Wulan tak mengerti dengan tujuan kakeknya yang tengah memegang tongkat Aria.
Beberapa murid Ki Birawa di suruh membawa kemenyan serta wadah untuk membakar kemenyan tersebut.
“Untuk apa kemenyan ini Kek? Tanya Wulan.
“Kau lihat saja, jangan banyak tanya,” jawab Ki Birawa.
Ki Birawa setelah berkenalan dengan Aria dan melihat mata pemuda itu, sudah bisa menebak, bahwa pemuda itu bukan pemuda sembarangan, apalagi setelah memegang tongkat dan merasakan aura ghaib yang ada di dalam tongkat milik Aria, Ki Birawa yakin tongkat cendana milik Aria pasti bukan tongkat sembarangan.
Ki Birawa mengangkat tongkat sambil memutar-mutar tongkat diatas wadah tempat membakar kemenyan.
Bau wangi kemenyan menyebar di dalam ruangan, setelah kemenyan terbakar, dan asap kemenyan tampak bergulung dan menyelimuti tongkat milik Aria.
Mata Wulan melotot melihat asap bergulung di sekitar tongkat.
Nyi Selasih sangat senang setelah membaui wangi kemenyan, dan terus menghisap sari asap kemenyan.
Nyi Selasih sudah di beri bisikan oleh Aria untuk tidak bertindak gegabah, karena ia ingin tahu, apa perkataan Ki Birawa tentang padepokan Wisanggeni, benar.
Setelah asap kemenyan sudah mulai berkurang, Ki Birawa mulai mengerik tongkat kayu cendana dengan pisau kecil yang sudah ia siapkan.
Kembali Wulan terkejut, melihat keanehan yang terjadi saat kakeknya mengerik tongkat milik Aria.
Ki Birawa mengerik tongkat bersisik, setelah serbuk kayu cendana berhasil di dapat, sisik yang tadi bersih bekas di kerik oleh Ki Birawa, kini muncul kembali, Tongkat kembali mulus berwarna hijau dengan sisik lembut menyerupai ular.
“Tongkat….tongkat butut itu berubah,” ucap Wulan sambil menunjuk tongkat milik Aria.
“Sekarang baru kau paham! Kenapa kakek tidak berani sembarangan mengerik tongkat ini, tanpa melakukan ritual dan ijin terlebih dahulu kepada penghuni tongkat,” ucap Ki Birawa kepada Wulan.
“Hai buta! Tongkat pusaka ini kau dapat dari mencuri ya? Tanya Wulan.
“Enak saja kau bicara! Tongkat ini pemberian kakekku untuk menemani dan membantu aku yang buta.
“Tongkatmu sangat berharga, lebih baik kau taruh saja di padepokan Wisanggeni, nanti aku buatkan tongkat baru untukmu,” ucap Wulan.
“Benar anak muda! Sebagai ahli racun dan pengobatan, tongkatmu sangat di butuhkan oleh padepokan wisanggeni, jika ada orang lain tahu khasiat tongkat ini, ia pasti akan merebut tongkat ini darimu dan itu bisa membahayakan dirimu sendiri,” ucap Ki Birawa.
“Tongkat ini pemberian kakekku, untuk menemani aku berkelana Ki, kakek juga berpesan agar aku menjaga tongkat ini, jadi maaf! aku tak bisa memenuhi ke inginan Ki Birawa,” Aria membalas perkataan Ki Birawa.
“Kalau soal jaga menjaga itu gampang, bagaimana kalau tongkat ini aku tukar dengan cucuku?
“Kakek apa-apaan sih!? Teriak Wulan, dari raut wajah gadis itu terlihat pucat, mendengar perkataan sang kakek.
Hmm!
“Tongkatku lebih berharga daripada cucumu, aku tak bisa menerima tawaran Ki Birawa,” balas Aria.
“Kau pikir aku sudi menjadi alat penukar!? Ucap Wulan dengan wajah cemberut.
“Sudahlah, jika tak mau ya tidak apa-apa, bubuk ini cukup untuk membuat ramuan ucapan Dewa,” ucap Ki Birawa.
“Anak muda apa kau sudah menikah? Tanya Ki Birawa.
Aria dengan seiringnya waktu dan arahan Nyi Selasih, tahu apa arti menikah dan hubungan antara pria dan wanita.
“Aku belum menikah, Ki,” jawab Aria.
“Bagaimana jika kau menikah dengan cucuku? Dia pasti berguna untukmu di kemudian hari,” ucap Ki Birawa.
“Kakek ini dari tadi bicara apa sih? Sepertinya aku ini bukan cucu kandungmu,” ucap Wulan, matanya terlihat mengembang, menahan air mata agar tidak tumpah.
“Jika kau menikah dengan cucuku ini, akan ada 1000 kebaikan yang akan terus bersamamu,” Ki Birawa berkata kepada Aria tanpa memperdulikan perkataan Wulan.
“Kebaikan apa yang akan kudapat Ki? Tanya Aria, sambil menggoda Wulan.
Hmm!
“Contohnya kemarin, ketika kau sampai di padepokan Wisanggeni, kau capai tidak? Tanya Ki Birawa.
“Tidak,” jawab Aria sambil tersenyum.
“Tentu saja tidak, karena si buta sampai sini aku yang gendong,” ucap Wulan dengan nada gusar, dirinya masih kesal, karena merasa tertipu oleh Aria yang pura-pura tak sadarkan diri.
“Itu kan salah satu kebaikan yang akan kau dapat jika kau menikah dengan cucuku, kau bisa minta gendong jika berjalan jauh, benar tidak omonganku? Ucap Ki Birawa.
Aria tertawa terbahak bahak mendengar perkataan Ki Birawa, sedangkan Wulan cemberut, kemudian meninggalkan keduanya.
Lambat laun Aria mulai suka dengan sikap orang tua itu yang apa adanya, tanpa melihat orang dari penampilan dan kekurangan orang tersebut.
Sudah dua hari Aria tinggal di padepokan Wisanggeni, melihat-lihat padepokan yang terkenal dengan keahliannya meracik racun.
Sementara itu Wulan menjauhi Aria, karena tidak suka selalu di jodoh-jodohkan oleh kakeknya kepada pemuda itu.
Di hari ketiga, sebelum matahari naik tinggi, puluhan orang terlihat naik ke bukit, tempat padepokan Wisanggeni.
Tiga rombongan dengan pakaian berbeda sambil membawa bendera dari padepokan masing-masing, mereka bergerak naik menuju padepokan Wisanggeni.
Seorang pria paruh baya berpakaian biru, maju setelah rombongan berada di depan markas padepokan Wisanggeni.
“Birawa, keluar kau! Seru pria berbaju biru yang tak lain ketua padepokan Tapak Suci, Mahesa.
Ki Birawa yang sudah mendapat laporan dari anak buahnya akan kedatangan dari padepokan Tapak suci, Tombak terbang dan padepokan Baju merah, keluar dari dalam.
Ki Birawa keluar bersama Wulan, Aria serta murid dari padepokan Wisanggeni yang lain.
Ki Birawa menatap tajam ke arah Mahesa beserta rombongan, yang jumlahnya lebih dari seratus orang.
“Mana anakku? Tanya Ki Birawa dengan sorot mata tajam menatap orang yang ia benci.
Ha Ha Ha
“Kau pikir aku bodoh membawa anakmu kesini,” ucap Mahesa sambil tertawa.
“Kau serahkan padepokan Wisanggeni, baru anakmu aku bebaskan,” lanjut perkataan Mahesa.
“Kau sungguh licik Mahesa, padepokan Tapak suci sudah kehilangan pamor dan kekuatan, sehingga kau mencari akal busuk mengatasi masalah padepokanmu.
“Kau rampok dan lukai adikmu sendiri, setelah adikmu tewas, kemudian kau limpahkan kesalahan kepada kami, setelah kami tak bisa menyembuhkan luka adikmu,” ucap Ki Birawa dengan nada sinis.
“Tutup mulutmu! Kau ingin mengelak dari tanggung jawabmu di hadapan padepokan Baju merah? Mahesa membalas perkataan Ki Birawa.
Dua orang berpakaian merah maju, setelah mendengar perkataan Mahesa, raut wajah mereka terlihat dingin sambil menatap ke arah ketua padepokan Wisanggeni.
“Apa kau tahu, istri dari Mahendra adalah adik seperguruan kami, kau telah membuat adik kami menjadi janda, Padepokan Wisanggeni harus bertanggung jawab,” ucap Pria berbaju merah.
“Tunggu dulu kisanak! Kita sudah di adu domba oleh Mahesa, anakku yang memeriksa Mahendra mengatakan, dada juragan Mahendra terkena pukulan beracun, ketika akan memeriksa dan mengobati, anakku malah di tangkap,” ucap Ki Birawa.
“Bohong! Jangan memutar balikan keadaan Birawa, sudah jelas anakmu yang telah lalai memberikan obat penawar, sehingga adikku tewas,” ucap Mahesa dengan suara kencang.
“Apa kau berani mengatakan yang sebenarnya jika aku bisa membuktikan bahwa anakku tidak terlibat atas meninggalnya juragan Mahendra,” Ki Birawa membalas perkataan Mahesa, sambil menatap ketua padepokan Tapak Suci.
Phuih!
“Sudah terpojok masih saja ingin berkelit,” ucap Mahesa sambil meludah.
“Kau berani membuktikan bahwa dirimu tidak ada sangkut paut dengan kematian adikmu? Tanya Ki Birawa sambil melempar bambu kecil, berisi racun ucapan Dewa ke hadapan Mahesa.
“Apa ini! Ucap Mahesa sambil mengambil bambu, lalu membuka tutupnya, setelah mencium bau racun dari dalam bambu kecil, Mahesa langsung membanting bambu tersebut.
Prak!
Bambu berisi racun pecah, bubuk berwarna putih berhamburan di sekitar pecahan bambu.
Mahesa berbalik, kemudian berkata dengan lantang.
“Saudara sekalian lihat! Untuk membuktikan tuduhannya padaku, ketua padepokan Wisanggeni memberikan racun kepadaku.”
Suara riuh terdengar dari ketiga padepokan mendengar perkataan Mahesa, apalagi mereka melihat dan mendengar perkataan Ki Birawa.
Mereka langsung mencabut senjata, sambil menatap tajam ke arah Ki Birawa beserta murid padepokan Wisanggeni.
Aria mendengar suara riuh, lalu bertanya kepada Wulan.
“Apa yang terjadi?
“Sepertinya ketiga padepokan hendak menyerang kami,” jawab Wulan dengan nada cemas.
“Apa ketua padepokan Tapak suci tidak mau minum racun ucapan dewa? Kembali Aria bertanya.
“Kau kan tadi dengar sendiri, apa yang di katakan oleh ketua padepokan Tapak suci, mana mungkin dia mau minum racun itu,” jawab Wulan.
“Kau benar,” Balas Aria.
Wulan baru pertama kali mendapat pujian dari Aria, hatinya merasa senang, lantas ia berkata kembali.
“Harusnya kakek serang dulu ketua padepokan Tapak suci dengan racun penidur, setelah tak sadarkan diri, beri racun ucapan dewa, kan beres.”
Aria mendengar perkataan Wulan langsung menoleh ke arah gadis itu, kemudian berkata.
“Pantas kakekmu ingin menukar kau dengan tongkat ku.”
Wulan kerutkan kening mendengar perkataan Aria, lalu berkata.
“Apa perkataanku ada yang salah? Tanya Wulan sambil balas menatap Aria.
“Kau pikir saja sendiri,” jawab Aria.
“Hai buta! Kalau bicara jangan setengah-setengah, cepat katakan salahku dimana? Tanya Wulan, nada bicara gadis itu mulai meninggi.
“Tadi kau katakan, setelah tak sadarkan diri, lalu di beri racun ucapan dewa.”
“Benar, lantas salahku dimana? Tanya Wulan.
“Untuk apa memberi racun kepada orang yang tak sadarkan diri, memangnya orang yang tak sadarkan diri bisa bicara? Jawab Aria.
“Keparat! Dasar buta, ada saja jawabanmu,” Wulan berkata dalam hati saat mendengar balasan Aria, kemudian gadis itu berpaling, lalu menatap dengan penuh cemas ke arah sang kakek, yang berdiri di tengah kepungan ketiga padepokan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Wan Trado
melihat-lihat yaa..?? emang bisakah aria pilong..??
2024-12-03
0
Dragon🐉 gate🐉
yang di ucapin bener lagi...🤭
2024-08-31
0
Uchy
Wulan juga betul,,, tapi tolol 🤣
Karena memberi solusi tanpa penjelasan...
2022-12-02
0