Sepanjang sore tadi sampai sekarang mama dan Papa belum juga pulang. Tadi setelah makan siang menjelang sore, Papa pulang lalu mengajak Mama ke arisan kantor dan aku di suruh diam di rumah saja. Aku tau lah dua sejoli itu paling lagi nge-date sekarang makanya aku gak diajak. Tapi gak apa-apa, selama Mama dan Papa senang, akupun senang. Ditambah lagi dengan kartu baru yang ada di tanganku, kartu ATM dari Bang Ravi yang katanya untuk aku simpan. Kata Mama nanti Bang Ravi akan ngirimin uang disini. Hehe senangnya. Ternyata Pas pulang kemarin Bang Ravi sempet-sempetin buat kartu ATM untukku. Pantas saja mau pakai mobil Papa, karena sepengetahuanku Bang Ravi lebih suka bawa motor daripada mobil. Mungkin kebetulan juga Papa baru pulang dari luar kota, mesinnya masih hangat. Mama bilang jangan lupa bilang makasih. Oke sip.
To Abang Ravi
Assalamualaikum Abaaang. Makasi kartunya.
Oke, jangan panjang-panjang. Bang Ravi sedang sibuk. Sebagai istri yang baik, aku harus membantunya dengan tidak mengganggunya. Kuletakkan kembali hpku di atas nakas.
Drt... Drt... eh, ada balasan.
From Abang Ravi
Um. Jgn boros. Belajar.
Huh gini amat balasannya, tapi maniiiis. Ya Allah apa begini namanya bucin? Duh Naura, belajar belajar belajar. Kutepuk pipiku pelan supaya lepas dari bayang-bayang wajah Bang Ravi. Kangeeen masaaaa.
Karena aku sekarang sudah bukan anak gadis yang bebas merdeka lagi, maka sekarang harus kuputuskan apa yang harus kulakukan setelah lulus SMA nanti. Seperti kata Bang Ravi, sekarang ini aku sedang dititip sama Mama dan Papa yang artinya cepat atau lambat aku akan ikut kemanapun Bang Ravi pergi. Dan melihat bagaimana Bang Ravi berjuang untuk dirinya dan Ibunya, aku harus memikirkan baik-baik keputusan mengambil kuliah dimana. Jelas kedokteran UI dan UGM harus di pinggirkan dulu karena kuliah di tempat itu biayanya tidak main-main kecuali kalau aku bisa dapat beasiswa. Itupun harus kupikirkan lagi karena aku tidak mungkin terus-terusan LDRan sama Bang Ravi, Aku di pulau jawa dan dia di pulau sumatra, kalau kata Bang Budi Doremi bercinta di nusantara.
To Abang Ravi
Bang, aku kepikiran soal kuliah.
Kubaringkan badanku diatas ranjang, membaca kembali pesan yang sudah kukirimkan untuk Bang Ravi. Semoga dibalasnya cepat.
Drt.. drt...
From Abang Ravi
ngpain mikirin soal kuliah, pikirin tuh soal SMA.
Ya ampun jawaban apaan ini. Gak nyambung. Kubaca ulang pesanku, dan yeah Bang Ravi terlalu menjunjung tinggi kebakuan dalam berbahasa.
To Abang Ravi
MENGENAI kuliah, Bang.
Balasku ulang. Kalau nggak paham juga mending pindah ke jurusan perikanan.
From Abang Ravi
Oh, knp?
To Abang Ravi
Nanti abang yang biayain?
Aku menggigit bibir menunggu balasannya.
From Abang Ravi
Ya.
Kuletakkan hpku diatas ranjang. Jadi beneran Bang Ravi yang mau biayain kuliahku? Rasanya berat kalau aku nekat mengambil jurusan kedokteran apalagi di tempat prestisius. Bang Ravi kuliah di salah satu Universitas di kota tempat lahirnya dengan beasiswa prestasi. Kebutuhan sehari-harinya pun dipenuhi dengan mengandalkan gajinya sebagai pengajar di tempat-tempat kursus dan kadang menjadi asisten dosen membantu mahasiswa-mahasiswa yang ingin tes TOEFL. Itu semua yang Mama bilang padaku. Kukirik kartu ATM yang ada dalam genggaman tanganku, aku nggak boleh boros. Bang Ravi sudah susah payah mencari uang dan bertanggungjawab penuh untuk menafkahiku, aku tidak boleh menyusahkannya. Kata Mama istri solehah itu yang bisa menjaga harta suami dengan baik.
From Abang Ravi
Jgn dipikirin. Sdh kwjiban suami memenuhi kebutuhan istrinya. Kamu bljr yg rajin kalau mau bantu Abang.
Pesan yang masuk di hpku membuatmu pengen nangis. Pengen peluk Bang Ravi. Hiks. Kangeeeen.
To Abang Ravi
Iya, Bang.
***
"Pap, liburan ini kakak ke rumah nenek Syifa ya. Liburan disana." Kuhampiri Papa yang sedang membaca koran di teras rumah.
"Memangnya sudah pasti Syifanya kesana?" Papa menyerut tehnya tanpa lepas membaca.
Aku mengangguk "Iya, Pap. Bahkan jadwal kegiatannya udah disusun sama Syifa." terangku bersemangat.
Papa mengangguk-angguk "Wah udah kayak tour ya, terjadwal." Ia terkekeh geli.
"Hehe Iya dong, Pap. Jadi gimana, boleh? Kata Mama izin sama Papa." Ujarku harap-harap cemas. Segala kesiapan sudah tinggal angkut saja, tunggu izin Papa dan langsung go.
Papa melipat korannya lalu mengelus rambutku sayang, "Papa sih gak masalah. Tapi Kakak harus izin Bang Ravi. Kalau Bang Ravi bilang yes, Papa juga yes."
Aku mengangguk, "Oke, Pap. Kakak nanti izin sama Abang." Yah, baru ingat kalau semua izinku sekarang butuh approve Bang Ravi.
"Oh ya, Kata Mama, Bang Ravi ngasi kakak Kartu ATM." Aku mengangguk "Asik dong." Papa menaik turunkan alisnya.
"Nanti kirimin papa nomor rekening kakak." Lanjut Papa langsung mendapat gelengan kepala dariku.
"Gak usah, Pap. Bang Ravi sudah isi. Lagian sekarang Bang Ravi yang mau nafkahin kakak. Gitu katanya." Terangku.
Papa mengangguk "Oke, deh. Berarti uang jajan Mama bakalan bengkak nih."
Aku cemberut, "Ya papa tetap ngasi dong kalau jajan. Gak usah lewat ATM, tunai lebih bagus, Pap." Duh, masa iya uang bulananku raib sih. Nafkah suami tetap jalan, uang jajan dari Papa juga harusnya gak stop dong.
Papa tertawa renyah "Jangan boros-boros ya, kakak. Belajar manajemen keuangan sama ahlinya langsung supaya bisa mengatur dengan bijak keuangan suami." Papa menatapku lembut. Lelaki terhebatku. Aku mengangguk.
"Memangnya Papa kenal yang ahli mengatur keuangan? Siapa?" Tanyaku penasaran. Kalau Papa saja sudah bilang ahlinya berarti orang ini benar-benar hebat.
"Tuh Mama."
Eh?
"Mama?" Tanyaku tak percaya.
Papa mengangguk, "Udah hampir dua puluh tahun mengurus keuangan, gak ada istilah besar pasak daripada tiang, semuanya pas. Kurang ahli apa lagi coba. Jam terbangnya lama."
Aku menyengir lalu kemudian kami berdua tertawa lepas. Papa ada-ada saja. Tapi patut di coba sih, kayaknya Mama sukses besar mengelola gaji Papa sebagai PNS, sampe bisa nabung juga.
"Ngomongin apa sih? Kok seru." Mama datang membawa sepiring bolu coklat.
Kami menggeleng, "Perkara nafkah, Mam. Biasa pengantin baru masih butuh belajar banyak." Ujar Papa.
"Sekalian mau belajar manajemen sama Mama." Lanjutku, membuat mama mengernyitkan dahi. Aku dan Papa tertawa lepas saat melihat wajah bingung Mama.
Nafkah dari Bang Ravi harus dikelolah dengan bijak kan, Mam. Supaya lelahnya Bang Ravi nggak sia-sia.
---
Yang berlelah-lelah demi nafkahin istri
Yang dinafkahin sedang menikmati hasil jerih payah suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Harusnya Naura saat liburan kek gini tu dia manpaatin pergi kerumah mertuanya,kapan lagi coba Naura kenalan dan akrab dengan keluarga nya Ravi..
2024-09-20
0
Qaisaa Nazarudin
Aku jadi penasaran dgn keluarga dan kehidupan Ravi seharian nya,Marna sampai di bab ini yg ada cuman kisah Naura dan Ravi yg lempeng..
2024-09-20
0
Yane Kemal
Visual Naura makan mie, lutuuuu
2021-07-28
3