Aku memacu langkah dua kali lebih cepat dari Riska dan Putri. Mereka mengikutiku dari belakang, tetapi tak kunjung mengimbangi bahkan menyusul langkahku. Alhasil, aku yang lebih dulu sampai di area kantin.
Banyaknya orang yang berdiri di tempat membuat penglihatanku terhalang total. Aku tak bisa menemukan Kak Arfan. Aku tak bisa menjangkau siapa pun karena kepadatan ini. Aksi pencarian terhadap kekasihku pun terhenti karena tangan Riska menarik lenganku untuk menjauh dari ambang pintu.
"Apaan?" bentakku tanpa sadar.
"Tenang! Kamu harus rileks!"
"Gimana bisa?" semprotku karena ucapan Riska tidak masuk akal.
Bagaimana bisa aku tenang? Bagaimana bisa aku rileks? Cowokku diterpa gosip, dia sedang menyatakan cinta kepada wanita lain. Baru mendengarnya saja sudah membuatku terbakar api. Aku harus melihatnya sendiri untuk menilai hal ini wajib aku percaya atau tidak.
Riska terus menggenggam tanganku sampai aku menuruti perintahnya. Tak sabar ingin melihat Kak Arfan, aku berujung pasrah dan menurutinya. Pelan-pelan aku tarik napas lalu mengembuskannya, mengulangi hal itu sampai beberapa kali. Riska memperhatikan sebelum akhirnya berkata, "Yuk! Aku temenin ke sana."
Aku ditemani Riska, menembus kerumunan anak yang menyaksikan sesuatu di tengah-tengah mereka. Benar yang dikatakan Putri. Begitu jelasnya aku melihat Kak Arfan berdiri berhadapan dengan kakak kelas yang waktu itu memberikan kunci motornya.
Sebentar, sebentar, aku merasa déjà vu. Kak Arfan yang berdiri berhadapan, senyumnya yang lebar dan menawan, dikelilingi banyaknya orang yang bersorak-sorai. Ekspresi itu bahkan terasa sama. Jantungku berdenyut karena meyakini hal ini pernah aku alami sebelumnya.
Aku juga pernah berada diposisi Cecilia. Rona merah bahagianya, mata mengecil karena senyum yang lebar disertai tangan yang menggenggam sebuket bunga. Sudah jelas, ini seperti tembakan cinta yang Kak Arfan lakukan padaku saat di SMP dulu.
Sorakan cie-cie dari semua orang mengiringi langkahku untuk menghampiri mereka yang tengah berbahagia. Seketika aku merasa atmosfer di sekitar berubah hening dan menusuk pergerakanku. Kak Arfan yang menyadari kehadiranku, perlahan mengalihkan pandangan dari wanita itu.
Napasku tercekat. Bukan, lebih tepatnya tertahan. Dada ini berat untuk mengambil pasokan udara. Mataku tak mau beralih dari wajahnya. Seketika kakiku menapak disertai tangan yang gemetaran.
Tidak ada satu patah pun kata. Kami hanya saling menatap. Dia dengan entengnya berkedip dan tak memberiku alasan atau pembelaan apa pun. Aku yang berada diposisi dicampakkan merasa sulit untuk menutup kelopak mata barang untuk semenit saja. Aku takut kalau kelopakku turun, air mata pun akan ikut jatuh.
Pertama-tama, ludahku telan meskipun rasanya sulit dan terasa pahit. Langkah kedua sebelum meminta kepastian, yakni mengatur napas dan berusaha tegar berjalan lebih mendekat.
"Ini ... apa?" tanyaku tanpa suara, tetapi aku yakin Kak Arfan bisa menangkap jelas ucapanku barusan. Mataku mulai memanas, tetapi dia belum juga menjelaskan atau memberiku sebuah keputusan.
Tak ingin memandangi wujud yang sama. Pandanganku lekas beralih ke arah Cecilia. Berharap adanya sedikit women support darinya untukku. Berharap dia bisa memposisikan diri semenit saja menjadi seorang Dara. Namun sepertinya, harapanku sangatlah sia-sia. Baik pihak Kak Arfan ataupun Cecilia, mereka terlihat tidak tertarik melindungi harga diriku dari tatapan heran semua orang.
"Dara!" Panggilan tak terduga dari orang yang masih terasa istimewa. Pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir dia menyebut namaku.
Anehnya, baru mendengar dia menyebut namaku saja, hati ini mendadak remuk. Kak Arfan sudah berubah dan semua mustahil kembali seperti semula.
"Kenalin pilihan hati saya yang baru, Cecilia."
Hah!
Mulutku menyeringai meskipun kedua mata berkaca-kaca. Dara, saya, Cecilia. Ah, semua terdengar seperti omong kosong. Seketika hatiku terasa panas. Alih-alih mundur, aku malah semakin bertahan sembari menegakkan tubuh. "Kenapa jadi kayak gini?" tanyaku yang masih belum mampu untuk meninggikan suara.
"Saya pilih dia yang lebih dewasa, mandiri, asyik diajak bicara dan enak dipandang."
Seketika hatiku terbakar api. Terlebih saat mendengar semua orang berbisik-bisik dengan tatapan jijik. Sungguh, aku merasa dilihat sebagai orang ketiga oleh mereka, padahal faktanya hubunganku, lah, yang dihinggapi lalat dan orang ketiga.
Aku tak terima diperlakukan begini. Sejenak aku mengumpulkan keberanian, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya keras. Aku pandangi wajah orang yang katanya enak dipandang. Mulutku menyeringai ke arahnya. Tanpa basa-basi aku lekas berteriak, "Salam kenal, ya, Cecilia!"
Serentak sekelilingku berubah jadi tersentak. Mungkin mereka terkejut karena nyaliku besar melawan kakak kelas yang sedang kasmaran. Namun, aku sudah tidak peduli lagi. Aku sudah menancap gas balas dendam dengan kencang. "Makasih, lho, udah mau nerima barang bekas Dara. Semoga hubungan kalian langgeng, ya! Hati-hati, lho, pasang kuda-kuda! Takut kena karma, Arfan doyan jablay soalnya."
......***......
Mataku terbuka, melihat sekeliling kamar yang gelap. Entah sudah berapa lama aku tidur, tetapi yang pasti sepulang sekolah tadi aku langsung masuk kamar, melabuhkan segalanya di bantal, lalu tertidur tanpa sadar.
Jam di nakas menunjuk angka sepuluh. Terhitung delapan jam aku tertidur setelah menangisi takdir sekitar dua jam lamanya. Kepalaku terasa pening dan berat bukan main. Mataku yang sudah pasti membengkak sungguh sulit untuk terbuka lebar. Aku pandangi jendela kamar yang sudah menampakkan kelamnya malam.
Ketukan pintu terdengar, tetapi tidak aku hiraukan. Pandanganku terus tertuju menatap langit yang gelap. Bayang-bayang raut wajah Kak Arfan kembali menghiasi pelupuk mata. Bagaimanapun aku masih belum menyangka.
"Ra, sakit?" Mami yang datang, menyalakan lampu kamar, dan memandangku sejenak. "Sakit apa, Nak?" Mami mulai berjalan mendekati ranjang, menyentuh keningku, lalu termenung. "Enggak panas, lho. Kamu lagi dapet?"
"Enggak," ucapku serak akibat menangis seharian.
Mami tidak bicara lagi. Dia berjalan untuk menutup gorden kamar. "Hah, kalau enggak sakit dan enggak dapet berarti lagi galau. Ya, udah, deh, mami bawa makanannya ke sini."
Aku masih tidak menyahut, membiarkan Mami pergi tanpa menutup pintu. Beberapa detik berlalu, seseorang datang membawa nampan berisi sepiring makan malam dan air mineral.
"Pasti putus, kan?" Suara seseorang itu mulai terdengar.
Lidahku berdecak. Aku sedang malas diganggu, tetapi Mami dengan sengaja mengirim Kak Sonia ke sini. Hah, mengapa hal baik menjauhiku hari ini?
"Apa alesannya?" Manusia cerewet itu sudah duduk di pinggir ranjangku.
"Ada yang lebih dewasa, mandiri, asik diajak ngomong, sama enak diliat mata." Bodohnya, aku masih menjawab jujur pertanyaannya walaupun tahu sebentar lagi yang terlontar dari mulut Kak Sonia adalah ejekan.
"Oh, ya, udah. Kalau alesannya bawa-bawa fisik berarti kalian emang enggak bisa balikan."
Diberitahu begitu mataku kembali terasa panas. Hidung pun mulai berair lagi. Aku memandang Kak Sonia tanpa bicara.
"Gini, lho, Dek. Kakak ngeliat Arfan, tuh, sebenernya dewasa. Segini, mah, dia tahan sama sikap kamu, Ra. Kamu, kan, manjanya kelewatan. Apa-apa harus barengan."
Mataku jadi berkaca karena ucapan Kak Sonia ada benarnya.
"Tiga taun ini, dia udah kasih yang terbaik, lho, buat kamu. Mungkin dia sekarang lagi jenuh, terus kebetulan ketemu yang pemikirannya sejalan, makanya langsung pindah, gitu, aja. Kamu pernah enggak, sih, liat dia sarapan atau makan siang bareng temen-temennya?"
Kepalaku spontan menggeleng. Selama ada aku, Kak Arfan tidak pernah melakukan itu.
"Ya, bener berarti. Dia bosen sama hubungan kalian yang gitu-gitu, aja. Dia kayak lagi butuh opsi lain. Paham, enggak?"
"Ya, tapi kenapa harus mutusin aku di depan semua orang?" Aku mulai menangis mengingat kejadian siang tadi.
"Eh, apaan? Dia mutusin kamu di mana emang?" Kak Sonia membelalakkan matanya.
"Di kantin," jawabku dengan kedua tangan menutupi wajah. "Dia nembak dulu cewek itu, baru mutusin aku." Aku merengek sejadinya.
"Eh, sialan si Bangsat! Kirain alurnya bener. Kalau kayak, gitu, berarti dibelakang kamu dia udah deketan sama, tuh, *****! Percaya, deh, enggak mungkin ujug-ujug nembak! Pasti mereka ada fase pedekatenya dulu." Kak Sonia terlihat lebih gemas ketimbang aku yang mengalaminya. "Udah, udah!" Tangannya terulur untuk menghapus air mataku. "Yok, mending ikut kakak!"
"Ke mana?"
"Nampar si Arfan, lah!"
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ulil
yuuuk ikuuuuuttt kaaak
kemana ?????!!
nampoooll doongg
2023-01-19
0
༄༅⃟𝐐🧡𝐌ɪ𝐌ɪˢᵒᵏIᗰꀎ꓄❣︎Kᵝ⃟ᴸ🦎
suka nasehat kak Sonia, mantaaap beb
2022-03-14
0
༄༅⃟𝐐🧡𝐌ɪ𝐌ɪˢᵒᵏIᗰꀎ꓄❣︎Kᵝ⃟ᴸ🦎
kakak yang baik 🤣🤣🤣🤣🤣🥰
ayo kita ikut
2022-03-14
0