Kata Mama, Bang Ravi dua hari saja disini. Ngapain? Lagi, Kata mama mau nengokin istrinya. Hehe rupanya aku beneran istri orang tapi aku masih enam belas tahuuuuun. Belum juga sweet seventeen udah sweet wedding aja, hiks. Padahal aku mau juga ngerasain punya cinta pertama, di tembak, diajak nonton, di panggil pacar, dan ngerasain namanya putus, biar lucu gitu ngegalau di sosmed. Tapi berkat Bang Ravi semua itu hanyalah mimpi belaka. Fase-fase seperti itu harusnya kan bisa kurasakan, eh malah tiba-tiba jadi istri, terikat janji suci di hadapan Allah. Berat amat beban tanggungjawabku. Untungnya Bang Ravi ganteng, kereeen juga, bisalah di pamerin di sosmed kalau seandainya orangnya nggak kayak gitu, kaku, rese, irit ngomong.
"Kakak kenapa? Itu sayurnya potong yang bener."
"Kesal, Mam." Ucapku sengaja dengan volume maximum supaya kedengaran sampai ruang tengah. Suara pisau memotong -motong sengaja juga mode loudspeaker. Semoga orang-orang yang ada di ruang tengah mendengarnya. Bagus kalau langsung peka.
"Kesal sama siapa?" Mama itu multi tasking, biar tangannya sibuk ini itu, masih tetap nyambung ngomongnya. beda dengan aku yang mesti off kan dulu kegiatan lain kalau mau bicara.
"Bang Ravi masa meluk-meluk Kakak, Mam. Kan nggak boleh." Kuletakkan pisau dengan kesal.
Mama mencebik, "Memangnya kenapa bisa meluk-meluk, Kakak?"
"Gak tau. Subuh pas bangun tangannya udah parkir di pinggang Kakak. Kan gak boleh ya, Mam?" Kucomot pisang goreng yang sedang di tata oleh Mama diatas piring.
Mama memukul tanganku, "Hush, udah cuci tangan, belum? Jangan jorok. Nanti Bang Ravi muntah."
Aku mencibir, "Mama tegur dong Bang Ravinya. sekalian suruh pindah di kamar tamu. Ranjang Kakak kecil, kalau tidur pasti mepet-mepetan, badan Bang Ravi kan besar."
"Bukan badan Bang ravi yang besar tapi badan kamu yang kekecilan." Ujar mama. Bela aja terooos Mam, aku jadi curiga jangan-jangan aku dan Bang ravi ketukar.
"Lagian kakak masa harus mama bilangin juga sih. Bang Ravi kan suami kakak, ya masa harus pisah ranjang. kayak judul ftv nggak sih?" Mama menoleh padaku yang hanya kubalas kedipan bahu "Meluk juga nggak apa-apa, nggak dosa. Kakak tenang aja, Bang Ravi tau batas kok."
"Enggak, Mam. Kata Papa cowok itu bahaya. Laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi maka ketiganya setan. Mama bayangin tiba-tiba Bang Ravi dibisikin setan terus khilaf, bahaya, Mam. Bisa suram masa depan Naura." Iiih, sereeem.
Mata mama menyipit "Kok Mama malah khawatirnya kakak yang khilaf, ya?! secara Bang Ravi 11 12 sama gambar di belakang pintu kamar kamu yang tiap malam kamu ajak ngomong. Iya, nggak sih?" Mama mah ngarang. Masa si maknae BTS di samain sama Bang Ravi. Jauuuuh bangat. Muka Bang Ravi itu ganteng versi lokal, emang ganteng bangat kayak ada manis-manisnya. Apalagi kalau senyum, duh gula aren juga kalah manisnya.
"Tuh... tuh..., ngapain tuh kakak senyum-senyum? Kan Kaaaan? Waaaah Bang Ravi dalam bahaya nih."
"Ish, Mamaaaaa." Bener kan, Bang Ravi ketukar sama aku. Mama puas bangat ngetawain anaknya.
"Udah, kakak bawain gih pisang goreng sama tehnya." Setelah puas ngetawain trus merintah? Apalah dayaku, surga di telapak kaki mama.
Meski dongkol, aku mengambil talenan yang sudah siap dengan dua cangkir teh dan sepiring nasi goreng diatasnya.
Di ruang tengah Bang Ravi terlihat sedang mengotak-atik printer papa.
"Papa mana, Bang?"
Jangankan menjawab, noleh aja kagak. siapa nih yang semalaman meluk-meluk? Dakocan mungkin ya.
Mengabaikan sikap acuh Bang Ravi, aku ikut duduk jongkok di sampingnya, penasaran juga apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa bahasa dengan mesin di depannya. Nggak mungkin diajak ngomong kan?
"Ngapain? Minggir! Ganggu aja." Bang Ravi menggerutu. Printer Papa sudah terbagi dua, baut dan mornya sudah terhambur di lantai.
"Abang bisa?" Tanyaku sanksi.
Bang Ravi menatapku malas. Tangannya sudah warna warni kena tinta printer, mukanya juga. Ya ampuuun cemong bangat. tapi tetap keren sih. hehe.
"Ngapain senyum-senyum? Miring nih anak."
Aku memukul lengan Bang Ravi saat ia dengan iseng menarik garis miring di jidatku.
"Naura udah mandi, Baaaang. Ih."
Tak menanggapiku, Bang Ravi kembali berkutat dengan mesin yang kayaknya sudah tidak bisa di selamatkan lagi. Keningnya sudah kelipatan tujuh, tuh.
"Minum dulu, Bang. Siapa tau dapat pencerahan." Ujarku tak bisa menyembunyikan kegelian. Aku yakin, Bang Ravi sudah bingung mau menyatukan printer papa.
Bang Ravi menghela nafas pendek "Siniin teh nya."
Aku mengulurkan gelas padanya dan dia hanya membuka mulutnya. Ini maksudnya mau di pegangin? Ya sudahlah hitung-hitung nyenangin suami. Duuuh, bahasamu Nauraaaa.
"Kayaknya gak ketolong lagi deh, Bang." Kataku prihatin. Kasian juga melihat peluh di wajah Bang Ravi. Kayaknya sudah sesorean ini dia mencoba memperbaiki printer papa walaupun banyakan ngerusak sih.
"Ganti baju."
Eh?
Bang Ravi berdiri. maksudnya apa?
"Ck. Masuk kamar, pake celana yang panjangan dikit."
Aku menunduk, memperhatikan apa yang salah dengan penampilanku, celana pendek diatas lutut sedikit, baju kaos kebesaran andalanku. semuanya baik-baik saja kok.
"Cepat!" Tak sabar Bang Ravi menarikku berdiri lalu mendorongku pelan. Meski sebal, ucapan suami harus dituruti, hiks kemerdekaanku terancam.
Aku keluar kamar setelah mengganti celana pendekku dengan celana kulot, ole-ole dari mama mertua. hihihi
"Udah?" Aku memutar badan ala ala disney di depan Bang Ravi, ia juga sudah mencuci muka dan tangannya.
"Ayo!"
"Kemana?" Aku berlari mengikuti langkah lebar Bang Ravi. Tak ada jawaban, seperti biasa.
Sebuah motor vespa tua milik Papa keluar dari Garasi.
"Kalian hati-hati di jalan."
Aku menoleh kebelakang dan mendapati my hero sedang ngeteh dengan santai. wah gawat, masa papa yang segede drum itu tidak kelihatan sih.
Aku berlari menghampiri Papa untuk menyalaminya.
"Itu motornya udah di servis, Pap?"
"Iya. Hati-hati. Jangan direpotin abangnya." Pesan papa. selalu saja. Apa aku sengerepotin itu ya?
"Iya, Pap." Aku mengangguk patuh lalu kembali menghampiri Bang Ravi.
"Pegangan." Katanya saat aku sudah duduk manis di belakangnya. Oke. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Bang Ravi, lingkaran penuh.
Selang beberapa saat motor belum juga jalan.
Kenapa sih? Apa rusak?
"Jalan, Bang." Kutepuk pundak Bang Ravi. lalu kulingkarkan lagi tangan di pinggang Bang Ravi.
"Harus nempel kayak gitu ya?" tanya Bang Ravi. Aku mengangguk, gak akan dilihat sama Abang sih.
"Ini pembalasan karena semalam Abang seenanknya melukin Naura." Biar impas. sesak sesak deh. Hahaha.
Bang Ravi menghebuskan nafas lelah. Makanya, pembalasan itu perih jendral. Motor kemudian melaju pelan melewati pekarangan rumah.
Waaah mantaplah ini angin sepoi-sepoi. Kueratkan lilitan tanganku di pinggang Bang Ravi, ia sempat menegang tapi tak akan kulepas wahai kamu yang berbaju merah. Punggung Bang Ravi kayaknya enak juga nih buat sandaran. Nyander aaaah.
Sandarable bangeeeet. Hangat.
---
Kak Naura boleh main keluar gak nih, Bang Ravi? 😋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Gak lembut2 nya dan romantis2 nya pada isteri ckk..
2024-09-19
0
Qaisaa Nazarudin
Saat anak perempuan sudah Menikah,Syurganya pada suami..
2024-09-19
0
Qaisaa Nazarudin
AKU BACANYA ALUR NOVEL INI JADI KEINGET SAMA NOVEL MIMIN SHINTA,JUFULNYA "LOVE ME PLEASE,UNCLE CAMAT.KISAH SALWA DENGAN TEUKU ZAKY, YG TERPAKSA LDRAN SETELAH NIKAH...
2024-09-19
0