Iblis Buta
Rombongan pedagang bergerak perlahan menyusuri kaki bukit di sekitar pegunungan Lawu, dua pedati yang di tarik oleh beberapa ekor kuda tampak menyusuri jalan berbatu di sekitar bukit dengan jurang dalam, di kiri kanan jalan.
Puluhan orang berbaju pangsi berwarna hitam, dengan celana sebatas lutut juga berwarna hitam, jalan di sekitar kedua pedati yang mereka kawal.
Sementara di depan pedati, seorang pria paruh baya dengan menunggang kuda berwarna hitam, memimpin rombongan sambil berjalan perlahan dengan kudanya.
Pria paruh baya itu bernama Ki Pranada, seorang ketua padepokan Tombak ireng.
Ki Pranada ketika berada di padepokan, di datangi oleh seorang pria tua yang memintanya untuk mengawal sang majikan, majikannya seorang pedagang dari kota Kediri.
Ki Pranada dengan Padepokan Tombak ireng memang sering mengawal para pedagang yang hendak bepergian, karena ia mengenal beberapa begal dan rampok di sekitar gunung Wilis.
“Baik, aku setuju Kisanak! Tetapi apa yang harus aku kawal dan berapa bayaran yang aku terima, serta kemana aku harus mengawal? Tanya Ki Pranada.
“Majikanku hendak berdagang di kerajaan Wengker! Ki Pranada hanya mengawal 2 pedati, 1 pedati hanya berisi majikanku, sedangkan 1 pedati memuat barang dagangan majikanku,” ucap Ki Sura, abdi dari pedagang yang bernama saudagar Arya.
Hmm!
“Ke kerajaan Wengker! Berarti harus memutar dan melalui gunung Lawu,” balas Ki Pranada.
“Daerah itu sangat berbahaya Kisanak, kalau hanya gunung Wilis, aku paham siapa begal dan rampok gunung di sini, tetapi begal gunung Lawu, aku masih belum mengetahui,” lanjut perkataan Ki Pranada.
“Tolonglah Kisanak! Aku sudah menghubungi beberapa Padepokan, tetapi mereka angkat tangan dan menyarankan untuk meminta bantuan kepada padepokan Tombak ireng,” ucap Ki Sura dengan mimik wajah memelas.
Setelah termenung agak lama, akhirnya Ki Pranada anggukan kepala.
“Baiklah Ki! Tetapi aku minta 5000 keping uang emas, bagaimana? Tanya Ki Pranada.
Raut wajah Ki Sura tampak pucat mendengar perkataan ketua padepokan Tombak ireng, ia tak menduga Ki Pranada meminta 5000 keping uang emas.
Karena jumlah yang di minta sangat besar, Ki Sura belum bisa memberi kesanggupan karena ia harus bertanya terlebih dahulu kepada majikannya.
Setelah sang majikan menyanggupi, akhirnya kesepakatan tercapai.
Kini mereka tengah melewati daerah di kaki gunung Lawu.
Ki Pranada angkat tangannya, ketika jalan yang mereka lalui memasuki daerah perbukitan, di sisi kanan dan terkadang di kiri jalan terdapat jurang yang amat dalam.
“Hati-hati! Sebentar lagi kita memasuki bukit setan, jangan bicara dan bertindak sembarangan,” ucap Ki Pranada.
Anak murid padepokan Tombak ireng anggukan kepala mendengar perkataan Sang guru.
Rombongan kembali berjalan perlahan memasuki bukit setan.
Ketika memasuki kawasan perbukitan, kembali Ki Pranada mengangkat tangan memberi isyarat kepada rombongan untuk berhenti.
“Sepertinya ada yang mengawasi,” batin Ki Pranada, kemudian ketua padepokan Tombak ireng mengambil tombak yang ia selipkan di pelana kuda.
Ki Pranada membuka mata tombak yang di bungkus dengan kain putih, mata tombak yang berwarna hitam, tampak setelah sarung di buka.
“Kisanak, kami mohon maaf jika mengganggu ketenteraman penunggu bukit setan! Kami hanya ingin lewat, dan kami akan memberikan 50 keping uang emas sebagai tanda persahabatan,” teriak Ki Pranada dengan mengerahkan ilmu penggetar sukma yang ia miliki, sehingga suara Ki Pranada berkumandang di seantero bukit setan.
Setelah suara Ki Pranada lenyap, suasana kembali hening.
Tak lama kemudian, terdengar suara tawa yang lebih keras dari suara Ki Pranada, suara tawa itu bahkan sampai menggetarkan bukit yang ada di dekat rombongan saudagar Arya.
Ha Ha Ha
“50 keping uang emas tidak ada artinya buatku,” teriak suara itu, setelah tertawa.
Ki Pranada terkejut karena tenaga dalam yang di miliki oleh orang itu lebih tinggi darinya, begitu pula semua rombongan anak buah Ki Pranada.
“Kangmas! Apa yang terjadi? Ucap seorang wanita cantik yang sedang memangku seorang bocah berusia 4 tahun.
“Diajeng tenang saja! Kita berdoa kepada yang kuasa, semoga Ki Pranada bisa mengatasi masalah ini,” jawab saudagar Arya kepada sang istri, berusaha menenangkan sang istri yang mulai terlihat cemas.
“Keluarlah Kisanak! Mari kita bicara baik – baik, aku Ki Pranada, ketua Padepokan Tombak ireng mohon bertemu.
Suara angin menderu setelah Ki Pranada berkata, entah dari mana datangnya, di depan Ki Pranada tampak seorang pria dengan wajah merah darah, bertelanjang dada, bertubuh tinggi kekar dan di lehernya tampak terhias kalung tengkorak yang terbuat dari kepala bayi, sambil membawa golok besar.
Raut wajah Ki Pranada berubah melihat orang itu.
“Dedemit gunung Wilis, Suto Abang,” batin Ki Pranada.
“Kenapa kau diam? Tanya Suto Abang.
“Maaf! Aku terkejut melihat di gunung Lawu bisa bertemu dengan saudara Suto Abang,” jawab Ki Pranada
“Aku baru membersihkan tempat ini dari keroco – keroco yang membikin muak, dan sepertinya tempat ini cocok untukku,” ucap Suto Abang.
“Selamat....Selamat buat saudara Suto! Jika memang sudah mendapatkan tempat yang cocok,” balas Ki Pranada.
“Terima kasih Ki! Tetapi membangun tempat membutuhkan biaya besar, aku harap Ki Pranada bisa menyumbang dana, buat pendekar miskin seperti aku ini,” Suto Abang kembali berkata.
Ketua padepokan Tombak ireng tersenyum kecut, mendengar perkataan momok dunia hitam gunung Wilis itu, niat sesungguhnya sudah di tebak, ia pasti ingin merampok barang bawaan saudagar Arya.
“Baiklah, kami akan memberikan seribu keping uang emas sebagai tanda penghormatan kami, tetapi ijin kan kami lewat! Karena kami ingin segera tiba ke kerajaan Wengker,” balas Ki Pranada.
Suto Abang menyeringai mendengar perkataan ketua padepokan Tombak ireng, kemudian berkata.
“Kalian boleh lewat, tapi tinggalkan kedua pedati itu.”
“Permintaan mu tidak bisa kami kabulkan Suto Abang,” kali ini wajah Ki Pranada berubah kelam, tubuhnya melesat dari kuda.
“Kangmas! Ningrum takut,” ucap wanita muda yang langsung memeluk sang anak.
“Diajeng harap tenang! Mari kita berdoa, agar selamat sampai tujuan,” ucap juragan Arya, kembali berusaha menenangkan istrinya.
Ki Sura yang menjadi kusir kereta juragan Arya, raut wajahnya terlihat pucat, semua murid padepokan Tombak ireng mulai berkumpul di sekeliling Suto abang.
Melihat anak murid padepokan Tombak ireng mengelilinginya.
Suto abang memutar golok besar, angin menderu dari putaran golok Suto abang, Aji Bayu abang yang menjadi salah satu andalan di salurkan ke arah putaran golok, angin berhawa panas berputar putar di sekitar tubuh Suto abang.
Murid padepokan Tombak ireng yang hendak menyerang Suto abang langsung mundur, saat merasakan angin panas menyelimuti tubuh Suto abang.
Ki Pranada melihat muridnya tak bisa mendekat, kemudian melesat sambil menusukkan tombak pusaka miliknya ke arah perut Suto abang.
Trang!
Golok Suto abang menangkis tusukan tombak milik Ki Pranada.
Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat, Ki Pranada dengan tombak irengnya, perlahan mulai mendesak Suto abang.
Ki Pranada langsung memainkan jurus andalannya, Tombak pitu.
Tombak hitam andalan ki Pranada menyerang Suto abang dengan cepat, tombak seperti menjadi tujuh, mengincar tujuh tempat di tubuh Suto abang.
“Wedus Gembel! Teriak Suto abang sambil lompat mundur, kemudian golok berputar di depan dada, berusaha menangkis serangan tombak ki Pranada.
Trang!
Golok Suto abang berhasil menangkis tombak ki Pranada.
Suto abang langsung membalas, tangan kanan Suto abang yang memegang golok, membacok ke arah kepala ki Pranada.
Ki Pranada terkejut, kemudian memalangkan tombak sambil menahan bacokan Suto abang.
Trang!
Percikan api terlihat saat kedua senjata bertemu, saking kerasnya bacokan Suto abang, tombak ki Pranada sampai melengkung ke bawah dan hampir menghantam kepala sendiri.
Ki Pranada entakkan kaki kanan ke tanah, sambil mengerahkan tenaga dalam, tombak berbalik menekan golok kembali ke atas.
Suto abang menyeringai, tangan kiri yang sudah di aliri aji Bayu abang menghantam ke arah dada ki Pranada
ketua padepokan Tombak ireng terkejut dan hanya bisa menatap tangan kiri Suto abang yang mengeluarkan angin panas ke arah tubuhnya.
Blar!
Tubuh ki Pranada terpental dan jatuh ke tanah, kulit ditubuh ki Pranada berubah merah, kulitnya melepuh dan sebagian mengelupas.
ketua padepokan Tombak ireng tewas mengenaskan.
Suasana gempar.
Beberapa murid langsung memburu ke arah ki Pranada, murid lainnya yang marah melihat kematian sang guru, langsung mengurung Suto abang.
Melihat Ki Pranada tewas, ki Sura tanpa ragu langsung membelokkan pedati, berusaha melarikan diri.
Sedangkan Suto abang menatap tajam ke arah sekeliling, saat dirinya di kurung oleh murid padepokan Tombak ireng.
Hati ki Sura sangat cemas, sambil memecut kuda sesekali menengok ke belakang.
Suara pertempuran terdengar jelas.
Ketika melihat ke belakang, Ki Sura melihat satu persatu murid padepokan Tombak ireng tengah di bantai oleh Suto abang, Ki Sura berkata dalam hati.
“Dasar iblis! Aku harus segera membawa juragan arya pergi dari sini! Sebelum terlambat.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
mania ijo
pertama kali baca novelnya bang Jack, katanya seru..
2024-02-13
1
Hydro7
Aku suka semua Novel Bang Jack mad, cuma dulu ada satu novel yg hiatus. Tolong lanjutin dong....
2024-01-20
0
sakura
..
2023-09-05
0