungkin kini ia telah jatuh cinta pada pria itu. Sebab sejak pertama kali melihat potret diri Rayhan, Lisa telah terkesan dan menganggap pria itu adalah pangeran pujaan setiap wanita sepertinya.
Namun, kebencian Lisa telah menutup segala rasa suka maupun kagum. Pria itu tidak seperti yang dibayangkannya. Akan tetapi, biarlah Lisa akan membawa dirinya sejauh mungkin dari Rayhan.
"Hmpt."
Tiba-tiba Lisa merasa mual lagi. Ia menutup mulutnya sambil menahan mual yang amat sangat. Ada apa dengan dirinya? Perutnya terasa aneh akhir-akhir ini. Ia segera bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Lisa menyalakan air di kdran wastafel, lalu membungkukkan tubuhnya.
"Hueek! Hoeekk!"
Aneh sekali. Tidak ada yang keluar dari mulutnya, padahal ia merasakan mual yang membuat tubuhnya merinding. Lisa terus memuntahkan isi perutnya, tetapi tetap saja tidak ada apa-apa. Wanita itu berkumur-kumur dengan air keran dan mendesah lega. Rasanya segar sekali.
Setelah merasa tenang, Lisa kembali ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang. Tatapannya jatuh pada kalender meja yang terletak di meja rias. Di sana ia melingkari tanggal-tanggal yang menurutnya penting, termasuk dengan keterlambatan haid-nya beberapa minggu ini.
Lisa tercekat. Ia sudah terlambat haid selama empat minggu.
Itu berarti satu bulan yang lalu. Lisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi saat itu. Di saat ia dalam masa subur dan Rayhan melakukan hal itu padanya lebih dari satu kali.
Lisa menahan napas, lalu menyentuh perutnya. Air matanya mulai mendesak. Tidak mungkin dan tidak akan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya jika ia benar-benar ... hamil.
Dua bulir air mata mengalir di pipinya. Lisa merasa sesak untuk sesaat. Bagaimana jika ia benar-benar hamil? Lisa meremas roknya, ia tidak ingin memikirkan hal itu. Sekarang ia telah membuat keputusan untuk keluar dari kehidupan Rayhan dan dirinya tidak boleh mengandung anak pria itu.
***
"Kami pergi. Jaga diri kalian baik-baik," pamit Aksa ketika Rana dan Lisa mengantar mereka ke depan pintu.
"Kalian juga harus menjaga diri kalian di sana. Satu minggu itu cukup lama, Sayang. Aku pasti akan merindukanmu," balas Rana seraya bergelayut manja di lengan Aksa. Rayhan mendengkus, sementara Lisa tidak memandang Rayhan sama sekali.
"Lisa, jangan terlalu bekerja di toko bunga. Selalu temani kakakmu di rumah, ya!"
"Iya, Kakak ipar."
Rayhan menatapnya.
"Kalau begitu, kami pergi."
Aksa masuk mobil terlebih dahulu, sementara Rayhan masih tidak bergeming. Ada perasaan tidak nyaman ketika dia melihat wanita yang mulai merebut perhatiannya itu.
"Rayhan!" panggil Aksa.
Rayhan mengerjap, lalu mengalihkan pandangannya dari Lisa. Ia membalikkan tubuhnya, kemudian masuk ke dalam mobil, duduk tepat di samping sang ayah.
Lisa menunduk menatap kakinya. Kenapa ada sedikit rasa sakit yang dirasakannya ketika melihat Rayhan pergi?
***
Setelah berpamitan dengan Rana dan seluruh penghuni rumah, Lisa pun pergi dari kediaman Andira yang super megah itu. Wanita itu menolak diantar sampai stasiun karena ia ingin mampir ke toko bunga terlebih dahulu, dan Lisa masih ingin ke tempat lain sebelum benar-benar pergi dari Jakarta. Ya, ke apotek. Ia ingin membeli testpack, tanpa sepengetahuan siapa pun tentunya.
"Kau akan pulang ke kampung halamanmu? Lisa, kenapa?"
Lisa tidak heran melihat keterkejutan Yitian dan kedua rekan kerjanya saat ia berpamitan. Maklum saja, hubungan mereka sangat dekat. Terlebih lagi dengan Yitian. Lisa telah menganggap pria itu seperti kakaknya sendiri. Karena hanya dengan Yitian, ia nyaman berkeluh kesah. Namun, dirinya sama sekali tidak pernah menceritakannya dengan Rayhan.
"Apa kau akan kembali lagi?" tanya Yitian lembut.
Lisa pura-pura berpikir padahal ia sudah tahu jawabannya. "Sepertinya aku tidak akan kembali lagi, tapi aku akan meninggalkan alamatku pada kalian. Jika kalian mempunyai waktu luang, datanglah ke rumahku. Aku pasti akan sangat senang sekali."
Yitian sangat sedih. Ia tidak bisa menerima kenyataan kalau Lisa akan pergi. Tanpa menghiraukan keberadaan Pira dan Mira, pria itu maju untuk memeluk Lisa.
Lisa tertawa haru dan memandang ke arah dua rekannya. Mira dan Pira masih menangis tersedu-sedu.
"Aku tidak ingin kau pergi, Lisa. Tidak bisakah kau tetap di sini?" bisik Yitian.
Lisa mengusap-usap punggung pria tersebut.
"Seandainya saja aku bisa," balas Lisa. "Berjanjilah untuk sering-sering mengunjungiku, ya!"
BERSAMBUNG ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments