Bang ravi rese, Bang ravi nyebelin, Bang ravi gak peka, Bang ravi yang batu, Bang ravi yang tegaaaa.
"Baaaang. Naura mau nambah es krim." Keterlaluan gak sih kalau hanya untuk nyicip-nyicip es krim harus mohon-mohon gini? Bang ravi raja tega. Tinggal iyain doang apa susahnya sih nanti aku tinggal cusss beli pake uang sendiri.
"Beli yang lain saja. Belepotan kalau makan es krim. Nih." Barang menunjukan tissue yang ia gunakan untuk mengelap bibirku. Ya emang sih aku agak jorok kalau makan es tapi kan tetaaap, aku masih mau coba.
Mataku mulai memanas, aku suka bangat es krimnya. Kalau di rumah, mama dan papa selalu larang makan es karena dingin katanya nanti aku sakit, nanti amandel lah, nanti suaranya serak lah. Masa sekarang di larang juga sama Bang ravi.
"Ra, jangan kayak anak kecil."
Mataku memincing, apa katanya tadi, anak kecil? "Naura bukan anak kecil baaang. Naura cuma mau es krim doang kok. Apa susah keinginan Naura?" Kuhentakkan kakiku kesal lalu meninggalkan Bang ravi.
Aku mau kemana emang? Banyak bangat orang dan aku bingung mau harus ke kiri atau ke kanan. Tadi kami jalan kaki meninggalkan area mesjid, masuk pasar terus tembus di sebuah taman yang tadi tempatku ketemu es krim goreng. Tali gak boleh nambah, kan jahaat.
Udah ah, apapun yang terjadi belok kanan, itu yang selalu di bilang Syifa. Kulangkahkan kakiku ke arah kanan, sepanjang jalan di tumbuhi pohon-pohon rindang sehingga tak perlu berpanas-panasan. Bang ravi juga nggak ngejar, jahaaaat. Hiks. Jadi nyesal juga kenapa pake acara ngambek sih, kan kalau begini aku sendiri yang repot. Jalan kaki, betis nyut-nyut, telapak kaki terasa kencang, haus, nyasar. Haduh Naura, ada-ada aja sih.
Bang raviiiii... Hiks.
Bip Bip...
Aku menyingkir kesisi jalan menghindari mobil yang lewat. Ini bang ravi nggak mau nyusulin? Tega? Gak takut kena marah mama kalau tau anak gadisnya hilang? Ck. Capek. pohong rindang dengan tempat duduk beton di bawahnya menjadi pilihanku untuk beristrahat sejenak. Panas bangat. Belum lagi lilit-lilitan jilbab, makin menambah gerah. Kalau aku buka kira-kira apa-apa nggak nih? Tapi kalau Bang ravi nyusul dan liat aku buka jilbab di pinggir jalan, kira-kira bakalan marah gak yah? Ah emang bang ravi mau nyusulin? Itu orang kan gak ada hatinya sama istri. Masa istri dibiarin jalan seorang diri sih. Kalau kenapa-kenapa gimana? Mau jadi duda dia?
"Dasar gak punya hati! Rese! Jahat!" Puas puasin deh maki bang ravi mumpung orangnya gak ada.
"Siapa yang rese?"
Aku terlonjak saat seseorang muncul dari balik pohon.
"Bang ravi? Kok disini, ngapain? pergi sana!" Aku lega, tapi gengsi mau nunjukin. Biar aja Bang ravi mikirnya aku marah.
Bang ravi abai, ia menghampirimu sangat dekat. tepat di depanku. Ia membungkukkan badannya sehingga wajah kami sejajar.
"Keringatan gini." Gumamnya, mengelap pelipisku dengan ujung lengan jaketnya--yang keringatnya udah kayak banjir bandang, mengalir deras.
Kutepis tangannya, padahal sebenarnya biarin aja, deg-degan yang menyenangkan. Tapi sekarang Naura sedang marah. Ayo Naura, tunjukan kebolehan ngambekmu.
"Abang pergi sana. Naura disini aja sendiri." Kubalikkan badanku membelakanginya. Senyumku berusaha keras kutahan. Ayo Naura, senang sih senang tapi jangan lemah sama perasaan nanti bisa jadi kebiasaan Bang ravi ngegampangin marah kamu. Ckckk bener-beneer deh ini iblis jahat, pandai bangat ngerayunya. Pak ustadz di masjid kompleks sih emang pernah bilang kalau iblis yang menggoda pasangan menikah itu emang ganas. Niat bangat mau misahin yang udah halal dan mau nyatuin yang masih haram. Dasar iblis.
"Ayo, pergi! Nanti kena razia. Dikira zina." Tampang lempeng Bang ravi nggak cocok sama leluconnya. Mana ada razia siang-siang, lagian di tempat terbuka juga.
"Kalau mau ngelucu ya ekspresinya juga mendukung dong Bang, biar ngeyakinin pendengar gitu loh." Ujarku sebal. Kalau mau niat menghibur, ya yang niat doang.
"Abang tidak sedang melucu. kalau disini orang yang duduk berdua-duaan laki-laki perempuan yang bukan suami istri bakal di bawa ke panti pembinaan--" Heh, aah bohong ini mah. Kupukul bahu Bang ravi memintanya berhenti membual. "yang sebelumnya di arak dulu di depan umum." lanjutnya serius.
Eh, masa sih?
"Abang bohong kan supaya Naura ikut abang?" selidikku.
"Ngapain, buang-buang waktu bohongin orang. Dosa." Bang duduk di bangku di dekatku.
Razia? Panti sosial? Di arak? Hihhh!
"Bang, ayo cepat jalan." Kutarik Bang Ravi lalu bergegas menuju jalanan ramai. Supaya gak di tuduh, di tempat ramai lebih baik. Kan orang gila kalau mau bertindak asusila dalam bus atau di pinggir jalan.
Kulepaskan tangan Bang ravi saat kami sudah kembali di keramaian, tepatnya di pasar dekat mesjid. Ternyata dekat bangat dari tempat tadi, coba lanjut marah, pasti ketemu pasarnya, terus lanjut jalan sendiri. Tapi nggak akan seru sih, nggak ada bang ravi.
"Capek. Cari minum yuk, Bang."
"Udah nggak marah?"
"Enggak. Nanti iblis hore-hore lagi berhasil bikin kita marahan. Lagian Naura masih harus jalan-jalan. Masih banyak tempat yang harus Naura kunjungi dan Abang harus nemenin."
Bang mengangguk, "Ok. Sekarang cari minum dulu. Dari tadi ngomongnya kencang bangat. Sampe serak."
"Betul. Ayo!" Kali ini Bang ravi yang mengambil inisiatif menggandengku menuju salah satu kios penjual minuman mineral. Sebaiknya kalau di dalam pasar emang gandengan ntar hilang, paling parah ntar kayak kemaren, mana gak bawa surat nikah lagi.
"Setelah ini kita kemana Bang, Museum tsunami atau ke kap-- Uhuk!" Pediiiis hidungku. Pake acara tersedak lagi.
"Pelan-pelan." Bang ravi dengan telaten mengusap air yang merember di bajuku.
"Periiih."
Bang ravi mengusap punggungku "Makanya kalau lagi minum jangan sambil ngomong."
"Iya, maaf. Udah yuk, jalan. Ntar ketinggalan bus."
Bang ravi menahan tanganku, "Kita naik labi-labi, bus nggak kesana." jelasnya.
"Labi-labi? Apaan tuh?"
Bang ravi menunjuk sebuah angkutan umum sejenis angkot cuma letak pintunya saja si belakang, bukan disamping. Bang ravi udah tau bangat tentang Aceh, daerah asalnya jadi aku gak perlu khawatir hilang atau kenapa-kenapa.
"Bang, ke Museum?" Tanya Bang ravi.
"Ah, iya, bang. Kebetulan kali ngangkut adik-adik ini." Ujar Bapak sopir. Bang ravi menoleh padaku dengan senyum cerahnya. Baru kali ini loh. Aku menyambut tangannya untuk membantuku naik labi-labi yang memang cukup tinggi. Lalu ia menyusul di belakangku.
"kayak angkot, bang." bisikku pelan. Bang ravi duduk tepat di depanku. Ia mengangguk pelan. Tiba-tiba aku teringat salah satu adegan film yang di perankan cut meriska dan suaminya yang mualaf, kalau nggak salah ada salah satu adegan mereka diatas angkutan sejenis ini. Si aktornya disitu lagi ngejar cewek muslim untuk diajak kenalan sampe ngikutin diatas kendaraan. Persis sekarang posisi duduk kami, aku juga lagi kerudungan sekarang, cuma bang ravi aja yang kurang sipit tapi gak apa-apa, bang ravi tetap yang paling keren buat Naura. Bedanya lagi, Bang ravi bukan lagi ngejar cewek buat diajak kenalan tapi ia nemenin istri yang mau liburan. Hihi.Drama bangat emang, scene nya pas.
Aku langsung menahan senyumku saat bang ravi menatapku dengan kening berkerut. Haha pasti penasaran tuh. Biarin aja, supaya makin pas dramanya yang penting bukan drama picisan karena aku lebih senang ala ala drama korea.
Gak nyambung.
---
Kakak naura senyum-senyum aja, itu kasian loh bang ravi nya nggak kuat.
Bang ravi yang ditinggal ngambek kakak naura. Sabar bang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments