Dia mengindahkan keinginanku untuk berkendara menggunakan motor matic. Motor gede yang digadang-gadang sebagai motor kesayangannya itu rela disimpan di garasi.
Dua puluh menit berkendara dan kami sudah sampai di persimpangan jalan. Butuh sekitar lima meter lagi untuk sampai ke sekolah. Kenyamanan hari Sabtu, jalanan tampak lengang dan menyejukkan mata.
Kami sampai di parkiran yang masih terbilang sepi, hanya ada tiga motor yang sudah berjajar rapi di sana. Kak Bagas begitu terlatih memarkir motorku di samping motor yang lain. Aku yang turun lebih dulu, berangsur melepas helm dan memeluknya di perut.
"Bang, ada titipan roti panggang dari Mami. Mau dimakan sendiri?"
Beda orang beda kebiasaan, kan? Aku takut Kak Bagas memilki teman sehingga ingin sarapan bersama mereka. Jika memang perubahan Arfan terjadi karena aku selalu mengikutinya, maka aku tidak akan melakukan hal yang sama kepada Kak Bagas.
"Emang biasanya Adek makan di mana?" Dia sudah selesai melepas helm, menata rambut sambil bercermin, lalu mengaitkan tali helm di batang kaca spion. "Sini helm Adek." Tangannya terbuka, bersiap menerima helm milikku.
Aku menyerahkan helm sebelum mengambil dua kantong plastik berisi roti panggang dari ransel. "Adek biasanya makan di halaman belakang, sih, tapi jangan di sana, deh!" Aku malas datang ke sana lagi. Tempat itu, kan, identik dengan mantan.
"Lah, terus Adek mau makan di mana?" tanyanya dengan wajah kebingungan.
Dilihat-lihat wajah Kak Bagas tampan, ya, apalagi kalau sedang bingung dan penasaran. Aku tidak bisa melihat keningnya yang berkerut karena potongan rambutnya. Namun, aku bisa tahu kening itu sedang mengernyit karena alisnya di kanan-kiri terlihat saling bertautan.
"Terserah, aja, sih." Aku juga bingung perihal tempat.
"Mau di atap lagi?" tawarnya yang lekas aku setujui dengan anggukan mantap.
......***......
"Dek, nanti kalau datang ke ruang OSIS duduk di belakang, ya!" Perintah yang aku terima saat sedang menyantap roti panggang buatan Mami.
"Kenapa, gitu?" Aku menyeka selai cokelat di pinggiran bibir dengan selembar tisu.
"Duduk, aja, di sana. Biar bisa lakuin banyak hal," jawabnya penuh misteri.
"Hal apaan?" Aku semakin curiga.
"Pokoknya duduk, aja, di sana, ya!"
...***...
Selesai menyantap sarapan, aku turun lebih dulu karena Kak Bagas ingin merapikan bekas makan seorang diri. Selama perjalanan menuju kelas, langkahku seperti diamati banyak orang. Mereka tak hentinya melemparkan tatapan sinis dengan senyum meremehkan seolah diri ini bagian dari sampah masyarakat.
Mendekati ruang kelas, aku melihat tiga teman tengah duduk melingkar sambil memakan beberapa gorengan. "Geng, liat Riska?" Basa-basi aku bertanya. Sebenarnya, aku tidak pandai dalam hal ini, tetapi mengingat mereka teman sekelas, ada baiknya untuk lebih mengenal satu sama lain, kan?
"Di kelas," jawab Amel tanpa menatapku, padahal aku sudah mengambil posisi jongkok.
"Ra, kebetulan banget. Gue mau nanya, nih!"
Aku berganti posisi menjadi duduk dan siap mendengarkan pertanyaan Emil.
"Ini gue cuma nanya, aja, ya," katanya sambil membelah gehu pedas menjadi dua bagian. "Lo emang suka ngehalu, ya?"
"Hah?" Aku tak tahan untuk memekik. Dia ngomong apa, sih?
"Kita semua tau, gitu, kalau lo enggak dipilih sama Kak Arfan, tapi apa harus sampe segitunya?" Emil semakin keras berbicara.
"Iya, lo parah banget, Ra. Pake ngaku-ngaku pacaran sama Kak Bagas. Bagas Raharja yang lo tag itu Ketua OSIS, kan?"
"Lho, aku enggak ngaku-ngaku!" Aku memberi pembelaan atas pernyataan Maya.
"Masa setara Ketos cuma ngikutin akun lo, doang. Enggak mungkin, lah! Lo pasti sengaja buat akun sendiri, dikasih nama Bagas terus lo tag akun itu biar Kak Arfan sama Kak Cecil cemburu, kan?"
"Astaga!" Aku mulai berang. "Enggak ada kerjaan banget gue kayak, gitu. Ngapain gue ngaku-ngaku, emang bener kita pacaran, kok, dan satu hal lagi, ya! Arfan, tuh, mantan dan gue bukan pilihan siapa pun," jelasku dengan napas ngos-ngosan.
"Kalau emang enggak ngaku-ngaku, buktiin, dong, sama kita-kita!"
"Buktiin apa?" Aku menatap siap menantang. "Buktiin kalau Kak Bagas beneran pacar gue?"
"Iya, lah!" sahut Maya lebih membusungkan dada.
"Oke." Aku sudah memutuskan. Akan aku percepat publikasi hubungan ini supaya tidak dianggap gila dan halu oleh mereka.
......***......
Aku memperhatikan Riska berkemas. Penuh semangat tangannya memasukan buku beserta alat tulis ke dalam ransel. Dia seperti itu karena ingin segera menghadiri acara perekrutan anggota OSIS.
"Ayo, dong, Bu Ketu! Malah diem mulu," gerutu Riska sembari menarik lenganku supaya lekas mengemas barang.
"Pak Ketu-nya juga suruh aku duduk di belakang." Dia belum diberitahu tentang ini.
"Lah, ya, berarti kita harus dateng paling awal, dong! Kursi belakang itu, kan, VVIP. Jarang banget kosong saking lakunya."
Aku tidak setuju perihal ini. "Percaya, deh, sama aku! Kursi belakang bakalan kosong melompong."
Ucapanku terbukti saat kami mengantre formulir pendaftaran. Jendela yang menampakkan kursi barisan depan sudah terisi penuh. Mau heran, tetapi OSIS. Beda dengan jam pelajaran, aku yakin kumpul organisasi tidak akan banyak pertanyaan, sehingga nyali untuk duduk di depan pun lebih besar.
Masih terhalang tiga orang sampai kami menerima kertas. Riska yang sedari tadi celingukan, berakhir membisikan sesuatu. "Enggak liat Bebeb Dara."
"Apa, sih?" Aku jadi geli sendiri mendengar julukannya terhadap Kak Bagas. Alih-alih hewan, dia menjuluki lelaki itu dengan sebutan Bebeb Dara.
"Jangan-jangan dia enggak hadir, Ra!" Kali ini dia terdengar panik.
"Ya, masa ketua enggak datang. Malu sama anggota." Lagipula kunci motor ada padaku. Dia pasti datang, kecuali kalau pulang duluan.
"Eh, Dara! Punya nyali juga ikutan OSIS."
Suara itu menarik perhatian kami untuk menoleh. Napasku mendengkus. Ah, lagi-lagi aku bertemu sekawanan ikan pari. Seolah ingin menagih ucapanku tadi pagi, mereka memilih berbaris di belakang Riska.
"Ya, Dara pasti punya nyali, lah! Dia, kan, enggak salah apa-apa." Riska yang menyahuti obrolannya, mengingat saat jam istirahat dia mendengar ceritaku perihal kubu jongkok tadi pagi.
"Oh, gitu, ya?" Emil menatap sengit. "Rasa malunya ditinggal di rumah, ya, Ra?"
"Lah, ngapain gue harus malu?" Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengamuk.
"Ya, kan, lo ngaku-ngaku jadi pacar Kak Bagas."
Riska tertawa mendengarnya. "Kasih paham, Ra. Mereka kagak percaya." Lengannya merangkul bahuku, memberi isyarat agar aku bereaksi sombong secepatnya.
Aku ingin membalas juga. Sayangnya, bukti yang ada dikantongku belum cukup untuk membuat mereka percaya. Daripada berakhir dipermalukan, lebih baik aku menarik Riska karena antrean sudah berkurang.
Kami yang tidak mengincar kursi depan, jadi bersyukur. Kursi belakang tidak diisi seorang pun. "Di sana, yuk!" ajakku karena Riska terus-menerus menengok ke kawanan ikan pari.
"Kenapa kamu enggak ngelawan, sih?" bentaknya seraya mengikutiku duduk di pojok kanan.
"Nanti bakal ada waktunya, Ris." Hanya itu yang bisa aku jadikan sebagai alasan untuk menenangkannya. "Udah, mending isi dulu formulirnya."
Riska menurut, tidak mempermasalahkan lagi ucapan kawanan ikan pari. Syukur karena mereka memilih duduk berseberangan. Setidaknya, telingaku akan terasa aman meski untuk sebentar saja.
"Tes ... tes ...." Suara seseorang yang mengoperasikan mikrofon di depan kelas teramat kental dalam ingatan. Kepalaku menegak dari selembar kertas untuk memastikan sosoknya. Hah, tentu saja prediksiku benar! Tiga tahun berjalan bersama bukan waktu yang singkat. Wajar kalau aku masih mengingat bayangannya, sosoknya dari jarak jauh, dan suara rendahnya yang hangat.
Sayangnya, sosok itu bukan milikku lagi. Gadis bernama Cecilia yang begitu murah senyum berdiri di sampingnya. Aku tak paham, kenapa mereka harus menunjukkan kemesraan seperti ini? Untung saja aku duduk di barisan belakang. Jadi, fan yang tengah sibuk menyoraki pasangan itu tidak menyadari kehadiranku.
"Selamat siang semua!" sapa Arfan disertai senyum merekah. Dia melihat ke barisan belakang yang tanpa disengaja jadi bersitatap denganku.
Hening, akibat dia yang tak lagi bersuara. Efek itu berujung menarik perhatian semua orang. Mereka menoleh ke belakang dan mendapatiku yang berusaha duduk tegak seperti tak terpengaruh oleh apa pun.
Riska yang ikutan menatap, mencubit pelan sebelah lenganku. "Liat ke belakang, Beb!" bisiknya.
Bukannya melihat ke belakang, aku malah menoleh ke arahnya. Matanya berkedip tak jelas seolah tengah memberiku isyarat. "Apa?" ucapku tanpa suara.
Dia tidak membalas, hanya mengarahkan telunjuknya ke belakang. Keningku berkerut. Maksud dia itu belakang badanku, kan?
Tak ingin diliputi rasa penasaran, aku menoleh ke belakang badan. Tidak menyesal aku mengikuti bisikan Riska karena mendapati unsur kenyamanan mata yang baru memasuki ruangan. Kak Bagas datang bersama kawannya yang tidak kukenal.
"Pak Ketu, bisa saya mulai acaranya?" tanya seseorang dari mikrofon yang berhasil aku abaikan.
Kepalaku masih menengok ke lawan sumber suara. Dia yang sudah menutup pintu berangsur membalikkan badan, menganggukkan kepala kepada rekannya supaya memulai acara perekrutan. Langkahnya berlawanan arah dari kawan yang tadi. Bukannya berjalan untuk duduk di singgasana, dia malah berjalan ke arahku, lalu berdiri tepat dibelakangku dan Riska.
"Silakan, Pak, kursi sudah di sediakan," ujar Arfan dari balik mikrofon.
"Saya di sini, aja!"
Mataku mengerjap, tak menyangka dia akan berperilaku seperti ini, di depan umum pula. Kak Bagas semakin mendekat. Pandangannya fokus ke depan, tetapi tangannya menggapai rambutku.
"Liatnya ke depan," bisiknya yang mampu ditangkap semua orang karena situasi masih dalam keheningan. Sedikit gugup, aku menurutinya dan berhenti menengok ke belakang. Seolah belum cukup menunjukkannya ke hadapan semua orang, Kak Bagas membungkukkan badan dan menyimpan dagunya di pucuk kepalaku.
"Makasih, ya!" ucapnya yang kembali mendapat sorotan dari seluruh pihak termasuk Arfan dan Cecilia.
"Maksudnya?" Aku ingin sekali menoleh, tetapi kedua tangannya sudah menangkap pipiku, menahanku supaya tidak beralih pandangan.
"Makasih udah nurut duduk di belakang."
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Nacita
ayang pengen d so sweetin 😍
2022-05-25
0
༄༅⃟𝐐🧡𝐌ɪ𝐌ɪˢᵒᵏIᗰꀎ꓄❣︎Kᵝ⃟ᴸ🦎
mau dong diacak juga pucukku😅😅🤣🤣🤣
ha-ha-ha pucuk apa coba 😀🤪🤪🤣🤣🤣
2022-03-14
0
nyonya_norman
aduuh.. sweet banget nih brondong 🤣😍
2022-02-25
0