NovelToon NovelToon

Iblis Buta

Bab 1 : Prahara Di Bukit Setan

Rombongan pedagang bergerak perlahan menyusuri kaki bukit di sekitar pegunungan Lawu, dua pedati yang di tarik oleh beberapa ekor kuda tampak menyusuri jalan berbatu di sekitar bukit dengan jurang dalam, di kiri kanan jalan.

Puluhan orang berbaju pangsi berwarna hitam, dengan celana sebatas lutut juga berwarna hitam, jalan di sekitar kedua pedati yang mereka kawal.

Sementara di depan pedati, seorang pria paruh baya dengan menunggang kuda berwarna hitam, memimpin rombongan sambil berjalan perlahan dengan kudanya.

Pria paruh baya itu bernama Ki Pranada, seorang ketua padepokan Tombak ireng.

Ki Pranada ketika berada di padepokan, di datangi oleh seorang pria tua yang memintanya untuk mengawal sang majikan, majikannya seorang pedagang dari kota Kediri.

Ki Pranada dengan Padepokan Tombak ireng memang sering mengawal para pedagang yang hendak bepergian, karena ia mengenal beberapa begal dan rampok di sekitar gunung Wilis.

“Baik, aku setuju Kisanak! Tetapi apa yang harus aku kawal dan berapa bayaran yang aku terima, serta kemana aku harus mengawal? Tanya Ki Pranada.

“Majikanku hendak berdagang di kerajaan Wengker! Ki Pranada hanya mengawal 2 pedati, 1 pedati hanya berisi majikanku, sedangkan 1 pedati memuat barang dagangan majikanku,” ucap Ki Sura, abdi dari pedagang yang bernama saudagar Arya.

Hmm!

“Ke kerajaan Wengker! Berarti harus memutar dan melalui gunung Lawu,” balas Ki Pranada.

“Daerah itu sangat berbahaya Kisanak, kalau hanya gunung Wilis, aku paham siapa begal dan rampok gunung di sini, tetapi begal gunung Lawu, aku masih belum mengetahui,” lanjut perkataan Ki Pranada.

“Tolonglah Kisanak! Aku sudah menghubungi beberapa Padepokan, tetapi mereka angkat tangan dan menyarankan untuk meminta bantuan kepada padepokan Tombak ireng,” ucap Ki Sura dengan mimik wajah memelas.

Setelah termenung agak lama, akhirnya Ki Pranada anggukan kepala.

“Baiklah Ki! Tetapi aku minta 5000 keping uang emas, bagaimana? Tanya Ki Pranada.

Raut wajah Ki Sura tampak pucat mendengar perkataan ketua padepokan Tombak ireng, ia tak menduga Ki Pranada meminta 5000 keping uang emas.

Karena jumlah yang di minta sangat besar, Ki Sura belum bisa memberi kesanggupan karena ia harus bertanya terlebih dahulu kepada majikannya.

Setelah sang majikan menyanggupi, akhirnya kesepakatan tercapai.

Kini mereka tengah melewati daerah di kaki gunung Lawu.

Ki Pranada angkat tangannya, ketika jalan yang mereka lalui memasuki daerah perbukitan, di sisi kanan dan terkadang di kiri jalan terdapat jurang yang amat dalam.

“Hati-hati! Sebentar lagi kita memasuki bukit setan, jangan bicara dan bertindak sembarangan,” ucap Ki Pranada.

Anak murid padepokan Tombak ireng anggukan kepala mendengar perkataan Sang guru.

Rombongan kembali berjalan perlahan memasuki bukit setan.

Ketika memasuki kawasan perbukitan, kembali Ki Pranada mengangkat tangan memberi isyarat kepada rombongan untuk berhenti.

“Sepertinya ada yang mengawasi,” batin Ki Pranada, kemudian ketua padepokan Tombak ireng mengambil tombak yang ia selipkan di pelana kuda.

Ki Pranada membuka mata tombak yang di bungkus dengan kain putih, mata tombak yang berwarna hitam, tampak setelah sarung di buka.

“Kisanak, kami mohon maaf jika mengganggu ketenteraman penunggu bukit setan! Kami hanya ingin lewat, dan kami akan memberikan 50 keping uang emas sebagai tanda persahabatan,” teriak Ki Pranada dengan mengerahkan ilmu penggetar sukma yang ia miliki, sehingga suara Ki Pranada berkumandang di seantero bukit setan.

Setelah suara Ki Pranada lenyap, suasana kembali hening.

Tak lama kemudian, terdengar suara tawa yang lebih keras dari suara Ki Pranada, suara tawa itu bahkan sampai menggetarkan bukit yang ada di dekat rombongan saudagar Arya.

Ha Ha Ha

“50 keping uang emas tidak ada artinya buatku,” teriak suara itu, setelah tertawa.

Ki Pranada terkejut karena tenaga dalam yang di miliki oleh orang itu lebih tinggi darinya, begitu pula semua rombongan anak buah Ki Pranada.

“Kangmas! Apa yang terjadi? Ucap seorang wanita cantik yang sedang memangku seorang bocah berusia 4 tahun.

“Diajeng tenang saja! Kita berdoa kepada yang kuasa, semoga Ki Pranada bisa mengatasi masalah ini,” jawab saudagar Arya kepada sang istri, berusaha menenangkan sang istri yang mulai terlihat cemas.

“Keluarlah Kisanak! Mari kita bicara baik – baik, aku Ki Pranada, ketua Padepokan Tombak ireng mohon bertemu.

Suara angin menderu setelah Ki Pranada berkata, entah dari mana datangnya, di depan Ki Pranada tampak seorang pria dengan wajah merah darah, bertelanjang dada, bertubuh tinggi kekar dan di lehernya tampak terhias kalung tengkorak yang terbuat dari kepala bayi, sambil membawa golok besar.

Raut wajah Ki Pranada berubah melihat orang itu.

“Dedemit gunung Wilis, Suto Abang,” batin Ki Pranada.

“Kenapa kau diam? Tanya Suto Abang.

“Maaf! Aku terkejut melihat di gunung Lawu bisa bertemu dengan saudara Suto Abang,” jawab Ki Pranada

“Aku baru membersihkan tempat ini dari keroco – keroco yang membikin muak, dan sepertinya tempat ini cocok untukku,” ucap Suto Abang.

“Selamat....Selamat buat saudara Suto! Jika memang sudah mendapatkan tempat yang cocok,” balas Ki Pranada.

“Terima kasih Ki! Tetapi membangun tempat membutuhkan biaya besar, aku harap Ki Pranada bisa menyumbang dana, buat pendekar miskin seperti aku ini,” Suto Abang kembali berkata.

Ketua padepokan Tombak ireng tersenyum kecut, mendengar perkataan momok dunia hitam gunung Wilis itu, niat sesungguhnya sudah di tebak, ia pasti ingin merampok barang bawaan saudagar Arya.

“Baiklah, kami akan memberikan seribu keping uang emas sebagai tanda penghormatan kami, tetapi ijin kan kami lewat! Karena kami ingin segera tiba ke kerajaan Wengker,” balas Ki Pranada.

Suto Abang menyeringai mendengar perkataan ketua padepokan Tombak ireng, kemudian berkata.

“Kalian boleh lewat, tapi tinggalkan kedua pedati itu.”

“Permintaan mu tidak bisa kami kabulkan Suto Abang,” kali ini wajah Ki Pranada berubah kelam, tubuhnya melesat dari kuda.

“Kangmas! Ningrum takut,” ucap wanita muda yang langsung memeluk sang anak.

“Diajeng harap tenang! Mari kita berdoa, agar selamat sampai tujuan,” ucap juragan Arya, kembali berusaha menenangkan istrinya.

Ki Sura yang menjadi kusir kereta juragan Arya, raut wajahnya terlihat pucat, semua murid padepokan Tombak ireng mulai berkumpul di sekeliling Suto abang.

Melihat anak murid padepokan Tombak ireng mengelilinginya.

Suto abang memutar golok besar, angin menderu dari putaran golok Suto abang, Aji Bayu abang yang menjadi salah satu andalan di salurkan ke arah putaran golok, angin berhawa panas berputar putar di sekitar tubuh Suto abang.

Murid padepokan Tombak ireng yang hendak menyerang Suto abang langsung mundur, saat merasakan angin panas menyelimuti tubuh Suto abang.

Ki Pranada melihat muridnya tak bisa mendekat, kemudian melesat sambil menusukkan tombak pusaka miliknya ke arah perut Suto abang.

Trang!

Golok Suto abang menangkis tusukan tombak milik Ki Pranada.

Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat, Ki Pranada dengan tombak irengnya, perlahan mulai mendesak Suto abang.

Ki Pranada langsung memainkan jurus andalannya, Tombak pitu.

Tombak hitam andalan ki Pranada menyerang Suto abang dengan cepat, tombak seperti menjadi tujuh, mengincar tujuh tempat di tubuh Suto abang.

“Wedus Gembel! Teriak Suto abang sambil lompat mundur, kemudian golok berputar di depan dada, berusaha menangkis serangan tombak ki Pranada.

Trang!

Golok Suto abang berhasil menangkis tombak ki Pranada.

Suto abang langsung membalas, tangan kanan Suto abang yang memegang golok, membacok ke arah kepala ki Pranada.

Ki Pranada terkejut, kemudian memalangkan tombak sambil menahan bacokan Suto abang.

Trang!

Percikan api terlihat saat kedua senjata bertemu, saking kerasnya bacokan Suto abang, tombak ki Pranada sampai melengkung ke bawah dan hampir menghantam kepala sendiri.

Ki Pranada entakkan kaki kanan ke tanah, sambil mengerahkan tenaga dalam, tombak berbalik menekan golok kembali ke atas.

Suto abang menyeringai, tangan kiri yang sudah di aliri aji Bayu abang menghantam ke arah dada ki Pranada

ketua padepokan Tombak ireng terkejut dan hanya bisa menatap tangan kiri Suto abang yang mengeluarkan angin panas ke arah tubuhnya.

Blar!

Tubuh ki Pranada terpental dan jatuh ke tanah, kulit ditubuh ki Pranada berubah merah, kulitnya melepuh dan sebagian mengelupas.

ketua padepokan Tombak ireng tewas mengenaskan.

Suasana gempar.

Beberapa murid langsung memburu ke arah ki Pranada, murid lainnya yang marah melihat kematian sang guru, langsung mengurung Suto abang.

Melihat Ki Pranada tewas, ki Sura tanpa ragu langsung membelokkan pedati, berusaha melarikan diri.

Sedangkan Suto abang menatap tajam ke arah sekeliling, saat dirinya di kurung oleh murid padepokan Tombak ireng.

Hati ki Sura sangat cemas, sambil memecut kuda sesekali menengok ke belakang.

Suara pertempuran terdengar jelas.

Ketika melihat ke belakang, Ki Sura melihat satu persatu murid padepokan Tombak ireng tengah di bantai oleh Suto abang, Ki Sura berkata dalam hati.

“Dasar iblis! Aku harus segera membawa juragan arya pergi dari sini! Sebelum terlambat.”

Bab 2 : Tewasnya keluarga Pedagang Muda

Ki Sura terus memecut kuda.

Pedati yang di tumpangi oleh juragan Arya dan sang istri beserta anaknya yang terus memeluk sang ibu, melesat cepat di jalan berbatu.

Suto abang terus memutar goloknya, membacok murid padepokan Tombak ireng.

Satu persatu anak murid padepokan Tombak ireng tewas.

Melihat satu pedati melarikan diri, Suto abang melemparkan golok besarnya sambil melesat ke arah Pedati.

Brak!

Golok menghantam roda pedati sampai hancur, suara teriakan dari dalam pedati terdengar saat pedati dalam keadaan miring, masih terus melesat.

Ki Sura langsung menarik tali kekang kuda, saat menoleh ke belakang dan melihat roda pedati hancur.

Wajah abdi tua juragan Arya terkejut, apalagi melihat Suto abang perlahan mendekat.

Setelah dekat, tangan kanan Suto abang kembali menghantam ke arah roda pedati yang tersisa.

Pedati berhenti, karena kuda tak kuat menarik pedati yang tanpa roda, serta tarikan tali kekang kuda yang di pegang Ki Sura.

Ki Sura turun sambil menenteng golok, begitu juga dengan saudagar Arya yang membuka pintu pedati, dan membantu sang istri keluar dari dalam pedati.

Istri Juragan Arya terus mendekap sang anak sambil terus mundur, sementara juragan Arya berdiri di depang sang istri, sambil mencabut keris yang ada di pinggang.

Sebelah kiri jalan terdapat jurang, sementara kanan jalan berupa dinding bukit yang menjulang tinggi.

Perlahan Suto abang mendekat, raut wajahnya terlihat menakutkan ketika menatap ke arah juragan Arya.

“Ambil semua yang kau mau Kisanak, tapi jangan ganggu kami,” ucap Ki Sura.

“Sudah terlambat,” Suto abang membalas perkataan Ki Sura.

Kemudian Suto abang mengambil golok besarnya dan langsung membacok ke arah Ki Sura.

Ki Sura menangkis bacokan Suto abang, tetapi goloknya terlepas, saking kerasnya hantaman golok Suto abang.

Sebelum Ki Sura bergerak, tangan kiri Suto abang langsung melesat ke arah leher Ki Sura.

Crep....krek!

Setelah berhasil mencengkeram, Suto abang langsung mematahkan tulang leher Ki Sura.

Juragan Arya melihat abdinya tewas mengenaskan, loncat sambil menusukkan keris.

Golok Suto abang melesat dan menghantam ke arah keris juragan Arya, pedagang muda yang hanya tahu berdagang tanpa memperdalam ilmu kanuragan itu, kerisnya terpental terkena sabetan golok.

Tanpa basa basi, golok besar Suto abang melesat ke arah leher juragan Arya.

Sret!

Kepala juragan Arya putus, tubuhnya langsung ambruk ke tanah, tewas dengan tubuh tanpa kepala.

Ningrum melihat suaminya tewas dengan cara yang mengenaskan menjerit dan meraung, sambil mendekap sang buah hati, Ningrum mendekati tubuh sang suami yang tanpa kepala.

“Diam kau, berisik! Teriak Suto abang.

Mendengar perkataan Suto abang, Ningrum langsung berdiri, dengan tangan kanan menggendong serta memeluk sang putra, tangan kirinya menunjuk ke arah Suto abang.

“Dasar iblis! Apa salah keluarga kami, sehingga memperlakukan kami seperti ini,” teriak Ningrum.

Sementara sang putra seperti mengerti akan bahaya, bocah itu diam di pelukan sang ibu, sambil berbisik, “Ibu, Aria takut.”

“Wajahmu cantik dan suamimu tampan, tangis bocah yang ada di pelukanmu sepertinya anak laki-laki tampan, karena suaranya seperti tidak kenal takut.

“Berikan bocah itu padaku, dan kau akan ku biarkan hidup,” ucap Suto abang.

Ningrum langsung mundur sambil mendekap erat anaknya, begitu mendengar perkataan Suto abang.

“Mau apa kau? Tanya Ningrum.

“Anakmu akan ku jadikan gemblak jika sudah besar,” ucap Suto abang sambil terkekeh.

“Kau....kau, dasar iblis! teriak Ningrum mendengar maksud Suto abang.

Ningrum terus mundur melihat Suto abang mendekat.

“Kangmas Arya, tunggu aku dan anak kita,” Ningrum berkata dalam hati.

Tanpa pikir panjang, ibu muda itu sambil mendekap sang buah hati, langsung loncat ke jurang yang ada di belakangnya.

“Maaf kan ibu, Nak! Bisik Ningrum sambil mendekap sang buah hati.

“Ibu,” bisik Aria tanpa tahu apa yang terjadi, sambil terus memeluk erat sang ibu.

Suto abang melesat, tangan kirinya sudah memegang tali yang ujungnya di beri bandul kepala tengkorak bayi.

Tali bergerak cepat ke arah Aria.

Sret!

Setelah tali membelit badan, tubuh Aria seperti di sentak kan ke atas, terlepas dari pelukan sang Ibu.

Ningrum hanya bisa menjerit melihat sang putra melesat ke atas dimana Suto Abang tengah menunggu.

Tidak….!?

Suara teriakan Ningrum terdengar memilukan.

Tubuhnya terhempas menimpa pepohonan yang banyak terdapat di dasar jurang.

Krak….Krek….Brak!

Ningrum menjerit, ketika tubuhnya menghantam dahan besar, beberapa tulang rusuknya langsung patah.

Tubuh Ningrum kembali terhempas, menimpa dahan-dahan kecil, dan akhirnya jatuh ke tanah.

“Anak….Anakku!

Suara Ningrum terdengar pelan, dengan tangan menggapai ke arah atas bukit, seakan berusaha meraih sang buah hati.

kepala Ningrum langsung terkulai, dari mulutnya keluar darah segar.

Ningrum tewas dengan beberapa tulang di tubuhnya patah.

Sementara Aria yang berhasil di selamatkan oleh Suto Abang sebelum jatuh ke jurang, kini berada di dalam pelukan Dedemit gunung Wilis.

Raut wajah Suto Abang berubah setelah melihat mata Aria.

“Kau….kau buta! Seru Suto Abang.

“Lepas….lepaskan aku! Ucap Aria sambil meronta dalam pelukan Suto Abang.

Karena lengah, ketika Aria meronta ke atas, tanpa sengaja mulut Aria sampai di telinga kiri Suto Abang.

Tanpa ragu Aria langsung menggigit bagian bawah telinga Suto Abang.

Auuughh!

Suto Abang menjerit, saat gigitan Aria dengan sekuat tenaga, membuat bagian bawah telinga Suto Abang putus, darah menyembur membasahi wajah Aria, di mulut sang bocah masih tampak putusan telinga Suto Abang.

Tangan Kanan Suto Abang meraih kepala Aria.

Aria meronta-ronta, kepalanya terasa sakit akibat cengkeraman tangan Suto Abang.

“Berani sekali kau menggigit telingaku,” dengus Suto Abang sambil menahan sakit di telinga kirinya yang putus.

“Bocah keparat! Hanya dengan melihat matamu, nafsuku langsung hilang.

Rupanya kau menjadi iblis buta, untuk menemani kedua orang tuamu,” lanjut perkataan Suto Abang, sambil tangannya mulai mengeraskan cengkeraman.

Suto Abang ingin bocah yang telah menggigit telinganya, agar merasakan sakit terlebih dahulu, sehingga cengkeramannya tidak langsung menggunakan tenaga, tetapi meremas perlahan untuk menghancurkan kepala Aria.

Kulit wajah Aria mulai berubah merah, mata kuningnya tampak bersinar, saat Suto Abang mulai meremas kepalanya.

Di saat genting, ketika Suto Abang hendak meremukkan kepala Aria.

Sebutir batu kecil melesat menghantam pergelangan tangan kanan Suto Abang.

Shing….Tak!

Arrrgh!

Jeritan lirih terdengar dari mulut Suto Abang, saat batu tepat mengenai pergelangan tangannya.

Suto Abang langsung melepaskan cenkeraman, tangan kanannya terasa lumpuh.

Saat terbebas dari cengkeraman Suto Abang, Aria hanya berdiri, karena bocah itu tidak tahu kemana harus pergi.

Suto Abang semakin kesal, kemudian tangan kiri menghantam ke arah kepala Aria, menggunakan pukulan Bayu abang.

Whut!

Saat hantaman tangan Suto Abang hendak mengenai kepala Aria.

Tiba-tiba di samping Aria berdiri seorang kakek kurus berwajah bengis dengan sorot mata tajam, serta kulit wajah berwarna hitam, menangkis hantaman Suto Abang.

Blar!

Suto Abang terpental akibat benturan tenaga dalam, dari sudut bibirnya meleleh darah segar, tanda luka dalam.

Suto Abang terkejut, lalu berdiri.

Tetapi setelah melihat wajah kakek, yang dengan santai menangkis hantaman Aji Bayu abang miliknya.

Raut wajah Suto Abang berubah pucat seperti melihat setan di siang hari, tanpa melihat kiri kanan dan memperdulikan luka dalam yang ia derita, Suto Abang langsung pergi melarikan diri.

Kakek berwajah bengis yang menangkis pukulan Suto Abang hanya mendengus, kemudian berkata dalam hati, saat melihat Suto Abang melarikan diri begitu melihatnya.

“Sepertinya dia kenal denganku.”

Bab 3 : Kakek Misterius

Suto Abang bukannya pengecut, tetapi melihat kakek yang berdiri di samping si bocah, walau bagaimanapun ia harus melarikan diri.

Suto Abang masih ingat saat ia berguru di sebuah padepokan terkenal di timur jawa, baru 2 tahun ia berguru, ketua serta padepokan tempat ia berguru habis di obrak abrik oleh lelaki berwajah bengis dengan kulit hitam yang tadi menyerangnya, ketua padepokan tempatnya berguru juga tewas oleh orang itu, Suto Abang selamat karena waktu itu ia pura pura tewas di dalam padepokan.

Setelah geger, akhirnya Suto Abang tahu siapa orang yang menyerang padepokannya, Kakek itu di kenal jago yang tidak tertandingi di timur Jawa.

Setelah membuat geger tanah Jawa, kakek itu menghilang, dan kini ia berada di depan Suto Abang.

Suto Abang sangat takut karena ia tahu, kakek itu tidak segan-segan membunuh jika ia tidak suka terhadap orang yang di lihatnya.

***

“Nak! Kau bersama siapa, dimana ayah ibumu? Tanya Kakek itu.

Aria saat mendengar suara berbeda dari yang tadi, melangkah mundur sambil menggoyangkan kedua tangan.

“Pergi….pergi kau!

Kakek berwajah hitam kerutkan kening, melihat mata Aria.

Hmm!

“Ternyata ia buta, tetapi seperti ada yang aneh dengan warna matanya itu,” si kakek berkata dalam hati.

“Di sini sudah tidak ada siapa-siapa lagi, apa kau mau ikut denganku? Tanya si kakek.

Aria anggukan kepala mendengar perkataan lembut si kakek, tetapi Aria bergerak ke arah bibir jurang sambil berteriak, “Ibu….ibu.”

Kakek berpakaian hitam langsung menyambar tubuh Aria, kemudian melesat terjun ke jurang, sambil terkadang kakinya seperti berlari di dinding bukit yang ada di sekitar jurang bukit setan.

***

Kini bocah yang di temukan oleh si kakek sudah berusia 10 tahun, kondisi badan sang bocah sangat kuat, karena si bocah selalu makan dan minum berbagai makanan yang di suguhkan tanpa bertanya makanan apa yang telah ia makan.

Tetapi mata sang bocah bernama Aria, tetap terlihat berwarna kuning ke emasan, berbagai cara dan upaya di lakukan oleh si kakek, dari obat-obatan sampai buah mukjizat berusia ratusan tahun untuk mengobati, tetapi si bocah tetap tidak bisa melihat.

Si kakek selama tinggal bersama, hanya menyuruh Aria duduk di dekat air terjun, serta mengajari bahasa yang biasa di pakai sehari hari, tetapi butuh kesabaran serta ke ahlian tingkat tinggi untuk mengajarkan semua itu, karena kondisi si bocah yang tidak bisa melihat, tetapi berkat perhatian dan ketekunan si kakek, perlahan sang bocah mengerti dan bisa mempelajari apa yang ia ajarkan.

Ketika sehabis keliling hutan dan banyak mendapat buah untuk makanan sehari – hari, keduanya duduk berhadapan di dalam goa.

“Nak! Tidak terasa sudah 6 tahun kau bersamaku, apa kau ingin belajar ilmu silat dengan sungguh-sungguh? Tanya si Kakek, kepada bocah yang kini sudah remaja, tengah duduk di depannya.

“Terserah kakek saja,” jawab sang bocah.

Kakek berwajah bengis kerutkan kening, “memangnya kau tidak ada niat untuk belajar silat? Si kakek bertanya, setelah mendengar jawaban Aria.

“Apa orang buta sepertiku bisa belajar silat? Kali ini Aria balik bertanya.

“Tentu saja bisa! Aku yang akan melatihmu, tapi ingat! Kau tidak boleh membantah yang aku perintahkan.

Aria diam mendengar perkataan si kakek, tetapi akhirnya kepala Aria mengangguk.

Setelah Aria mau belajar silat, si kakek lalu membicarakan sesuatu yang selalu mengganjal hatinya mengenai nama sang bocah.

“Namamu sangat pendek jika hanya Aria, bagaimana kalau di tambah lagi? Ucap si kakek saat keduanya menikmati buah yang tadi mereka petik, “bagaimana menurutmu? ucap Si kakek ketika tak mendengar perkataan Aria.

“Terserah kakek saja! Kembali Aria berkata dengan perkataan yang sama.

Phuih!

“Bocah gila! Di tanya hanya itu saja jawabanmu,” dengus Si kakek dengan nada kesal.

“Baiklah! Sekarang namamu Aria Pilong.” Lanjut perkataan si kakek masih dengan raut wajah cemberut.

“Baik kek! Namaku di tambah Pilong,” ternyata setelah di dengar, nama Aria Pilong di sukai oleh si bocah.

Aria sangat suka dengan nama barunya.

“Aria! Selama ini kakek selalu menyuruhmu bersemadi di dekat air terjun yang ada di lembah, apa kau sudah paham maksud tujuan kakek?

“Untuk melatih pendengaranku,” jawab Aria.

Si kakek anggukan kepala mendengar perkataan Aria, kemudian berkata kembali.

“Bukan hanya itu, tetapi juga untuk meningkatkan tenaga lahir dan batinmu.

“Aku juga sering melatihmu di antara tumpukan bangkai binatang dan terkadang di antara bunga serta buah yang mempunyai bau yang amat tajam, karena hal itu sangat berguna untuk melatih penciumanmu,” kembali si kakek berkata.

“kalau kau bisa melihat, mungkin sekarang kau sudah kulatih dengan ilmu yang aku miliki, tetapi karena keadaanmu yang buta, aku harus merubah ilmu serta membimbingmu dengan cara berbeda, tidak seperti orang normal yang bisa melihat.”

“Aku mengerti apa maksud kakek,” jawab Aria.

Kakek berwajah bengis menarik napas panjang, seperti hendak melepaskan beban berat, sebelum bicara.

“Aku mau menceritakan sebuah kisah kepadamu.

“Dahulu ada seorang pemuda bernama Suro Keling, pemuda pilih tanding yang selalu bertindak semaunya, apapun yang Suro inginkan, pasti akan ia lakukan.

“Kegemarannya dalam ilmu kanuragan membuat Suro Keling keliling negeri untuk mencari musuh, dan ia selalu berhasil mengalahkan musuh – musuhnya.

Suro keling menjadi sombong karena tidak ada lawan dan mulai bertindak semaunya, membunuh serta membuat onar selalu ia lakukan.

Tetapi ketika Suro keling menghadapi ujian yang bernama wanita, pemuda itu kalah total dan akhirnya jatuh ke dalam jurang kehancuran.

“Wanita itu apa Kek? Apa dia juga ber ilmu tinggi kek? Tanya Aria.

“Wanita itu tidak mempunyai ilmu,” jawab si kakek, “tetapi ia memiliki paras yang cantik seperti bidadari, tubuhnya wangi kembang setaman, membuat Warok Suro Keling yang di takuti akhirnya bertekuk lutut di bawah kaki wanita itu.

“Tetapi Suro keling tidak tahu, bahwa wanita itu sebenarnya adalah seseorang utusan yang di kirim oleh musuh-musuh yang membenci untuk melemahkan Suro Keling.

“Keduanya lalu tinggal bersama, hari berganti dan waktu berlalu, Suro Keling akhirnya mencium gelagat tidak beres, karena semakin hari tubuhnya terasa lemas.

“Setelah diam – diam mencari tahu, akhirnya Suro Keling tahu bahwa makanan serta minumannya setiap hari di beri racun oleh wanita itu, untuk melemahkan dirinya.

“Suro Keling kemudian memaksa sang wanita untuk memberitahu, siapa yang telah merencanakan semua itu terhadap dirinya.

“Setelah didesak, akhirnya wanita itu mengatakan, bahwa 3 padepokan terbesar di tanah Jawa yang merasa sakit hati, yang merencanakan semua ini, karena ketiga ketua mereka telah di kalahkan oleh Suro keling.

“Suro keling yang marah akhirnya membunuh wanita yang ia cintai, beserta ketiga padepokan yang telah merencanakan siasat keji, ia hancurkan, semua murid serta guru padepokan ia bunuh.

“Dunia persilatan geger dan mulai bersatu, hampir setiap hari Suro keling di buru, tetapi ia berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.

“Seiringnya waktu berjalan, Suro keling sadar dan bosan membunuh, jiwanya selalu tidak tenang dan tenggelam dalam penyesalan yang mendalam, karena gelap mata membunuh wanita yang ia cintai, akhirnya Suro keling memutuskan untuk menghilang dari dunia persilatan, serta merenungi dosa yang telah ia perbuat.

“Apa sekarang kakek sudah merenungi, dan sadar dengan apa yang telah kakek lakukan selama ini? Tanya Aria.

“Apa maksudmu? Si kakek balik bertanya, sambil menatap Aria dengan kening berkerut.

“Suro keling yang terkenal dan kini duduk di hadapanku, apakah dia sudah merenungi apa yang telah ia lakukan? Kembali Aria mengulangi pertanyaannya.

“Aku kakekmu! Bukan Suro Keling,” si kakek berkata, kali ini nada suaranya mulai tinggi.

“Lantas kenapa kakek mengeluarkan air mata, sewaktu bercerita? Tanya Aria.

Phuih!

“Siapa bilang aku menangis? Ucap Pertapa gila, sambil menatap tajam ke arah kedua mata berwarna kuning ke emasan yang di miliki Aria Pilong.

“Siapa yang bilang kakek menangis? Aku hanya bilang kakek mengeluarkan air mata.

Kakek juga berbicara dengan nada sedih, sebab sewaktu kakek bicara, napas kakek memburu, itu tanda kakek memang mengalami kejadian itu.

“Jadi....jadi kau tahu aku mengeluarkan air mata? Tanya Pertapa gila.

“Tadi sih belum! kalau sekarang sudah tahu, kan barusan kakek sendiri yang mengatakannya,” jawab Aria Pilong.

Raut wajah pertapa gila terkejut dan tak menyangka bahwa ia sudah tertipu oleh permainan kata-kata yang di ucapkan Aria.

Setelah sadar bahwa dirinya tertipu dan membuka kedok sendiri, Pertapa gila akhirnya tertawa dan berkata.

Ha Ha Ha

“Aria Pilong! kau pantas di sebut Iblis buta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!