"Dara, sebentar, ya! Bagas pasti lagi cari buku-bukunya." Ibunya Kak Bagas yang baru kukenali bernama Ester itu terlihat khawatir aku bosan karena menunggu terlalu lama.
"Iya, Bu, enggak pa-pa. Daranya juga enggak buru-buru." Aku menenangkan beliau dengan setulus hati. Bu Ester orang yang ramah dan baik. Beliau sukses membuatku betah, padahal ini baru kali pertama bertamu ke sini.
"Kamu mau susul ke atas?" tanya beliau sembari menunjuk lantai tempat Kak Bagas mencari buku tersebut. "Susul aja, ya! Kasian kalau Dara nunggu di sini. Ibu mau ke dapur dulu, siapin makan siang buat kalian."
"Ah, Ibu, enggak usah. Serius Dara enggak pa-pa kok. Dara tunggu Kak Bagas di sini aja," tolakku benar-benar sungkan.
"Enggak pa-pa, lagian Bagas nyari bukunya di gudang kok. Bukan di kamar."
Aih, padahal aku tidak memikirkan kamar anaknya sama sekali!
"Susul aja, ya! Biar cepet ketemu juga bukunya. Jadi, nanti kalian cepet makan siang juga." Belum lagi aku menolak, beliau sudah lebih dulu membungkam mulutku dengan memanggil anak ciliknya. "Baim! Bawa Kak Dara ke Kak Bagas, dong, Nak!"
"Mau ngapain?" tanya Baim dengan kepala terangkat dari layar televisi yang mempertontonkan serial Spongebob.
"Bantu kakak kamu cari buku." Bu Ester lekas menggenggam tanganku. "Dara ikut Baim, ya! Ibu ke dapur dulu."
Baim yang diperintah untuk mengantarku lekas berjalan menghampiri. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, dia menggenggam sebelah tanganku. "Ayo, Baim anterin!"
Tak mampu menolak anak yang menggemaskan ini, aku memilih tidak melepaskan genggaman tangannya. Kami berjalan berdampingan, menaiki tangga menuju lantai dua tempat Kak Bagas mencari buku-bukunya.
"Maafin, ya, Dara! Udah Baim bilang, Kak Bagas itu bodoh. Kalau disuruh cari barang pasti ketemunya lama."
"Baim kok sebut Kak Bagas bodoh terus, sih?" Aku tidak paham kenapa adiknya begitu ingin menjatuhkan sang kakak.
"Ya, emang bodoh, Dara! Kak Bagas suka nempelin upilnya ke baju Baim. Bodoh, kan?"
Ah, jadi karena dendam kesumat! Sekarang aku mengerti alasan Baim sering menyebut Kak Bagas bodoh. Ya, memang bodoh, sih! Sudah tahu jorok masih dilakukan. Anak kecil tidak mungkin berbohong, kan?
"Ini, Dara!" Baim melepaskan genggaman tangannya saat kami sampai di depan pintu yang tertutup.
"Ini gudang?" tanyaku hati-hati.
"Bukan." Kepalanya menggeleng pasti. "Ini kamar Kak Bagas."
"Hah?" jeritku tertahan karena takut ketahuan yang empunya kamar. "Kok ke sini?"
"Baim tadi liat Kak Bagas masuk ke sini," tunjuknya pada pintu yang tertutup. "Pasti mau beres-beres kamar. Mending Dara liat, deh! Kamarnya kayak kandang unta."
"Eh, Baim ...." panggilku karena dia berlari terburu-buru setelah mengatakan itu. Tak mau kepergok berada di depan pintu kamarnya, aku memilih melangkah pelan untuk menyusul kepergian Baim.
"Dek?"
Suara pintu dan panggilan itu terdengar bersamaan. Tubuhku tersentak hingga mematung di tempat. Baru selangkah, tetapi sudah tertangkap basah. Aku tak berani untuk membalikkan badan. Wajahnya pasti tengah menatapku heran. Ah, aku merasa menjadi gadis mesum sekarang.
"Nunggunya kelamaan, ya?" Suaranya terdengar lagi.
Tubuhku menegak, berusaha terlihat baik-baik saja, padahal hati teramat ketar-ketir. "I-iya, Bang." Aku memberanikan diri membalikkan badan.
"Oh, ya, udah. Ayo, masuk dulu!" ajaknya begitu tanpa beban.
"Ke sana?" Sekilas aku tak menyangka Kak Bagas begitu mudah mengajak seorang wanita memasuki wilayah pribadinya.
"Iya. Ayok!" Tanganku digenggam erat. Tidak mendengar persetujuan dulu, Kak Bagas langsung menarikku sampai mau mengikutinya ke dalam kamar.
Kamar yang digadang-gadang mirip kandang unta itu membuatku tercengang. Pertama menjejakkan kaki saja aroma lavender dari humidifier diffuser melesak memenuhi rongga hidungku. Menenangkan dan menyegarkan. Terlihat jelas penampakan kamarnya yang tidak dipenuhi banyak barang. Kasur bernomor 2, lemari tiga pintu yang berwarna putih, dua nakas di samping kasur, meja belajar, rak buku, hingga TV yang sengaja dipasang di dinding kamar . Apanya yang kandang unta, sih? Bahkan kamarku saja tidak serapi ini.
"Sebentar, ya! Abang lagi ngerjain dulu makalah Farmakologi, deadline-nya jam 4 sore. Takut enggak keburu kirim email." Dia melangkah seorang diri menuju meja belajar setelah berhasil menarikku memasuki wilayahnya.
Kak Bagas dengan pasti duduk di balik meja dan layar laptop yang menyala. Sebelum mengetik, dia masih menyempatkan diri memperhatikan kenyamanan tamu yang mengganggunya. "Duduk di ranjang aja! Remote TV ada di situ kok."
Sayangnya, aku tidak terlalu dekat dengan TV meskipun bisa menonton Drama Korea di sana. Mataku berkeliling mencari objek yang bisa kujadikan sasaran dalam menghabiskan waktu.
"Itu buku paketnya, Bang?" Telunjukku mengarah ke tumpukan buku yang ada di atas nakas.
"Hah?" Kepalanya menoleh sebentar. "Iya, totalnya ada 10. Adek liat dulu aja, kalau ada yang kurang nanti abang pinjem dari Wisnu."
Langkahku menepi di samping nakas. Alih-alih duduk di tepi ranjang, aku memilih duduk di lantai sambil bersandar ke pinggiran kasur. Satu per satu buku paket kubuka. Sejauh ini lengkap, sih. Semua buku kejuruan ada. Seingatku Riska juga meminjam sepuluh buku.
Sudah memastikan tidak ada yang terlewat, aku membuka buku berjudul Farmakognosi. Buku pelajaran yang berisi nama-nama tumbuhan yang bisa dijadikan obat, diulas lengkap. Baik dari segi nama, manfaat, kandungan, hingga cara pengolahan dan penyimpanan. Beberapa menit membaca mataku mendadak terasa berat. Entah berapa kali aku menguap. Aku sempatkan diri melirik Kak Bagas yang masih terjaga dalam tugasnya. Mumpung masih sibuk, aku memutuskan untuk terlelap sejenak.
Posisi dudukku ubah. Aku merapatkan kaki dan menundukkan kepala sampai keningnya menyentuh lutut. Sebentar, aku hanya akan terlelap sebentar.
......***......
Kesadaranku datang saat tubuh terasa diangkat seseorang. Aku tidak mau membuka mata karena malu setengah mati. Baru pertama kali bertamu, tetapi sudah ketiduran, di kamar cowok pula. Alamak! Mau ditaruh di mana mukaku? Ada baiknya aku menutup mata seperti orang tertidur pulas sampai proses memindahkan tubuhku ini selesai.
Benar-benar pro. Kak Bagas mengangkat tubuhku dengan hati-hati. Terasa kepalaku diletakkan di bantal dengan telaten. Tubuhku sampai dibantu terlentang dengan rapi. Belum selesai sampai di situ, aku juga merasakan sehelai selimut ditarik dari ujung kaki sampai menyentuh leher. Aku masih menahan diri untuk membuka mata. Napasku atur sedemikian rupa agar terlihat tenang dan nyaman. Sungguh akting tidur sangatlah berat. Aku takut ketahuan karena jantung terus berpacu hebat.
Bukannya pergi setelah memindahkan tubuhku, Kak Bagas malah duduk di tepi ranjang, mengelus rambutku sambil membisikan sesuatu. "Makasih banyak karena udah bertahan melewati hujatan. Sesulit apa pun nanti, abang harap Adek jujur dan terbuka. Abang mau Adek ceritain semua kesulitan di sekolah, baik itu hujatan sampai ke arah ngerusak mental, tolong jujur, ya! Jangan dipendem sendiri! Abang enggak mau kehilangan orang karena ulah orang lain. Abang pengen tunjukin ke semua orang, kalau abang juga bisa jaga pacar lebih dari tiga hari."
Ya Tuhan, aku tidak bisa lagi bersandiwara. Aku tak tahan ingin bertanya.
Terasa Kak Bagas menarik diri dari pinggiran ranjang. Tak mau kehilangan kesempatan, aku bergegas membuka mata dan menahan tangannya. "Abang," panggilku sedikit serak. "Siapa?"
"Hem?"sahutnya dengan alis terangkat.
"Cewek yang udah ninggalin Abang tiga hari setelah jadian, siapa orangnya?"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Abidah
critanya bagus kok
2022-02-24
0
dhapz H
siapa bagas pacar yg hanya tiga hari
2022-02-23
0
Nacita
siapa sih? apa s cecil org nya 🤔
2022-02-21
0