Mama berpesan padaku sebelum berangkat kesini agar selalu menurut kata Bang Ravi, tidak boleh banyak protes, dan jangan banyak menuntut. Kehidupan rumah tangga itu harus seimbang antara memberi dan menerima. Dan ngomong-ngomong ini sudah minggu ketiga aku menyandang status sebagai istri Ravi Nuarta. Tidak banyak yang berubah dalam hidupku kecuali kehadiran Bang Ravi yang mengambil bagian dalam menginvasi kehidupanku. Sampai saat ini belum ada keberatan yang berarti, yah kecuali aturan-aturannya yang meskipun sulit kuterima, aku akui semuanya memang baik untuk, tepatnya memperbaiki bagian yang tidak pas. Selain itu aku sudah mulai biasa dengan keberadaannya, sentuhan-sentuhan kecil yang dilakukan padaku yang pasti masih dalam batas wajar, dan juga mulai sedikit tau kalau Bang Ravi tipe yang terus terang, tidak banyak omong kecuali urusan menasehatiku, pekerja keras dan tentu saja Bang Ravi yang sayang sekali sama Ibunya, I mean ibu mertuaku.
"Habisin makananya." Aku tersentak saat benda dingin menyentuh jidatku.
"Iya, ini juga lagi usaha." Paha ayam goreng di depanku tinggal separoh, nasinya saja yang masih sisa banyak. Lagian ini yang beli dipikir yang mau makan yang habis nguli seharian apa gimana, banyak bangat, jatohnya mubazir kan. "Banyak bangat nasinya." Makan malam yang sangat mengancam jarum timbangan geser ke kanan.
"Biar makin sehat."
"Bilang aja biar makin gendut." Gerutuku. Bang Ravi sama aja sama Mama, gak peka bangat sama perasaan anak gadis yang paling sebel kalau bahas berat badan.
"Bakpau." Bang Ravi tanpa dosa menangkup pipiku sekilas. Gak baik bangat untuk kesahatan jantungku.
"Jangan rese deh." Bang Ravi mah gitu, nggak tau apa kalau senyumnya bikin aku melumer.
"Besok langsung cuci baju yang tadi kamu pake. Abang nggak suka liat pakaian kotor apalagi gelantungan di belakang pintu kayak gitu. Sarang nyamuk dan debu.
Aku mengangguk "Itu kan abang yang gantungin. Naura mah simpannya disitu."
"Iya, diatas ranjang." Lanjut Bang Ravi.
Aku nyengir "Ya kan tadi niatnya mau simpan di keranjang kotor tapi gak nemu, tau nya bukannya gak nemu tapi emang gak ada." jelasku tak merasa bersalah sama sekali. Aku orang baru loh di tempat ini jadi wajar kalau nggak tau apa-apa.
"Hum, pintar bangat buat alasan." Bang Ravi beranjak dari tempat duduknya dan tanpa malu-malu melepas kaosnya. Aku langsung memalingkan wajah, bener-beneeeer ini cowok satu, gak tau malu bangat buka-buka baju di depan anak gadis orang.
"Abang jangan buka baju sembarang dong. Ditau kamar pribadi tapi kan sekarang ada orang lain." Omelku, menggigit besar-besar paha ayam yang hampir habis.
Bang Ravi terkekeh, dasar emang cowok aneh. Dibilangin malah kayak gitu.
"Kalau kamu lupa, itu benda yang gelantungan di leher kamu bukan hiasan semata tapi sebagai bukti kalau Abang dan kamu bukan lagi orang lain. Sudah satu, dibawah ikatan pernikahan." Aku mencebik, rese ah bawa-bawa status.
"Sekaligus mengingatkan pemiliknya kalau dia sudah terikat. Tau artinya terikat, kan?" lanjutnya dengan senyum tipis mempesona disertai lirikan matanya yang sayu.
"Uhuk." Aku tersedak.
"Pelan-pelan. simpan kalau gak habis." Bang Ravi mengangsur kan gelas kuning bergambar bebek padaku.
"Abang makanya jangan mandangin kayak gitu." Protesku, kuusap leherku. perih. Dasar cowok penggoda. Kan hatiku lemah. Ia menaikan satu alisnya.
"Udah ah, kenyang." Kujauhkan piring dari hadapanku.
"Tutup rapat. Lantainya sapu sampe bersih. pel juga sekalian."
Aku menatapnya tak percaya cowok yang dengan santainya duduk diatas kursi sambil main hp tanpa ada niat mau bantu sama sekali.
"Selain sebagai pengikat, juga berguna mengingatkan pemiliknya untuk saling membantu." Sindirku sewot. Sayangku yang disindir pake kulit badak, makanya tebal gak ngerasa.
Bang ravi meletakkan hpnya diatas ranjang "Pinter. Abang yang cari makan, kamu yang cuci piring dan bersihin semuanya." Lanjutnya datar. Selalu aku yang kalah. "Cepeet."
Kuhentakkan kakiku kesal. Pintu kamar mandi menjadi sasaran.
Bruk!
"Hati-hati, gak bisa ganti engsel pintu kan?"
"Iyaaaa, maaaaf." Ujarku senewen.
Aku menyelesaikan tugas rumah tangga yang kedua dari bang Ravi. Yang kemarin nyiapin tas adalah yang pertama dan yang kedua cuci piring sekaligus nyapu dan ngepel. Mama pasti bangga padaku.
"Naura mau duduk. Geser." Kudorong bahu Bang ravi yang sedang selonjoran di lantai, menyandarkan punggungnya di pinggir ranjang. Bang Ravi menggeser badannya "Ini pakaian yang kamu bawa? Gak ada yang lain?"
Kenapa sih, biasa aja perasaan dari tadi. Baju rajut longgal dan celana pendek warna putih. "Kan kata abang boleh pakai beginian di kamar. Lagian panas bangat. Gak ada AC atau kipas gitu?" Aku duduk selonjoran di samping Bang Ravi. Aceh beneran panas bangat.
"Lama-lama juga biasa." Ujar Bang Ravi datar. Percuma sih ngeluh sama Bang Ravi. Daripada ngeluh mending banyak-banyak bersyukur, katanya. Banyak orang diluar sana yang gak makan seharian bahkan gak punya tempat nyaman untuk tidur atau sekedar melepas penat, itu kalimat Papa kalau aku ngeluh AC mati atau mesin cuci nggak bekerja dengan baik, paling parah kalau udah malas makan atau sisain makanan.
"Besok kita kemana?" Daripada dapet siraman qalbu gara -gara ngeluh, mending nyusun rencana mau kemana saja besok.
"Naura udah ada list tempat-tempat yang wajib kita kunjungi. Nih." Kusodorkan hpku di hadapan Bang Ravi, udah kucatat tempat-tempat recomended di hpku selama diatas pesawat.
Bang Ravi melihat sekilas lalu menurunkan tanganku "Besok Abang ngajar. Seharian." Katanya tanpa dosa.
"Loh, jadi Naura gimana? Udah jauh-jauh ke Aceh masa mendam juga di kamar sih. Percuma dong, buang-buang waktu." Kutatap Bang Ravi sebal.
"Abaaaaang." Rengekku. Ini beneran aku gak di kamar aja kan seminggu ini. Kalau ia, sumpah tega bangat Bang Ravi.
"Buang-buang waktu ketemu abang? " Mata Bang Ravi meredup.
"Yah bukan gitu maksud Naura, Bang." Aku meluruh ke lantai "Ya udah deh, Naura di kamar aja seminggu." Kataku tak bersemangat.
"Tidur di ranjang. Nanti masuk angin." Bang Ravi merapikan bajuku yang melorot menampilkan bahuku yang polos. Aku menyengir. Ups. "Istrahat, udah solat kan?"
Aku mengangguk, lalu menurut begitu saja saat Bang Ravi membantuku bangun dari atas karpet. "Muat?" Tanyaku, sanksi melihat ukuran ranjang yang kecil dan badan kami yang timpang.
"Enggak kalau kamu tidurnya sambil koprol." Aku terkekeh.
"Bisa ngelawak juga?" Aku langsung terdiam saat mata sayu Bang Ravi menatapku datar.
"Oke." Ucapku lalu berbaring kesisi dekat dinding. Aku langsung kembali mengendus bantal yang menyimpan wanginya Bang ravi.
Kulirik hpku, waktu sudah menunjukan pukul 21.00. Belum waktu tidurku tapi aku bingung mau ngapain lagi. Bang Ravi pun gak asik diajak ngobrol, sekalinya ngomong pasti kenanya aku lagi, aku lagi. Kamar menjadi hening, hanya samar terdengar suara kendaraan di jalan raya dan penghuni kos lainnya itupun tidak ramai. Mungkin karena kos-kosan Bang Ravi tepat berada satu lingkungan dengan rumah pemilik kos-kosan. Bagus lah, suasanya kondusif, Bang Ravi benar-benar selektif memilih tempat. Orang yang super sibuk dan bawaanya belajar terus pasti membutuhkan lingkungan yang tenang.
Aku memejam kan, suara pintu di kunci dan saklar lampu dipadamkan membuatku sedikit menegang. Meskipun ini bukan pertama kalinya berada dalam satu kamar dan satu ranjang yang sama dengan Bang Ravi tapi tetap saja suasana canggung itu tak terelakan. Kurasakan sapuan angin menyejukkan ruangan, bang Ravi menyalakan kipas. Aku menggeser badan sampai menempel di dinding saat kurasakan ranjang itu bergerak. Bang Ravi berbaring tepat di belakangku. Ranjang yang sempit hanya menyisakan setipis kertas jarak diantara kami sehingga aku bisa merasakan hangat badan bang Ravi, juga wangi parfumnya yang menenangkan.
"Sudah tidur?" Tanyanya dengan suara pelan.
Aku menggeleng "Susah." gumamku terdengar seperti bisikan. Aku tak lagi memejamkan mata. Susah rasanya memejamkan mata sedangkan ada seorang laki-laki di belakangmu yang mungkin sedang memperhatikanmu.
"Gimana perjalanannya?"
"Menyenangkan." Jawabku sekedarnya. Meskipun sedikit bosan karena tidak bisa tidur selama di pesawat, but over all aku sangat menikmatinya.
"Ke Bandara sama siapa?"
"Sendiri."
"Pintar." Rambutku di elus sesaat oleh Bang Ravi. "Latihan hidup mandiri."
Aku mengangguk, "Naura memang pinteer kok." Kataku jumawa.
Bang Ravi terkekeh, "Iya, percaya." Kali ini durasi Bang Ravi mengelus rambutku cukup lama.
Tak tahan dengan posisi menyamping, aku langsung menoleh dan mata itu tepat menatap padaku. Untuk beberapa saat aku hanyut oleh tatapan sayu menghanyutkan milik Bang Ravi.
"Jangan liatin kayak gitu." ucapku pelan. Tanganku menyentuh kelopak mata Bang Ravi dan menutupnya. Bulu mata bang ravi sangat lentik, dalam suasana temaram wajahnya terlihat semakin mempesona, kulitnya halus, hidungnya mancung dan bibirnya---, aku terpaku, sedikit tebal dan warnanya merah. Aku mendongak dan saat itu Bang ravi juga membuka matanya. Ia tersenyum tipis.
"Tidur." Bang Ravi menarikku dalam dekapannya, hangat, seperti yang kubilang dan wangi. Aku menyerukan wajahku ke dadanya. Detak jantung Bang Ravi terdengar jelas bersahutan dengan detak jantungku yang juga berdetak tak seperti biasa, cepat, mendebarkan tapi dalam artian yang menyenangkan. Aku mengangguk. Kulingkarkan tanganku dipanggang Bang Ravi, sangat menenangkan. Perasaan aman yang sama seperti pelukan mama dan Papa.
---
Bang Ravi lagi ngelamunin apa??
Baju kakak Naura udah melar nih lehernya, Ganggu Bang Ravi, loh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Walau nikah hasil perjodohan,Tapi aku suka pasangan ini gak ada drama jual mahal,gak ada drama teken surat kontrak apa lah gitu,,Alurnya juga bagus gak mulu kisah tentang CEO,aku suka cerita novel yg merakyat kek gini paling demen,Tapi susah nyari nya.. Cuman ada outhor favorite ku Sinta Amalia,semua novelnya merakyat,Habis semua novelnya aku baca..
2024-09-20
0
Sri Widjiastuti
suami itu mah bebas naura
2023-02-12
1
Rasti Rasti
aaaaaaaa mauuuuu
2021-12-30
1