"Jadi pacar saya."
"What?" Sekali lagi aku menjerit. Astaga, dia serius atau bercanda, sih? Kenapa terpikir alasan berkencan padahal untuk membalas dendam?
"Jadi pacar saya, Dara. Pacar Bohongan."
"Apa, sih?" bentakku yang tak paham dengan jalan pikirnya.
"Ayo, pacaran! Pacaran kontrak."
Astaga. Aku merasakan hawa panas naik begitu konstan ke ubun-ubun. Aku mendapat firasat, jika berada didekatnya wajahku senantiasa akan melongo terus-terusan. Otakku tidak bisa menyamai jalan pikirnya yang berbeda dari kebanyakan orang. "Kak! Setau aku, ya, pacaran kontrak itu enggak ada." Aku berusaha menahan gemas sampai meredam suara supaya tidak terdengar membentak. "Enggak ada yang namanya pacaran kontrak, kalau kawin kontrak banyak."
"Kawin kontrak banyak?" tanyanya seperti sedang memastikan.
"Ya, banyak! Serial drama banyak, kok, yang temanya kawin kontrak." Cuplikan adegan drama dari serial bertema kawin kontrak muncul silih berganti di benakku.
"Itu, kan, di drama. Di dunia nyata kita harus coba inovasi baru. Pacaran Kontrak."
Aku melongo lagi. Dia berbicara terlalu santai, terlalu ringan sampai aku tidak menyangka ada lelaki semacam dia. "Kenapa harus pacaran kontrak?" tanyaku membutuhkan penjelasan.
Dia menyempatkan diri untuk berdeham sebelum menjelaskan lebih detail. "Kita mau balas dendam sama mantan, kan?"
Aku mengangguk cepat.
"Cara biar mantan kepanasan, ya, cuma satu, tunjukkin di depan mukanya kalau kita bisa bahagia tanpa mereka."
Sial! Kenapa arah ucapannya sama seperti Kak Sonia, ya? Apa pemikiran semua orang sama?
Aku pandangi lebih lekat gelagat Kak Bagas. Dia kini menengok jam tangan yang dipasang di sebelah kanannya. Mulutnya lagi-lagi terlihat terbuka, seperti hendak mengucapkan kata-kata. "Waktu kita tinggal lima menit lagi. Saya tunggu keputusan kamu siang ini. Kalau kamu setuju, tolong tunggu saya pas jam istirahat di sini! Jangan lupa bawa kertas sama pulpen buat bikin surat perjanjiannya."
Wah, bahkan di situasi semacam ini nada bicaranya begitu berat dan penuh penekanan! Dasar memang Ketua OSIS, bukan main wibawanya.
"Ah, ya, satu lagi!" Dia yang hendak membalikkan badan jadi tertahan dan berdiri tegak seperti posisi semula. "Jangan kasih tau rencana ini ke siapa pun! Cukup kita berdua, aja, yang tau."
......***......
Dua mata pelajaran sudah berlalu dan aku sama sekali tidak bisa menyimaknya dengan baik. Otakku terus memikirkan keputusan yang tepat tentang balas dendam ini. Aku merasa kalau ini bukanlah jalan yang tepat, tetapi jalan yang layak untuk dicoba. Ucapan Kak Bagas dan Kak Sonia bersumbu dalam inti yang sama. Mereka sama-sama menyarankan supaya aku memiliki kekasih baru, sehingga bisa diperlihatkan kepada si Arfan dan Cecilia. Namun, apa benar semua pemikiran manusia sama? Bukankah aku perlu mendengar pernyataan Riska? Ya, siapa tahu saja jalan pikirnya berbeda dari Kak Bagas dan Kak Sonia.
"Ris," bisikku karena tak ingin didengar teman yang lain. Berhubung guru mata pelajaran Biologi tidak hadir, kami diperintahkan untuk menulis soal dan mengisinya di kertas selembar.
"Kenapa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari papan tulis yang sedang diisi oleh Putri—sekretaris kelas.
"Aku sambil curhat boleh?" Aku agak takut dia terganggu.
"Sok, curhat! Jangan ditanggung sendiri! Kamu udah enggak masuk tiga hari, pasti berat banget, kan, enggak ada temen berbagi." Kali ini dia berkata sambil menatapku dalam dan penuh rasa iba.
Aku tersenyum, merasa lega karena di kelas ini masih ada yang mau mendengar keluh-kesahku. "Ris, kalau kamu jadi aku, kira-kira mau ngapain?"
"Cari pacar baru," katanya begitu cepat menjawab pertanyaan.
"Ih," decakku sambil menyenggol lengannya. "Pikirin dulu baik-baik!"
"Serius." Dia berkata penuh keyakinan sekarang. "Kamu harus cari pacar baru, Ra! Tunjukkin ke semua orang kalau Arfan, tuh, mantan, bukan sekedar temen deket, doang!"
Astaga, semua orang berpikiran sama. Aku melongo dengan pandangan lurus ke papan tulis. Otakku seperti dicuci habis-habisan oleh tiga orang sekaligus. Intinya, aku memang harus mencari pengganti, kan? Sayangnya, aku belum siap membuka hati karena takut dibodohi kembali. Namun, ada satu hubungan yang bisa membuatku mendapatkan pasangan tanpa perlu membuka atau memakai hati, yakni tawaran Kak Bagas. Aku harus menyetujuinya.
......***......
Sesuai perintah, aku menunggunya di atap gedung dengan membawa selembar kertas dan sebuah pulpen di kedua tangan. Kak Bagas belum datang karena bel baru berbunyi lima menit yang lalu. Mungkin dia sedang dalam perjalanan kemari. Tak apa jika dia terlambat. Niatku sudah bulat dan mantap, sehingga bisa memandangnya dengan hal-hal yang lebih positif.
"Udah nunggu lama?"
Suara orang yang kutunggu terdengar. Benar prediksiku. Dia terlambat, bukannya tak datang. Aku berdiri untuk menyambutnya dengan sopan. Sengaja berperilaku lebih baik dari tadi pagi karena kami akan menjadi partner bisnis sebentar lagi.
"Kalau udah bawa kertas, berarti udah deal, dong, ya?" tanyanya dengan mata menyipit karena terik matahari menerjang kami.
"Udah deal, Kak," sahutku cepat karena sudah mulai merasakan hawa panas dan terbakar.
"Oke, kalau, gitu. Keburu makin panas, kita percepat, aja, rapatnya, ya?"
Gila, benar! Cuma berdua dibilang rapat. Sungguh aku ingin tersenyum sebenarnya, tetapi malu karena kami belum terlalu dekat.
Kak Bagas mengajakku berpindah posisi. Kami duduk di anak tangga dekat pintu masuk ke area atap. Jujur, tempat ini lebih baik, adem, dan nyaman. Tanpa takut celana dan rok kotor karena lantainya di sapu terlebih dulu oleh Kak Bagas.
"Coba saya pinjem dulu kertasnya!"
Aku menyerahkan kertas dan pulpen ke uluran tangannya. Dia terlihat menulis beberapa patah kata sebelum menyerahkan kertas itu padaku. "Tulis semua syarat kamu buat saya!"
"Aku dulu, nih, yang nulis?" Sedikit gugup karena baru pertama kali aku duduk berdampingan dengan Kak Bagas.
"Kamu dulu, aja! Biasanya cewek suka banyak maunya."
Sial! Menusuk hati, tetapi memang ada benarnya. Alhasil, akibat ucapannya barusan, pikiranku berubah licik dan besar kepala. Aku tidak akan tanggung-tanggung lagi sekarang. Tidak akan malu-malu lagi dan langsung bablas saja.
Aku menuliskan beberapa syarat di kertas putih itu dengan hati-hati. Berpikir perlahan karena takut ada yang terlewat satu poin penting. Entah berapa menit waktu yang aku habiskan untuk menulis daftar syarat ini. Tanganku baru mau berhenti setelah mencatat poin di angka 10. Bagiku, sepuluh syarat terhitung standar. Aku menulis sebanyak ini dengan harapan Kak Bagas pun menulis syarat dengan jumlah yang sama.
Kertas yang sudah aku bubuhkan syarat, kembali kuberikan kepada Kak Bagas. Tanpa membaca isinya, dia lekas menulis syarat yang hendak diajukannya padaku. Tak lupa dia juga mencantumkan kolom tanda tangan yang akan kami gunakan sebagai sakralnya sebuah perjanjian.
"Oke, sekarang saya baca syarat dari kamu, sehabis itu kamu baca syarat yang saya minta, ya?" pintanya yang lekas kusetujui dengan anggukan.
"Syarat dari pihak Dara." Kak Bagas mulai membacakan syarat dariku. "Satu, wajib memperlakukan Dara dengan baik. Dua, tidak berperilaku kasar meskipun sedang berselisih. Tiga, membuat nama kesayangan dan tidak malu jika dipanggil dengan nama tersebut meskipun di depan semua orang. Empat, wajib menyimpan nomor telepon dan mengikuti media sosial pasangan. Lima, diizinkan memposting foto pasangan. Enam, selalu hadir di setiap postingan pasangan, baik like ataupun komen. Tujuh, datang atau pulang ke sekolah bersama jika ada kesempatan. Delapan, wajib menunjukkan keromantisan di depan semua orang. Sembilan, dilarang dekat dengan lawan jenis selama kontrak berlangsung. Sepuluh, wajib mengirim kabar kepada pasangan."
Kak Bagas terdiam, dia seperti hendak mencernanya. Aku yang bersedia memberinya waktu untuk berpikir tidak menyela keheningannya.
"Kenapa nomer sepuluh wajib?" tanyanya dengan wajah datar.
"Biar kesannya aku tau segalanya, gitu. Kalau misal Kakak sakit, aku orang pertama yang tau ketimbang mereka. Jadi, kan, meyakinkan banget." Aku menjelaskan secara hati-hati karena takut dianggap memanfaatkan kesempatan untuk mendekatinya.
"Kamu keren juga, ya. Ide ini saya yang buat, tapi kamu yang lebih paham sampe ke akar-akarnya." Kak Bagas menahan tawa sambil terus menggelengkan kepala.
"Ya, kan, namanya juga akting. Kalau enggak detail bisa ketauan." Aku menjadikan alasan hal yang sudah jelas.
"Tapi kamu tenang, aja, sih. Saya sebisa mungkin kasih kamu kabar, kalau perlu kita tuker chat, aja, tiap hari." Ucapannya terasa begitu menjanjikan.
"Boleh, sih, bagusnya emang kayak, gitu." Lekas aku setujui. "Soalnya gini, Kak. Cewek, tuh, kadang suka pinjem-pinjeman hape. Kadang ada juga yang suka ngepoin chat atau galeri orang."
"Oh, iya?" Dia seperti baru pertama kali mendengarnya. "Ya, udah, kita tuker chat, aja, tiap hari."
"Aku, sih, siap-siap, aja, Kak. Oh, iya, sejauh ini syarat dari Dara gimana? Takutnya ada yang lebay dan bikin Kakak terbebani." Hatiku berubah tak karuan, aku takut ada syarat yang dikira berlebihan.
"Nomor tujuh itu, saya harus anter-jemput kamu, ya?" tanyanya memastikan.
Aku yang tak ingin lagi dianggap cewek manja kepada pasangan buru-buru memberikan penjelasan. "Enggak, Kak, maksud nomer tujuh itu gini, misal kita janjian di pertengahan jalan, nanti Kakak bonceng aku buat sampe sekolah. Mau pulang juga, gitu. Kakak bonceng aku dari sini, terus turunin di pertengahan jalan yang sepi."
"Emang rumah kamu di mana?" Pertanyaannya terdengar serius.
"Jalan Cihampelas," ucapku tanpa ragu.
"Ya, udah saya anter-jemput. Satu arah, kok, rumah saya di Dago."
Tanganku spontan mengibas. "Enggak usah, Kak. Mending lakuin sesuai yang aku bilang, jadi enggak ngerepotin."
"Justru cara kamu ribet. Nanti kalau orang liat pas saya lagi nurunin kamu di tengah jalan gimana?"
Iya, juga, sih. Aku terdiam dan menatap kertas yang masih dipegang Kak Bagas. "Ya, udah. Nanti Dara bakal sering-sering bawa motor, ya! Biar enggak tiap hari juga barengnya." Aku memutuskan. "Sini, Kak, sekarang giliran Dara yang baca syarat dari Kakak."
Kertas itu aku rebut kembali. Tanganku menggenggam kedua sisinya kuat-kuat karena penasaran dengan syarat yang diajukan Kak Bagas. Namun, mataku sontak membulat saat mendapati hanya satu syarat yang tertulis di sana.
"Baca, dong!" pinta Kak Bagas seolah tahu kalau diri ini tengah tersentak.
"Ini serius, Kak?" Aku memandanginya penuh keraguan. Dia yang menganggukkan kepala menyentuh keberanian diriku untuk mulai membacanya. "Syarat dari pihak Bagas. Dara harus bertahan sampai kontrak dinyatakan selesai." Tatapanku beralih lagi ke arah wajahnya. "Serius cuma ini?"
"Iya," ujarnya disertai senyum yang lembut. "Saya cuma pengen kamu bertahan sampai akhir."
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Nazwaputri Salmani
akhirnya sampai kapan tuh
2023-05-12
0
safana valiqa
Bagas ikut sakit hati melihat gadis yg dia sukai diputuskan dengan cara yg pengecut..jiwa lelakinya berkobar..antara senang dara putus. tapi gak tega lihat dara terluka..dia ingin menjadi penyembuh luka itu..semangat Bagas.. selamat ya dara disia siakan sama mantan dapat nya berkali2 lipat baiknya dari mantan
2022-12-10
0
༄༅⃟𝐐🧡𝐌ɪ𝐌ɪˢᵒᵏIᗰꀎ꓄❣︎Kᵝ⃟ᴸ🦎
aseekk 👏👏👏
dapat pacar baru walaupun masih pacar kontrak. aku kutuk jadi beneran, qiqiqie 😁😁🤭😂🤣🤣🤣
2022-03-14
0