Gadis yang tengah kesal terus berlari.
Keringat mengucur dari seluruh tubuhnya, karena menggendong Aria.
Sebelum malam tiba, gadis itu sampai di padepokan Wisanggeni.
Brak!
Aria di banting ke bale-bale yang terbuat dari bambu, di belakang gedung padepokan Wisanggeni.
“Keparat! Sudah buta, berat, bikin repot orang saja,” gerutu si gadis sambil mengambil kendi berisi air.
Seorang kakek berpakaian hitam menghampiri si gadis yang tengah minum air dari kendi.
“Wulan! Sudah berapa hari kau pergi dari padepokan? Tanya si kakek.
Ehm!
“Sudah berapa hari ya? Ucap gadis itu, sambil jarinya mengetuk-ngetuk sisi kepala.
“Mana….mana raja ular pesananku? Balas si kakek sambil menyodorkan tangannya ke arah si gadis.
“Kakek ini mau tanya yang mana sih? Berapa hari atau Raja ular? Si gadis yang di panggil Wulan dengan nada gusar balik bertanya.
“Raja ular saja….mana….mana? Balas si Kakek kembali menyodorkan tangan.
“Itu! Seru Wulan sambil menunjuk ke arah Aria.
“Apa! Kau jangan main-main dengan kakek,” balas si kakek yang merupakan ketua padepokan Wisanggeni, Ki Birawa, melihat cucunya malah menunjuk ke arah seorang pria yang tengah terlungkup di atas bale bambu.
“Aku berhasil mendapatkan raja ular kalau tidak ada dia kek! Ucap Wulan.
“Aku tak mengerti maksudmu, apa hubungannya raja ular dengan pemuda itu? Tanya Ki Birawa.
Wulan kemudian menceritakan kejadian, kenapa ia sampai gagal mendapatkan raja ular.
“Lalu kenapa orang itu kau bawa kesini? Tanya Ki Birawa.
“Biar kakek percaya, bahwa aku sudah berhasil kalau tidak ada pemuda itu,” jawab Wulan.
“Dia buta kek! bisik Wulan.
“Lantas kau tuntun dia kesini? Kembali Ki Birawa bertanya setelah mendengar perkataan Wulan sambil kerutkan kening.
“Aku kesal kepadanya kek! Aku racun dia dengan racun penidur, lalu aku gendong dia kesini,” jawab Wulan.
Ki Birawa menatap ke arah Aria yang masih terbaring di bale bambu.
“Kau yakin dia buta? Tanya Ki Birawa.
“Yakin Kek! Itu tongkat yang membantunya berjalan, masih dia pegang,” Jawab Wulan.
Hmm!
“Bukan itu! Kau yakin dia terkena racun penidurmu? Tanya Ki Birawa sambil melirik ke arah Aria.
“Apa maksud kakek? Wulan balik bertanya dengan raut wajah bingung.
“Kau lihat! Mana ada orang tak sadarkan diri, tangannya terus memegang tongkat,” jawab Si Kakek.
Raut wajah Wulan berubah, mendengar perkataan Ki Birawa, Wulan menyadari ada sesuatu dari perkataan kakeknya, Wulan kemudian menatap ke arah Aria.
“Hai buta! Kau benar tak sadar kan diri atau hanya pura-pura? Tanya Wulan dengan nada gusar, di tangan kanan Wulan sudah tampak menggenggam pisau kecil, siap menyerang.
Aria yang tengah berbaring mendengar perkataan keduanya, kemudian bangun dan duduk di bale bambu sambil memegang tongkat kayu cendana.
“Terima kasih nona! Karena sudah susah payah membawa aku keluar dari hutan kali mati,” ucap Aria sambil tersenyum.
“Jadi….jadi kau menipuku? Tanya Wulan dengan wajah geram.
Saat Wulan hendak bergerak ke arah Aria, tangannya di pegang oleh Ki Birawa.
“Tunggu dulu! Seru Ki Birawa sambil memberi isyarat mata kepada Wulan.
“Anak muda! Apa maksudmu mengerjai cucuku? Tanya Ki Birawa dengan sorot mata tajam, sambil sesekali melirik ke arah tongkat kayu cendana yang sekarang berubah warna menjadi hijau.
“Maaf kan aku Ki, bukan maksudku mengerjai cucu kisanak, aku hanya ingin keluar dari hutan kali mati dan cucu kakek adalah jalan keluarnya,” jawab Aria.
“Dasar buta keparat!? Wulan berkata, mengingat penderitaannya menggendong pemuda itu.
“Siapa kau anak muda? Aku yakin kau bukan orang sembarangan, tidak mungkin orang buta bisa berkeliaran di hutan kali mati,” ucap Ki Birawa dengan pandangan curiga.
“Aku benar orang biasa Ki, aku masuk ke hutan kali mati karena tersesat, salah mendengar petunjuk orang,” jawab Aria.
Hmm!
“Kau bisa saja berkelit anak muda! Tetapi tongkat kayu cendana milikmu tak bisa mengelabui aku,” ucap Ki Birawa sambil menatap sinis ke arah Aria.
“Sudahlah kek, Lebih baik kita sudahi masalah ini, aku minta maaf! Bukan maksudku untuk mengerjai cucu kakek, tetapi cucu kakek sendiri yang telah meracuni aku,” balas Aria.
Ki Birawa menarik napas panjang, ia tahu Aria bukan pemuda sembarangan, apalagi setelah melihat bahwa tongkat yang di pegang oleh pemuda itu mempunyai aura berbeda.
“Lain kali, jika kau ingin meracuni orang, kau lihat dulu! Jika orang itu membawa tongkat kayu cendana seperti pemuda ini, percuma saja, karena racun yang kau sebar akan terserap oleh tongkat itu,” Ki Birawa berkata kepada Wulan.
“Kita sudahi urusan ini,” lanjut perkataan Ki Birawa.
“Anak muda! jika boleh, aku ingin membeli tongkatmu, bagaimana? Tanya Ki Birawa.
“Maaf Ki, tongkat ini pemberian kakekku, tidak di jual,” jawab Aria.
Ki Birawa menghela napas mendengar perkataan Aria, kemudian kakek itu mulai cerita.
“Padepokan Wisanggeni sedang menghadapi masalah, padepokan kami terkenal dengan keahlian menggunakan racun, tetapi kami bukan aliran hitam, karena kami mengolah racun untuk bertahan hidup dan mengobati orang melalui racun.
“Tetapi sudah beberapa hari kebelakang, kami selalu di ganggu oleh padepokan Tapak suci,” ucap Ki Birawa dengan nada gundah.
“Apa sebabnya Ki? Tanya Aria merasa penasaran.
“Padepokan kami dimintai tolong oleh keluarga pedagang besar, pedagang bernama juragan Mahendra terkena pukulan beracun, saat hendak berdagang ke wilayah Wengker.
“Pihak kami akhirnya menyetujui, Wisesa ayah Wulan pergi ke Wengker untuk mengobati Mahendra, tetapi racun sudah menyebar, dan akhirnya Mahendra tewas.
“Keluarga Mahendra tidak bisa menerima kematian Mahendra, kakak Mahendra ternyata adalah Mahesa, ketua padepokan Tapak suci.
“Mahesa bilang kami tidak becus mengobati dan menyebut padepokan kami dari aliran hitam.
“Tetapi ada yang janggal dalam hal ini, menurut surat Wisesa yang di kirim ke aku sebelum dirinya di tawan, Mahendra terkena tapak beracun dari perguruan Tapak suci.
“Tetapi sebelum Wisesa membuktikan, ia keburu di tangkap oleh Mahesa, sejak itu mereka memberikan waktu kepada kami dalam sebulan ini, untuk menukar padepokan Wisanggeni dengan Wisesa yang sedang mereka tahan.
“Kalau kami tidak setuju, padepokan tapak suci, padepokan Tombak terbang serta padepokan Baju merah akan mengambil paksa padepokan Wisanggeni dan membunuh kami semua, dengan alasan kami berasal dari aliran hitam.
“Oleh sebab itu aku menyuruh Wulan untuk mencari raja ular merah ke hutan kali mati, untuk membuat racun Rogo pati untuk membunuh mereka jika berani datang ke padepokan Wisanggeni,” Ki Birawa menarik napas dalam-dalam setelah cerita, seperti hendak melepaskan beban berat dari pundaknya.
“Maafkan Wulan kek! Gara-gara Wulan tidak bisa menangkap raja ular, padepokan Wisanggeni dalam bahaya,” Wulan menimpali cerita Ki Birawa dengan nada sedih.
“Lalu untuk apa tongkat kayu cendana milikku ini? Tanya Aria.
“Serbuk cendana berusia ribuan tahun, bisa di pakai menjadi campuran racun ucapan Dewa,” jawab Ki Birawa.
“Racun ucapan Dewa? Ucap Aria sambil kerutkan kening tak mengerti.
“Orang yang terkena racun ucapan dewa akan berkata jujur dan tak bisa menyembunyikan rahasia yang ada di dalam diri orang itu.
“Mahesa adalah orang yang licik, jika aku berhasil memberi racun ucapan Dewa dan mengungkap kebenaran dari mulutnya, padepokan Baju merah pasti akan berbalik membantu padepokan Wisanggeni.
“Jika dua lawan dua, padepokan Wisanggeni bisa bertahan, tapi jika tidak! Terpaksa kami akan bertempur hidup atau mati, untuk mempertahankan diri dan keyakinan.
Aria menarik napas mendengar perkataan Ki Birawa.
“Kalau hanya serbuk cendana dari tongkatku, aku bisa memberikannya.” Ucap Aria.
Cis!
“Hanya tongkat saja pelit, aku belikan kau tongkat lebih bagus dari itu,” ucap Wulan.
Aria setelah mendengar perkataan gadis itu, kemudian membalasnya.
“Kau kerik saja tongkat yang kau beli, untuk membuat racun.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Dragon🐉 gate🐉
heh.. Aria di ajak debat, kau kena mental lah..
2024-08-31
0
Dragon🐉 gate🐉
Aria be like: makasih ya Wulan udh mau jd kendaraan gratiis🤣
2024-08-31
0
PANT GAME
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2022-09-11
2