Bang Ravi duduk tenang disampingku. Sejak tadi kutawari mie acehku tapi ia menolak. Tatapannya tak lepas dariku. Udah tau salahku dimana makanya aku anteng saja. Paling di rumah dapat omel, mumpung masih diluar, sekalian aja totalitas memanfaatkan waktu yang ada.
"Jangan liatin gitu kenapa sih." Bukan risih sih cuma aku kan jadi malu juga kalau ditatapin lama-lama kayak gitu sama Bang Ravi. Ini bang Ravi loh pemilik mata sayu nan menghanyutkan. Mana adek kuat baaang. Udah panas, tambah panas lagi, bentar lagi meleleh akunya.
"Gak baca tulisan yang abang simpan?"
"Baca."
"Terus?"
"Baca doang." Kataku pelan, mencoba menghabiskan sisa mieku di bawah tatapan silet Bang Ravi.
Habis kamu, Naura. Bang Ravi menghela nafas pendek.
"Cepeet makan. Kita pulang."
Aku menatapnya tak percaya " Abaaaang
... kan baru nyampe." rengekku tak terima. Bang Ravi mengedikkan bahu, ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Tampak lelah.
"Lain kali dengar Abang. Jangan ngeyel." Ucapnya pelan, tatapannya melembut.
Aku mengangguk. "Bayarin." Kataku tak tau diri. Bang Ravi menutup mata sakali, mencoba menyabarkan diri.
"Berapa, Bang?" Ia menghampiri Bapak penjual. Senyumku terkulum menatap punggungnya. Abangnya Nauraaa. Baik bangat.
"Ayo." Kugandeng lengan Bang Ravi. Ia menatapku dengan kerutan di dahinya.
"Biar nggak hilang." cengirku lebar. Bang Ravi mengusap rambutku gemas. My favorite.
Kami berjalan menyusuri pagar keliling masjid. Bang Ravi mengikuti dimanapun aku menyeretnya. Tak ada yang boleh di lewatkan. Aku membeli membeli beberapa gantungan kunci dan Bang Ravi yang membayarnya. Mama memberiku uang jajan sebelum berangkat walaupun sebelumnya Abang sudah bilang kalau aku hanya perlu datang di Aceh sisanya dia yang urus. Tapi tau kan mama, sebagai seseorang yang paham betul watak anaknya yang selalu khilaf, maka dengan sadar diri beliau menambahkan uang jajanku. Baiknya Mama dan papa Naura. Duh, jadi kangen. Kubeliin apa ya.
"Bang, ke tempat ole-ole yuk!"
"Besok udah mau balik?"
Aku menggeleng "Kan seminggu." Kataku.
"Ya udah, masih lima hari lagi kan. " Balasnya kalem. Aku cemberut. Gak asik ah.
Bang Ravi, ia melepaskan tanganku dari lengannya. Lalu menatapku sekilas. Ia menghela nafas pendek. Apaan lagi sih? Masih belum move on dengan kostum ku? Balik kutatap malas. Bang Ravi melepaskan jaket jeansnya lalu menyampirkan ke bahuku.
"Sinar matahari sore sekarang tidak baik."
Aku mengangguk. Bang Ravi memegang kedua bahuku. Hanya meremasnya pelan lalu berlalu meninggalkanku. Aku berlari mengikuti langkahnya yang lebar. Bang Ravi membawaku ke dalam pasar. Aku mempercepat langkah karena banyaknya orang-orang. Bukan takut, tapi gak lucu aja nanti cerita sama Syifa kalau aku hilang dalam pasar. Bang Ravi lagian langkahnya cepat bangat. Aku kebingungan saat seseorang menyalip di depanku.
"Duh, Bang Ravi mana?" Aku kehilangan jejak. Yah, beneran aku hilang? Tidak kulihat lagi sosok bang Ravi di depanku.
Aku mempercepat langkah, semoga saja Bang ravi sadar kalau aku sudah tidak di belakangnya.
"Hei!" Kutepis kasar tangan seseorang yang mencekal pergelangannku. Lancang. "Jang--Bang Ravi." Baru saja mau memaki, ternyata sosok itu adalah Bang ravi yang kini menatap sekelilingnya tak enak. Aku menoleh dan yap, orang-orang kini menatap kami selidik. Terlebih kepada Bang Ravi yang tertangkap basah memegang tanganku. Seolah sedang melakukan pelecehan di tengah keramaian.
"Istri saya." Katanya sembari menarik tanganku. Bang ravi tersenyum canggung lalu membawaku pergi dari tempat itu.
"Abang sih pake narik-narik." Kataku saat kami berhenti di depan penjual pakaian. Bang ravi belum juga melepaskan tanganku. Cengkramannya kuat namun tidak menyakitkan sama sekali, nyaman bangat. Hangat.
"Abang mau beli baju?" Tanyaku saat laki-laki di depanku ini diam memandang ke dalam jejeran baju-baju. Bukannya menjawab, ia malah membawaku masuk. Setelah itu melepaskan tanganku lalu masuk ke dalam menemui penjual yang tersenyum hangat pada kami. Karena lelah berjalan seharia, aku duduk di kursi pelanggan dan membiarkan bang ravi sendirian. Mungkin dia mau beli sesuatu. Kusibukkan diri berselancar di sosmed tak lupa mengabarkan Syifa mengenai liburanku walaupun tidak tahu kapan di balas karena di kampung neneknya belum bagus akses internetnya. Ada sih cuma pada spot-spot tertentu saja dan kalau sudah gerak, jaringan langsung hilang. Kalau di pikir-pikir samalah kayak nunggu balasan chat dari Bang Ravi kalau aku laporan, bedanya Syifa terlambat balas karena akses jaringan yang memang tidak ada, kalau Bang Ravi emang jaringan jari-jari tangannya yang malas aktif.
Bang Ravi mencolek bahuku. "Sini." Apaan deh main colek-colekan.
Aku berdiri di depan Bang ravi yang menatapku ragu-ragu, "Kenapa, Bang?"
Ia mengulurkan selembar kain motif di depanku "Coba ya?!" Pintanya. Aku memperhatikannya, kerudung.
"Abang mau aku pakai jilbab?" Bang Ravi menyentuh tengkuknya "Nanti ya Bang kalau sudah lulus SMA. Insya Allah pasti Naura pake." ucapku serius. Beneran deh kalau sekarang belum siap. Aku kan mau pake kalau udah siap lahir batin, supaya gak buka tutup kayak artis-artis galau.
Bang Ravi membentangkan kain itu dan memasangnya di kepalaku "Selama disini pake, ya. Supaya gak diliatin." Pintanya, melilitkan kerudung itu di kepalaku. Iya sih risih tapi kan panas. wajahku tertekuk masam.
"Mau kan?"
Aku mengangguk "Iya deh." Meski tak ikhlas tapi demi menyenangkan suami diikhlas-ikhlasin aja. Semoga jilbabnya gak kubuka di jalanan.
Bang ravi tersenyum tipis, ia mengelus kepalaku seperti biasa. Bang ravi senang, malaikat senang, Naura jadi istri yang nurut kan.
Bang ravi membeli tiga kerudung sekaligus. Katanya buat jaga-jaga kalau aku mau matching-matching in dengan baju yang kubawa. Setelah membayar, Bang ravi menggenggam lagi pergelangan tanganku dan membawaku keluar dari pasar. Karena jalanan sempit, aku harus berjalan di belakang Bang Ravi dengan tangan saling bertaut. Aku tersenyum melihat punggung kokoh Bang Ravi. Punggung milik laki-laki muda yang dengan beraninya menyanggupi tanggangjawab untuk menjagaku diusianya yang benar-benar masih muda. Kalau cowok lain beraninya cuma ngajak pacaran, Bang Ravi malah menikahiku meskipun bukan murni keinginannya. Aku tau itu, mama dan papa sudah mengatakannya bahwa pernikahan kami ini bukan atas dasar rasa suka Bang Ravi tapi karena faktor lain yang sampai sekarang masih menjadi misteri. Tapi sepertinya ia berusaha keras, lagian ada kalimat yang tepat untuk kami menurut salah satu novel yang kubaca bahwa seharusnya cinta itu bukan jatuh, tapi tumbuh. Semoga saja cinta itu tumbuh segera karena aku tak ingin jatuh sendiri.
Umur kami masih muda, aku masih ingin sekolah lebih tinggi, menggapai cita-citaku yang sejak kecil selalu kugaungkan, dan Bang ravi dengan mimpi-mimpinya yang mungkin kehadiranku tak pernah masuk dalam daftar mimpinya tapi ia percaya jodoh, jodoh yang begitu cepat menyapanya. Meskipun sedikit sulit, tapi berdua dengan Bang Ravi pasti akan lebih mudah untuk dijalani.
---
Kak Naura cantik, kerudungnya juga. siapa yg beliin?
Punggung kokoh Bang Ravi, yang tangguh ya Bang ngdepin Kakak Naura
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
faktor apa tuch ?
2023-08-31
1
Nurma Ningsih
kalo di litle persit om ginya nad...klo disini abangnya naura...😁😁😁😁
2021-08-19
3
Ligustin samandy
siaaap. udah fav. loh
2020-04-20
5