Langit takan selalu mendung, hujan takan selalu turun. Daun berguguran dan air terus mengalir. Cinta dan luka hanya sebuah pembatas antara dunia nyata dan dunia hayalan.
Kami lanjutkan mengobrol dihalaman depan rumah, agar orang dirumah tak tahu bahwa aku dan Mas Zidan sedang memantau Mas Bian dan Clara.
"Kau tahu Nay, kau tak memiliki kekurangan apapun. Tapi kenapa bisa Bian meninggalkanmu demi wanita murahan itu?"
Hening diantara kami sampai aku mulai tertawa akan pertanyaan konyolnya.
"Kau menilaiku dari segi yang mana mas? kau pun jika memiliki istri yang tak kunjung memberikanmu keturunan mungkin akan melakukan hal yang sama. Hanya saja cara berfikir kau mungkin akan sedikit berbeda. Mas Bian adalah pria yang baik dan sangat mencintaiku, namun cintanya goyah ketika semua keluarga, sahabat dan rekan kerja menanyakan keturunannya yang tak kunjung hadir. Mungkin dia bosan mendengarkan ocehan orang yang hatinya sudah mati, hingga akhirnya dia mencari wanita lain yang bisa memberikannya seorang penerus"
Anggukan kepala yang dilakukan Mas Zidan membuktikan bahwa ia pun mengerti keadaannya.
"Orang orang yang selalu menanyakan keturunan pada pasangan suami istri yang telah menikah lama adalah orang orang yang otaknya sudah tak berjalan dan hatinya sudah hilang. Bagaimana mungkin mereka terus bertanya dan memantau setiap pergerakan seorang pasangan suami istri yang tak kunjung dikaruniai buah hati. Mereka sibuk dengan kehidupan orang lain sampai mereka lupa bahwa hidupnya sendiri tak diurusi. Kita sebagai manusia jangan sama seperti mereka, yang selalu mengurusi hidup orang lain. Kau tahu kenapa kura kura berumur panjang? itu sebabnya dia ketika memiliki masalah dia bersembunyi dan memperbaiki diri. Bukan malah melakukan hal yang ceroboh dan memantau kesalahan orang lain sehingga merasa dirinya orang yang paling benar"
"Kau benar mas. Tapi bagaimana kau tahu kura kura memiliki sifat seperti itu? apakah kau sangat kesepian sehingga kau malah mengobrol dengan kura kura? sadarlah mas, mas ini tak begitu buruk rupa sampai sampai berteman dengan kura kura" tawaku lepas kala bersama Mas Zidan. Sikapku yang dulu kini muncul lagi, dulu aku sering sekali mengejek dan menggodanya didepan Arumi.
"Aku jauh lebih tampan daripada Bian, tak mungkin aku merasa kesepian. Hanya saja karna aku sering sendirian bukan berarti aku tak memiliki teman. Aku sering pergi bersama Hamdi yang kemarin bertemu di restoran. Dia sering mengajaku pergi keluar kota ataupun keluar negri hanya untuk liburan."
Perlahan aku mulai beringsut mundur dan Mas Zidan mulai memandangku dengan tatapan yang tajam setajam elang.
"Kau pasti menganggapku pria tak normal bukan ? mengapa kau menggeser posisi dudukmu? aku masih waras dan jiwa lelakiku masih berjalan normal"
"Ak...aku hanya berfikir saja. Ji...jika benar kau masih normal mengapa kau pergi liburan hanya berdua dengan Hamdi. Apakah tak ada yang mau denganmu mas?" sebenarnya aku mualai takut dengan tatapan tajamnya, hanya saja jiwa komedianku mulai tergerak.
"Kau mau bukti bahwa aku masih minat dengan wanita? apakah aku harus..." kalimatnya menggantung seiring dengan tatapannya yang membuat bulu kudukku berdiri. Dengan sekuat tenaga, akupun berlari meninggalkannya sendirian dalam tawanya yang keras.
Perasaan lega saat sampai dikamar ini, membuatku kembali tersenyum kala mengingat kejadian tadi. Baru kali ini aku akrab kembali dengan pacar Arumi.
Setiap kali aku bersama Mas Zidan, kini tak ada percakapan dingin diantara kami. Senang ku rasa saat bisa melihatnya kembali ceria seperti dulu. Kehilangan Arumi telah membuat kebahagian dan semangat hidupnya juga hilang.
Kurebahkan diri dikasur seraya berfikir untuk mencari tahu kenapa begitu tega keluarga ini padaku. Dengan mencarikan wanita lain untuk Mas Bian, mereka telah merenggut kebagiaanku. Setelah berfikir cukup lama, kini aku sadar bahwa tangisku takan pernah menyelesaikan masalah. Aku harus bahagia dan harus jauh bahagia. Tunggu waktunya saat aku berubah karna keluarga Atmaja.
Pukul tiga dini hari, kurasakan ada pergerakan disebelah kasurku. Mas Bian baru saja datang kekamar ini setelah pergi menuju kamar Clara. Aku sebagai istri sudah tahu apa yang mereka lakukan. Rasa jijik pada diri ini mulai hadir kembali. Kututup mata rapat rapat sampai kembali kealam mimpi.
Satu jam berlalu kini aku beranjak untuk menunaikan kewajibanku. Disaat pria yang berstatus suamiku tengah terlelap ku adukan semua isi hatiku pada sang pemilik hidup. Tangis dalam diam membuatku serasa memiliki kasih sayang seorang ibu. Andai ibu ada, mungkin aku akan berbaring dipangkuannya dan menangis meluapkan semua kekecewaan dihatiku. Hanya sajadah tempat aku bersandar, dan hanya Allah sebaik baiknya pendengar.
Kutatap wajah pria tampan diatas tempat tidurku. Terbayang kembali saat dia mengucapkan ijab dihadapan pengulu. Malam yang kami lewati bersama. Sentuhan hangat yang selalu ia berikan padaku kini hanya tinggal masa lalu. Saat hatiku sudah tenang, kubangunkan Mas Bian agar segera menunaikan shalat. Dengan mata yang masih menutup kini ia beranjak pergi menuju kamar mandi. Lama kutunggu dia ditepi ranjang, hingga kulihat dia keluar dengan rambut yang basah. Kutahu ia tak pernah keramas sepagi ini jika tidak melakukan hubungan suami istri. Dan aku tahu kemarin aku tak melakukan hal itu dengannya, sehingga dia meminta pada istri keduanya tanpa seijinku.
"Mas ko keramas sepagi ini. Gak biasanya mas mau keramas jika tak melakukan hal itu" tanyaku dengan hati yang hancur.
"Eh ia, mas gerah aja jadi pengen keramas Nay. Kamu sudah shalat? kok gak bangunin mas sih? kan bisa berjamaah kalau tadi Nayla bangunin mas" ucapnya tanpa rasa bersalah.
Hanya maaf yang bisa kuucapkan seraya tersenyum kala imamku mulai mengambil sajadah. Sebenarnya bukan aku tak ingin menunaikan shalat bersamanya, karna sesungguhnya aku tahu dia pasti akan membersih tubuhnya setelah memadu cinta dengan Clara. Dan jika tadi kubangunkan Mas Bian, aku takan memiliki waktu untuk menagis terlebih dahulu untuk meluapkan semua amarahku.
Kulakukan seperti biasa aktivitas didapur. Namun kali ini berbeda dari biasanya, tak ada Siska dan Ibu. Mereka tengah berada dikamar Clara mengajak Algi bermain yang sudah bangun dari pagi tadi.
Dapat kudengar suara tawa dari ketiga wanita iti disertai tawa seorang bayi yang lucu. Mengajaknya bicara, mencium pipinya, dan mengirup dalam dalam aroma unik yang keluar dari tubuh bayi yang baru bangun adalah impianku. Jika saja aku yang menjadi Clara, mungkin hidupku akan sedikit berwarna.
"Cie Algi mau punya adik lagi nih, Mba Clara semangat banget bikin ade buat Algi. Itu rambut mbak basah padahal masih pagi" Suara Siska sedikit keras sehingga membuatku dapat mendengarkan obrolan mereka.
"Hush kamu ni Siska, jangan kenceng kenceng bicaranya nanti kedengaran wanita kampung itu. Lagi pula kamu Clara, anak masih bayi jangan dulu bikin anak lagi. Kasihan Algi masih kecil kalo punya adik. Nanti kalo mau main pake pengaman aja biar gak kebablasan" ucap ibu dengan pelan.
Sebenarnya dapur dan kamar Clara cukup dekat sehingga tanpa berteriak pun suara orang akan terdengar. Dugaanku memang tak salah, jika semalam Mas Bian telah menyentuh Clara untuk entah keberapa kalinya setelah mereka menikah.
Makanan sudah siap dihidangkan. Tak ada percakapan diantara kami dimeja makan, hanya suara sendok dan piring beradu menjadi nada ditelinga. Hingga Mas Zidan membuka suara yang membuat kami kembali terkejut.
"Ngomong ngomong kemarin malam mas lihat Bian ke kamar Clara mengendap ngendap"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Yuli Yuli
Zidan bkin ksedak bian aja
2024-04-17
0
Masiah Cia
algi anak ayahnya bian ,tp bian di korbankan.utuk nutupin keburukan ayahnya, jd Clara main sm ayah mertua main jg bian yg berstatus suaminya
2023-09-21
2
Yully Produsen
Good Job Zidan, to the point😄😄
2022-03-28
0