Pacar Bohongan
Seminggu menahan malu karena berperan sebagai orang gila, akhirnya berbuah manis juga. Yes! Masa orientasi sudah selesai. Kini, aku bisa mengenakan seragam berwarna dan berlogo sama seperti Kak Arfan. Momen yang paling aku tunggu-tunggu. Kisah-kasih selama masa SMP sebentar lagi akan terulang kembali. Aduh! Aku sudah tidak sabar dibuat melayang setiap harinya oleh Kak Arfan.
Ransel yang sedari tadi tergolek di ranjang, kusampirkan di kedua bahu. Sudah saatnya melangkah percaya diri keluar kamar karena tak akan ada lagi yang mengolok-olok atribut di tubuh ini. Aku sudah terlihat normal, sudah terlihat sebagai remaja putih abu yang menjanjikan.
“Arfan udah nunggu, lho, Ra.” Informasi yang kudapat dari Mami setelah menuruni anak tangga.
“Kelamaan dandan,” komentar Kak Sonia tanpa mengalihkan pandangan dari sarapan pagi favoritnya, yakni roti panggang yang sudah diolesi selai cokelat.
"Liat dulu, dong, liat! Aku udah cantik belum, nih?” Aku memancing pandangan mereka supaya tertuju kepadaku, si objek yang haus akan perhatian.
“Udah, sana! Kasian Arfan dari tadi di luar.” Mami mendorong tubuhku seraya memberikan dua kantong plastik berisi roti panggang dan susu. “Kasihin ke Arfan satu, ya!”
“Siap, Bos!” Senyumku mengembang di sertai tangan yang berada dalam posisi hormat.
“Kenapa enggak ke sekolah sendiri, sih, Nak? Kamu juga, kan, bisa bawa motor.” Papi yang sedari tadi diam saja mendadak buka suara.
"Biasa, Pi, lagi ketiban cinta. Mereka bebas LDR karena satu sekolah sekarang."
"Betul sekali.” Aku menyetujui sahutan Kak Sonia. Ucapannya memang pedas, tetapi soal kebenaran tidak ada yang bisa menandingi lidahnya. Percaya, deh
"Maksud Papi, kasian sama Arfan. Dia, kan, harus bangun subuh buat jemput Dara. Papi juga kalau disuruh jemput cewek tiap hari mana mau. Udah mah habis bensin, buang tenaga, harus nunggu lama lagi.”
"Sayangnya, Arfan mau-mau, aja, tuh!” Aku percaya diri mengatakannya karena sudah dari zaman SMP, Arfan melakukan itu. “Udah, ah, mau pergi dulu!" Sengaja aku sempatkan mencium punggung tangan Mami, Papi, dan Kak Sonia sebelum berlalu dari ruang makan.
Benar kata Mami, Arfan sudah stand-by di ruang depan. Tangannya sibuk memainkan ponselnya. Saking fokusnya, dia sampai tidak menyadari kehadiranku di sini.
"Pesek!” Julukan sayangku, seperti biasa.
"Eh, Dodol! Udah?” tanya Kak Arfan yang lekas kujawab dengan anggukan. Pasti yang ditanyakan dia perihal dandanan dan bersiap-siap sebelum berangkat. “Yok!”
Ponselnya dimasukan terlebih dahulu ke kantong jaket. Setelah menyampirkan ransel, tangan Kak Arfan menengadah, mengajak bergandengan sampai keluar rumah.
“Ada roti dari Mami, nih!” Tanganku yang terbebas dari genggamannya mengulurkan dua kantong sarapan yang dibuat Mami.
“Mau makan di mana?” Jika menyangkut teman makan, Kak Arfan memang senang bertanya pendapatku. Dia selalu bilang kalau prioritas utamanya itu aku. Jadi, apa pun yang aku mau, Kak Arfan akan berusaha untuk memenuhi dan mendatangi.
"Tempat yang kemaren, aja, gimana?" Pegangan tangan kami terlepas karena Kak Arfan memasang helm-nya terlebih dahulu.
"Ayo, aja! Nih, pake helm-nya."
...***...
Tempat kemarin yang kami bicarakan, yakni di bawah pohon rindang halaman belakang. Sarapan bersama sebelum bel masuk sudah menjadi kebiasaan kami, baik saat masih SMP, saat aku masih MOPD, hingga saat ini kami memakai seragam dengan warna yang sama.
"Udah ada plan belum? Mau masuk ekskul apa?" Kak Arfan bertanya di sela mengunyah makanan.
"Kayak biasa." Aku tersenyum lebar sambil mengedip-kedipkan mata.
"Masuk OSIS lagi?" Kak Arfan seperti tidak percaya.
Kepalaku mengangguk. "Bukannya Kakak juga anak OSIS. Ya, enggak pa-pa kali kalau aku ikutan juga."
Kak Arfan tidak berkata lagi, hanya tersenyum simpul, lalu melanjutkan melahap makanan. Aneh, bukankah dia seharusnya senang? Kami akan bersama-sama lagi setelah satu tahun menempuh jalur beda sekolah.
"Enggak coba ekskul lain? Bagus-bagus, lho, di sini.
"Kakak enggak mau aku gabung OSIS, ya?" Tebakanku, sih, begitu.
"Bukan, gitu, Sayang. Kakak cuma pengen kamu ngembangin bakat. Kamu, kan, seneng nulis. Kenapa enggak coba masuk tim jurnalis atau mading?"
"Enggak mau." Aku menegaskan. Keputusanku sudah bulat. "Aku bakal masuk OSIS. Aku udah pernah rasain sensasinya dan kepengen ngulang sensasi yang sama."
"Emang sensasinya kayak gimana? Romantis, ya, karena ke mana-mana bareng pacar?" Matanya menyipit.
Ucapannya sekarang tidak 100% benar. Aku memang ingin ke mana-mana bareng pacar. Aku sudah merealisasikannya dengan masuk sekolah yang sama, tetapi untuk organisasi ini murni karena tekad yang bulat. Bukan karena embel-embel ada pacar atau orang dalam.
"GR!" Aku menunjuk wajahnya sambil tertawa kecil. "Bukan karena itu tau. Aku ngerasa di OSIS itu asyik. Susah bareng, bahagia bareng, bolos juga bisa barengan. Seneng, aja, gitu."
"Oh, ya, udah. Kakak bakalan dukung apa pun mau kamu." Kak Arfan memasukan dua kotak susu bekas ke kantong plastik.
"Serius, ya?"
"Hem," sahutnya. "Nanti kalau ada kabar perekrutan Kakak kasih tau."
"Oke." Ibu jariku mengapung.
"Kakak simpen tas dulu, ya! Mau lanjut nyiapin logistik buat upacara," pamitnya sembari mengacak pucuk rambutku.
...***...
Lima menit duduk tanpa Kak Arfan lekas kuakhiri karena terasa tidak menyenangkan. Kesepian, biasanya ada Ingeu dan Fuji yang menemaniku saat SMP, tetapi mereka memilih masuk ke SMA Negeri ketimbang mengikutiku di jalur farmasi. Mereka beranggapan kalau sekolah di sini akan dihantui dengan rumus dan hitungan, intinya mereka sudah sepakat akan memilih jurusan IPS. Ya, sebenarnya aku juga ingin masuk sekolah negeri karena berniat mengambil Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia saat kuliah nanti, tetapi hatiku selalu berbeda lokasi dengan logika. Alhasil, aku mengikuti ujian masuk SMK Farmasi Bangsa dan dinyatakan lolos serta masuk kelas unggulan.
"Kelas X-1." Tak perlu celingukan mencari namaku di mading dan mencari papan nama kelasku di atas pintu karena Kak Arfan sudah memberitahu pembagian dan letak posisi ruangannya kemarin. Salah satu keuntungan yang akan kuterima, jika bergabung menjadi tangan kanan sekolah. Ya, meskipun hari libur harus masuk demi membantu guru berbenah meja dan bangku, tetapi aku rela melakukannya. Toh, biasanya OSIS akan lebih dahulu informasi terakurat ketimbang murid-murid umum lainnya.
Sesuai yang Kak Arfan katakan. Kelasku terletak di ujung bangunan, berhadapan dengan ruang guru, selalu menjadi sorotan karena paling apik dan sunyi ketika jam pelajaran. Alasan disebut kelas unggulan karena semua orang yang masuk kelas ini disortir berdasar nilai rapor selama SMP dan perolahan nilai selama tes seleksi.
Pintu kelas yang dibiarkan terbuka, kumasuki perlahan. Aku pandangi wajah orang-orang yang nantinya akan menjadi kawan seperjuangan. Ada beberapa diantara mereka yang pernah sekelas denganku selama MOPD. Syukurlah, aku menemukan Riska—teman sebangku seminggu yang lalu.
"Kamu di sini?" tanyaku senang tiada tara. Aku jadi tidak merasa kesepian lagi.
"Ih, ya, ampun. Kita sekelas lagi, Ra!" Pelukannya begitu erat. "Duduk, duduk."
Tak berpikir panjang, aku duduk di bangku kosong yang tersedia di sampingnya. Setuju, sih, dengan posisi seperti ini. Riska memilih bangku di barisan kedua. Tidak terlalu dekat juga dengan meja guru.
"Yuk, simpen tasnya! Kita ke lapangan buat upacara." Ajakan yang lekas kusetujui karena sudah terdengar suara panitia pelaksana agar kami bergegas baris di lapangan.
...***...
Aku mengajak Riska baris di belakang. Bukan tanpa tujuan. Saat memasuki area lapangan, aku sempat melihat Kak Arfan memakai bandana tatib di keningnya. Artinya, dia akan berdiri tegak di belakang barisan sambil memperhatikan anak-anak yang melanggar aturan.
“Modus, ya?” tebak Riska. Baru seminggu kenal, dia sudah memahami niat tersembunyiku yang ingin berdiri di barisan belakang.
“Setengah-setengah, sih!” Hanya bisa kutampilkan seulas senyum meskipun kedua pipi terasa memanas.
Sesuai prediksi, Kak Arfan berjalan lurus, arahnya menghampiriku. Sempat-sempatnya dia mencolek lenganku sambil tersenyum gemas.
“Ngapain berdiri di belakang?” Suaranya pelan, tetapi cukup menarik perhatian semua orang.
“Pengen di sini, aja,” jawabku menahan senyum sekaligus menahan malu. Takut diteriaki cie-cie, meskipun aku yakin mereka tidak akan meneriaki kami apa pun karena tidak tahu perihal hubungan ini.
"Dodol lagi modus.” Dicubitnya pipiku gemas dan meninggalkan bekas tatapan tak percaya dari semua orang. Ada beberapa dari mereka yang sudah kembali menolehkan kepala ke depan.
“Kakak diem di situ, ya.” Aku menunjuk lahan kosong tepat di belakangku.
“Kakak tugasnya di kelas XI, Sayang.” Lagi-lagi semua orang menoleh ke arah kami. Kali ini dengan sorot mata tak percaya dan penasaran. Mereka seperti menunggu klarifikasi tentang hubungan ini. Klarifikasi? Ya, kali artis.
"Terus ngapain di sini?” tanyaku agak sewot.
“Mau titipin kamu ke temen-temen.” Telunjuknya mengarah ke sebelah kanan.
Benar, ada tim tatib yang lain. Dua orang pula. Sejak kapan coba mereka di sana? Kenapa aku tidak sadar, ya? Setengah malu, aku tersenyum ke kedua kakak kelas yang diyakini sebagai temannya Kak Arfan.
“Titip pacar saya, ya, Ngab!”
“Iye-iye, udah sono tugas!” perintah lelaki yang berambut ikal.
“Gue godain boleh, enggak, Fan?” canda lelaki yang satunya.
Kak Arfan langsung mengapungkan tangan yang terkepal. “Mending adu jotos, yuk!”
“Udah, ih, sana!” pungkasku yang tidak ingin mendengar godaan lebih banyak lagi, terlebih beberapa anak terlihat risi melihat kami.
“Jangan nakal, ya, Dodol,” bisiknya.
"Sweet terus, nih,” komentar Riska setelah Kak Arfan sedikit menjauhi area kami.
“Iya, dong, harus. Kalau enggak sweet, aku mana mau nyusulin dia ke sini.”
“Bener juga, sih. Untung Kak Arfan ganteng, keren, sama romantis. Emang pantes diperketat pengawasan biar enggak ke mana-mana.”
“Aku yakin dia enggak bakalan ke mana-mana, kok.” Sok percaya diri sekali memang diriku ini.
“Berarti udah berapa taun kalian pacaran?” tanya Riska masih berbisik.
“Desember nanti tiga taun.” Hanya memikirkannya saja sudah membuat perasaanku membuncah. “Doain, ya, semoga langgeng terus.” Mataku serius menatap Riska.
Deheman seseorang dari belakang membuat obrolan kami terhenti. “Pacarnya Arfan, mohon diam dulu, ya! Curhatnya boleh dilanjut nanti!” tegur si rambut ikal yang tidak kuketahui namanya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Nazwaputri Salmani
Mampir thor
2023-05-11
0
abdan syakura
Salken kak Isti...
Aq mampir nih...😊
2023-01-19
0
eman hermawan
keren
2023-01-07
0