Rasanya hari ini aku dan Bang Ravi udah mengelilingi hampir separoh kota Banda Aceh. Semua tempat yang recommeded tidak ada yang terlewatkan, museum tsunami dengan semua peninggalan tsunami dan kenangannya, kapal karam yang menunjukkan betapa maha dahsyatnya bencana itu menerjang, nyobain makan-makanan pinggir jalan khas daerah, dan banyak lagi sampe aku lupa sendiri pernah pergi kemana. Tapi tenang, ada foto yang telah mengabadikan semuanya.
"Bang, kita mau kemana? kok sepi gini jalannya?" Selepas shalat magrib Bang ravi sudah memintaku siap-siap, katanya kami mau ke suatu tempat. Tadi kami pulang dari jalan-jalan sekitar jam enaman, sebelum adzan maghrib. Bang ravi memintaku mandi, makan dan menyiapkan barang-barang yang sekiranya tidak bisa lepas dari diriku. Aku bilang mau bawa koper dan Bang ravi bilang sebaiknya aku sekalian beli tiket pulang. Hih, dasar. Lagian di suruh bawa yang penting, ya bagiku semua barang-barangku pentinglah. Bang ravi ada-ada aja.
Dan disinilah kami, malam-malam naik motor dan tempat yang kami lewati sudah tidak seramai kota, apa mungkin kami sudah di luar kota ya? Bang ravi ditanyain malah cuma nyuruh duduk tenang dengan nyaman. Dan sebagai istri yang baik, aku langsung melaksanakan perintah suami, duduk tenang di belakang bang Ravi, melingkarkan tangan ke perutnya dan bersandar di bahunya sebagai tempat ternyaman. Dan satu lagi, tadi bang ravi beli helm buat aku, katanya buat di pake selama disini. Manis bangaaat.
Setelah sekian waktu perjalanan, motor bang ravi berhenti di depan sebuah rumah kecil yang di depannya berjejer bunga-bunga. Bang ravi turun dari motor lalu membuka pintu pagar. Lalu kembali untuk membawa motor masuk.
"Ini rumah Ibu?"
What???
"Ibu? Ibunya abang?" Tanyaku tak percaya. Wah, parah, ini ngajak ke rumah mertua perdana kayak ngajak beli korek api di kios depan. Enteng bangat. Aku kan butuh persiapan "Kok abang nggak bilang sih?"
Bang ravi mengedikkan bahu "Kejutan."
Dih, " mana ada kejutan yang seperti ini. Ini namanya ngerjain. Naura nggak bawa apa-apa loh untuk ibu. yang benar aja dong, Bang." Ujarku senewen. Kan bisa aku bawain sesuatu untuk Ibu, kue atau apa gitu, bukannya datang dengan tangan kosong tanpa persiapan, seenggaknya aku bisa tanya-tanya mama dulu supaya gak salah pas ngadep mertua.
"Santai aja. Mama gak suka jajan. Darah tingginya suka kambuh." Terang Bang ravi sembari membuka sepatunya dan meletakkannya di rak kecil. Akupun melakukan hal yang sama meskipun tetap dongkol.
"Senyum. Nanti ibu kira kamu abang apa-apain."
"EMANG!!!"
Bang ravi terkekeh, "Kamu panik mau ketemu mertua?"
Aku mendelik "Menutur abang gimana? Ya paniklah, ini perdana abaaaang. Kalau pertemuan pertama tidak sukses, bahaya. Kedepannya bakal ribet."
Bang ravi memegang kedua bahuku, membuatku mau tak mau mendongak dengan porsi badan yang sangat timpang ini "Ibu orang baik. Jadi tenang saja. Lagian udah pernah ketemu juga kan pas nikah?"
Ya bedalaaah bambank. Ini aku perdana ke rumah mertua. Ibu memang super baik tapi tetap aku butuh persiapan untuk memilih topik obrolan yang menyenangkan supaya Ibu gak merasa aku gak nyaman.
Bibirku sudah mengerucut beberapa senti, kesal "Ya makanya Abang jangan kayak gini."
Bang ravi menepuk helm yang kukenakan "Ada abang." katanya meyakinkan. Iya tau tapi kan teteeep, ada tips dan trik menghadapi mertua pertama kali yang bisa kubaca sebelum kesini kalau tau bakal di bawa ketemu mertua.
"Assalamualaikum." Abang mnegetuk pintu sambil mengucapkan salam. Sementara dibelakangnya aku mulai panik memikirkan apa yang harus kulakukan pertama, apa yang harus kukatakan, dan aku harus bagaimana. Hiks. Kaaaan, keteteran deh. Ini semacam ulangan dadakan yang dilakuin guru saat aku belum paham materi yang bersangkutan. Blank.
"Waalaikumsalam." Suara seorang wanita terdengar dari dalam dengan langkah ringan menuju pintu.
Ceklek.
"Ya Allah Nauraaaa. Sayaaaang... Masya Allah." Aku menyengir saat wanita paruh baya berkerudung langsung memelukku, Ibu mertuaku.
"Assalamualaikum, Ibu." Kubalas pelukan hangat ibu. "Maaf datang malam-malam." Kukirik tajam Bang Ravi yang berdiri tenang di belakang ibunya. Puas bangat ngerjain istrinya.
"Iya, kok malam sekali, Nak. Kan bahaya. Dingin lagi." Ibu melepaskan pelukannya lalu mengusap lenganku menghadirkan kehangatan untukku.
"Bang ravi, Buk." Aduku. Aku memelet pada Bang ravi saat ibu memukul lengannya.
"Baang, masa istrinya di bawa malam-malam sih. Kan kasian." Omel ibu pada anak lelakinya. Omelan terus, buk. Jahat tuh anaknya.
"Tapi Ibu senangkan?" Ravi gantian memeluk Ibunya. Anak laki yang gak malu-malu nunjukin cintanya. Clap clap clap lah untuk Abangnya Naura. Ia mencium punggung tangan Ibu lebih lama dari kebiasaan. Akupun melakukan hal yang salam.
"Lepas dulu helemnya sayaang." Ibu megingatkan saat aku hampir mengantukkan kepala ibu dengan helm yang kupakai. Aku terkekeh lalu dengan bantuan Bang ravi, helm itu kulepas.
"Ayo masuk. Di luar dingin." Ibu mengiringku masuk dalam rumah. Rumahnya kecil namun nyaman dengan penataannya yang tepat. Tidak ada barang berlebihan. "Kalian pasti belum shalat dan makan kan?"
"Iya, Bu. Ada ayam gampong?" Bang ravi langsung membuka tudung saji di atas meja. Ya ampun, gak ada sopan-sopannya. Duduk dulu kek, apa kek.
"Tidak ada, Nak. Abang gak bilang-bilang sih mau datang sekarang. Bukannya katanya besok?"
"Abang rindu, Buk."
"Gombal aja." Ibu memeluk lengan putranya, sayang.
Aku memperhatikan interaksi keduanya yang begitu lovey dovey. Ikut tersenyum melihat keduanya saling melemparkan senyum.
"Abang, bawa naura ke kamar. Sekalian bersih-bersih. Kalau mau ambil baju, ada daster Ibu yang masih baru. Kepanjangan tapi gak apa-apa." Ibu mengelus kepalaku lembut. Ya ampun, jadi kangen Mama di rumah.
"Ikut." Aku berjalan di belakang Bang ravi mengikutinya masuk ke dalam sebuah kamar.
"Kamar mandinya di luar. Pake baju abang saja. Daster ibu kepanjangan." Katanya memperhatikanku dengan tatapan prihatin.
"Iya, tau kok kalau Naura pendek." Kataku sebel. Apalagi Bang ravi yang senyumnya semakin lebar. Seneng bangat kayaknya ngebuli istri.
"Sensi bangat dari tadi." Tuduhnya sembari mengambil selembar baju kaos berwarna putih dan celana boxer warna hitam.
"Abang tuh yang seneng bangat ngebuli Naura. Istri di sayang kek bang, ini dibuli." Cerocosku, mendekap dua pakaian tersebut, "Makasih. Wangi." Tak peduli tatapan geli bang ravi kubaui di hidungku.
"Emang wangi. Sekarang cepetan ke kamar mandi. Ibu sudah tunggu buat makan malam." Aku melepaskan tas selempang yang kusampirkan di bahuku lalu menyambar handuk kecil yang ada di sandaran kursi belajar Bang ravi.
***
"Gimana, Nak, enak?"
Aku mengangguk lalu tersenyum pada Ibu yang menatapku penuh harap "Enak bangat. Lebih enak dari yang di jual di warung." Kataku jujur.
"Ya udah, nambah aja kalau masih mau."
"Mak--"
"Udah, Buk, jangan dikasi lagi. Ntar makin saingan sama beruang."
Aku menatap nyalang bang ravi yang terlihat santai mengunyah mie aceh di depannya. Apa tadi katanya? Saingan sama beruang?
"Buk, masa Bang ravi gitu." Aduku meletakkan sendok makanku kesal.
"Baaaang, jangan rese ih. Saingan beruang gimana sih, Naura cantik gini kok." Bela ibu memukul punggung Bang ravi yang malah terkekeh.
"Ibuuu... " Aduku, tak melihat wajah penyesalan abang.
"Emang beneer, gembul gitu." Bang ravi rese bangat, ih. Gak tau apa kalau aku kesel..
"Abaaaang. Minta maaf!!" Ibu mengusap punggungku sayang, "Gembul apaan sih, lucu cantik gini kok."
"Iya deh. Terserah. Maaf Nauraaaa anaknya Ibu Endaaang."
"Jangan diulangi lagi. Kalau Nauranya jauh saja dipandangi terus fotonya, kal--."
"Uhuk! uhuk!"
"Makannya pelan-pelan, Bang." Kusodorkan minuman pada Bang ravi. Wajahnya memerah loh Abangnya Nauraaa. Ih, gemesh. Apaan tadi? Mandangin foto Naura?
"Emang iya, Bu, Bang ravi suka liat-liat foto Naura?" Tanyaku antusias. Kulirik bang ravi yang terlihat salah tingkah. Duhhh pen nyubit ih.
"Iya, di hpnya penuh foto kamu tuh. Liat aja. Walpapernya juga di pandangin teruuus tiap pagi dan petang. Teruus--"
"Ibuu ih, orang lagi makan." Protes Bang ravi.
"Terus teruuus, Bu?" Kuabaikan protes bang ravi, menunggu lanjutan dari Ibu.
"Terus itu foto yang dilayar hpnya masa yang pas Naura seksi gitu kan---"
"Astagfirullah ibu!" Sentak Bang ravi membuat aku dan Ibu terkejut.
"Ih, apaan sih abang? Ibu kaget nih." Ibu memukul tangan bang ravi yang ada diatas meja karena terkejut. Sedangkan aku yang tadinya cengok mendengar satu fakta itu, puaaas bangat liat muka malu-malu menggemaskan bang ravi.
"Dih, bilangnya gak boleh pake yang pendek-pendek padahaaal" Ejekku puas, menggantung kalimatku. Kulirik bang ravi dengan ekor mataku, cowok itu sedang salah tingkah. Kok jadi kasihan ya tapi lucu, gimana dong, "Hehehe, ayo buk, lanjut makan. Kasian bang ravi nanti keselek." Godaku.
Ibu mengangguk "Iya, kasian Abang. . Mukanya merah tuh kayak pantat monyet. Malu ketahuan suka liat-liatin foto istri." Ibu tergelak, melihat wajah masam putranya. Ya ampuuuun ibu mertuaaa, bisa juga diajak koalisi. Kalau mama sukanya ngebela bang ravi disini kayaknya Ibu bisa diajak koalisi buat ngegodain abang. Lagian Ibu mertua juga ibu kan, bukan orang lain lagi. Hehehe
---
Kakak Naura pas ketemu Ibu mertua. sukses ya, Ra.
Bareng Mama yang rajin, cantik dan suka ngebuli anak gadisnya. Tapi tetap paling sayang...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Waahh seneng Naura udah punya komplot aja nih..🤣🤣🤣
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Nah ketahuan ni bang Ravi bucin..🤣🤣🤣😜😜
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Cerita merakyat gini nih yg aku paling suka,Gak mulu cerita Sultan..Tapi susah nyari novel Alurnya cerita rakyat marhein..tq thor..
2024-09-20
0