Aku menatap tanganku yang terasa hangat berada dalam genggaman Bang Ravi. Aku deg-degan tapi tidak berani melepaskan tanganku yang sejak kejadian dengan cowok kasar itu digenggamnya.
"Abang kapan sampenya?" Tanyaku takut-takut. Aku tak menyukai keheningan apalagi berada dalam mobil bersama orang yang belum lama kukenal. Ya meskipun dia suamiku sekarang. Lagian kan ngeri nyetir satu tangan.
"Cowok tadi siapa?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Ravi malah menanyakan cowok aneh itu. "Kok narik-narik gitu?"
Aku menggeleng "Naura nggak tau, Bang. Pagi tadi nggak sengaja nabrak tapi Naura sudah minta maaf kok. Nggak tau tadi tiba-tiba narik tangan aku."
Bang Ravi menghela nafas pendek, "Jauh-jauh dari dia." Katanya kemudian. Aku mengangguk. sekali lagi melirik tanganku yang masih di genggam Bang Ravi.
"Abang belum jawab pertanyaan Naura."
"Tadi dari bandara langsung ke sekolah."
Aku melirik Bang Ravi dari ujung kaki keujung kepala. Celana jeans pudar, baju kaos putih dilapisi jaket kulit hitam. cakeeeep. Wajahku kok jadi hangat-hangat gini. Duh Naura, jangan ganjen, please.
"Abang harusnya gak usah jemput. Istrahat aja di rumah. kan capek." Kataku serius. Bahkan cuma duduk enteng di dalam pesawat pun kalau namanya perjalanan tetap saja capek.
"Gak apa-apa." Gumamnya, lalu melepaskan tanganku saat berbelok ke salah satu cafe. lega, tapi kok aku rasa kehilangan ya. Aku menyatukan kedua tanganku diatas pangkuanku. Cafe ini kayaknya bagus melihat dari banyaknya pengunjung.
Setelah memarkirkan mobil, Bang Ravi turun. Ia menoleh padaku yang menatapnya bengong.
"Nggak lapar?"
Aku terkesiap, "lapar, Bang." Bang Ravi tersenyum tipis. ada yang lucu?
"Poninya di rapiin dulu." Aku menahan nafas gugup saat tangan Bang Ravi merapikan poni tipisku yang sudah hampir menutupi alisku.
"Terima kasih, Bang." Ucapku menyembunyikan rasa gugup, wajahku menghangat lagi. Apa aku sakit ya?
Bang Ravi keluar dari mobil. Setelah menata baik perasaanku, aku ikut turun dan berlari menyusul Bang Ravi. Langkah Bang Ravi lebar-lebar bangat, aku sampe harus lari-lari menyusulnya. lagian tubuhku hanya setinggi dadanya jelas dua kali lebar langkahnya.
Benar. Cafenya ramai. Aku mengikuti langkah Bang Ravi mencari tempat kosong.
"Mau makan apa?" Bang Ravi sudah membuka buku menu. posisi dudukku tepat di depannya membuatku harus menjulurkan kepala untuk melihat menu yang ada dihadapannya.
"Salad aja, Bang."
Bang Ravi menatapaku datar. Kenapa? I love salad. Setelah memutus tatapannya ia kembali memusatkan perhatiannya pada buku menu di depannya. Setelah memilih menu, Bang Ravi menghampiri meja pesanan. Perhatianku teralihkan oleh suasana cafe yang cozy bangat. sangat nyaman dan instagramable. cocok nih untuk foto-foto. Nanti aku aja Syifa untuk main-main kesini meskipun ramai tapi tetap tidak sumpek dan berisik.
"Kapan libur?" Aku tersentak saat Bang Ravi sudah kembali duduk di depanku.
"Minggu depan, Bang."
Bang Ravi menggumam. Cuma itu?
Sepertinya Bang Ravi tipe cowok-cowok yang di gambarkan di otak Syifa, irit ngomong. Apa dia juga bakalan berujung bucin? Aku memandang sanksi, kayaknya tidak akan berlaku deh sama Bang Ravi. Kelihatan tidak masuk akal tiba-tiba dia jadi bucin, pada orang sejenis diriku pula.
"Jangan banyak melamun. Makan."
Ups.
Loh? Aku mendongak, menatap Bang Ravi tapi dia seperti tidak menyadarinya.
"Naura kan pesan salad, Bang." Ujarku heran. Bang Ravi mengangguk.
"Gak akan kenyang. Cepat makan." Ujarnya datar.
Aku mendengus kesal. Padahal aku udah ngiler membayangkan buah-buahan itu melumer bersatu bersama mayones dalam mulutku.
"Lain kali setiap makan siang kamu wajib foto makanannya dan kirim ke WA ku."
Aku yang baru saja mau menyantap ayam bakar di depanku mengernyit bingung, "Untuk apa?"
Bang Ravi tak menjawab, ia malah asik menyantap hidangan di depannya. Kaaan, keseeel. Aku menyuap makanan dengan perasaan dongkol. Ini orang nganggap aku ada nggak sih? Kembali kusuapi diriku dengan takaran yang banyak. kalau kesal bawaanya memang pengen ngunyah.
"Ck. Anak kecil. "
Ting.
Sendok ditanganku jatuh berdenting diatas piring saat tangan Bang Ravi menyentuh sudut bibirku dengan jemarinya. Dan laki-laki itu dengan enteng mengemut ibu jariku yang dilumuri Kecap. Fix, ini namanya pencemaran otak suci gadis di bawah umur.
"Manis." Satu kata yang membuat wajahku memerah bak kepiting rebus.
Mamaaaaaa...
***
Sejak sepulang dari cafe tadi siang aku belum ketemu Bang Ravi. Perlakuannya tadi cukup membuatku syok. Aku memutuskan mengurung diri di kamar sedangkan Bang Ravi menemani Mama dan Papa. Entah apa yang mereka ceritakan sampe malam begini belum juga bubar. Saat makan malam tadi mama datang memanggilku untungnya aku bisa beralasan kekenyangan karena baru saja diajak makan oleh Bang Ravi.
Aku meraih hp dalam laci nakas. Ada satu pesan balasan dari Bang Ravi. Tumben balasnya cepat, baru juga tadi pagi.
From Abang Ravi
Hati-hati.
Udah ketemu juga, cibirku. Aku mengambil headset lalu memutar mp3, lagu-lagu BTS yang memenuhi daftar putar di hpku paling pas mengenyahkan bayangan-bayangan bibir dan lidah Bang Ravi di jariku. Iiiih... mesuuuum.
"Siapa yang mesum?"
"Kyaaaaaaaaa...." Spontan aku melempar guling kearah Bang Ravi yang tiba-tiba muncul di dalam kamar. "Abang ngapain kesini?" Sumpah ini aku lagi mode mager, celana pendek setengah paha, baju tanpa lengan, kurang bugil apa lagi coba, hiks.
"Bang Ravi tutup mata!" Teriakku, menarik selimut untuk menutupi badanku. Kini hanya kepalaku yang nyembul setengah.
"Aneh." Bang Ravi bukannya menutup mata atau menyingkir malah dengan santai mau lepas kaos.
Eh? lepas kaos?
"Eeeh, stoooop!!!"
Bang Ravi menghentikan gerakannya lalu menatapku jengah "Apa?"
Aku menunjuk-nunjuk badannya "Abang gak boleh buka kaos. Turunin." Teriakku. semoga gak kedengaran mama dan papa. kata mereka dosa kalau suara istri lebih nyaring dari suara suami.
"Gerah." Katanya lalu membuka kaosnya tanpa mengindahkanku. Jahaaat.
"Abaaaang, Naura kan masih dibawah umur gak boleh liat-liat yang begituan." Kataku dengan suara bergetar. Tak berani lagi menatap makhluk tuhan paling yahuuud di depanku. Untung gak ada Syifa, bisa mimisan dia. Tanpa sadar kuraba hidungku, Alhamdulillah aman.
"Lagian abang ngapain di kamar Naura? Kan ada kamar tamu di sebelah."
Bang Ravi menatapku datar, lagi. Sepertinya udah jenis tatapannya dia begitu.
"Kenapa di kamar tamu? Ini kamar istriku."
Gluk! Aku menelan ludah kesusahan. Ini Bang Ravi maksudnya apa? Dengan sadar kurapatkan selimut di tubuhku. Bang Ravi masih menatapku lurus. Aku balas menatapnya gugup.
"Tapi Naura masih kecil, Bang." Cicitku, gugup campur ngeri.
Bang Ravi tersenyum miring. Itu kan senyumnya penjahat pas ketemu korban. Ya Allah, tolong.
"Masa sih masih kecil?" Bang Ravi menatap tubuhku. sekujur badan ku merinding. Seriusan, Bang Ravi kenapa? Aku menggeser badan hingga membentur pelan kepala ranjang. Bang Ravi tak bergerak seinci pun tapi rasanya aku udah dalam bahaya.
"Abang jangan bergerak!" Aku semakin merapatkan diri di kepala ranjang berharapa tiba-tiba aku bisa menyatu dengan kepala ranjang saat Bang Ravi mulai mendekat. Baju kaosnya ia gulung di lengannya. Bang Ravi Shirtless, catat itu, SHIRTLESS.
Aku menutup mata saat kurasakan tangan Bang Ravi mengangkat bahuku untuk duduk tegak. Apapun yang terjadi aku gak mau buka mata.
"Kamu masih kecil ya?" Gumamnya menimang-menimang. Aku menahan nafas. Tangan Bang Ravi kayaknya berpindah ke pipiku. Lalu tiba-tiba--
"Kyaaaaaaa... Abaaaaang Lepaaaaaas!!!" Pipiku di tarik kuat oleh tangan Bang Ravi yang sumpah sakiiit ngiluuuu.
"Ngakunya dibawah umur tapi otaknya delapan belas plus. mikir apa kamuuu, huh?" Tak puas dengan pipiku, Bang Ravi kini mengapitku dibawah ketiaknya. Mmmm wangi siiih tapi tetaaaaap, wajah aku nempel di kulitnya.
Mamaaaaa... Anakmu masih di bawah umuuuur, tapi udah di *****-grepein Hiks.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Risnina
lanjut
2024-08-19
0
💗vanilla💗🎶
panggilannya enak ya , abang ,
2023-08-31
1
💗vanilla💗🎶
iy bener , aplg perjalanan pake mobil capeknya
2023-08-31
1