Pertama masuk kelas, kami disuguhi dengan materi perkenalan. Berkenalan dengan wali kelas yang bernama Bu Wilas, diminta memperkenalkan diri kepada semua orang, dijelaskan perihal silabus semester satu yang akan kami lakoni selama enam bulan ke depan. Kami juga memilih seperangkat pengurus kelas. Berkat teriakan Riska yang merekomendasikanku, jadilah aku yang terpilih sebagai wakil ketua murid untuk menemani Yoga.
Bel istirahat pertama berbunyi setelah berkenalan dengan guru kedua. Beliau menggenggam kendali atas mata pelajaran Matematika, Pak Zuhara. Layaknya siswa pada umumnya, aku dan Riska berlarian menuju kantin umum. Sudah terbayang di depan mata kerumunan orang yang akan menghalangi jalan ke kedai-kedai makanan. Sewaktu MOPD saja berantakannya sampai tak sempat membeli makanan, apalagi sekarang. Tiga angkatan sekaligus akan mengantre untuk mendapatkan kekenyangan.
Benar saja. Sesampainya kami di lokasi sudah banyak anak yang mengantre di setiap kedai. Kami menyusuri satu per satu untuk memprediksi kedai tercepat dalam hal pelayanan. Dua kali bolak-balik pintu masuk sampai pintu keluar, tetapi kami belum memutuskan menu makanan yang pas. Alhasil, kami mematung di tengah jalan.
“Ra, bingung aku kalau udah liat banyak kepala kayak gini.” Riska terlihat memijat lembut pelipisnya.
“Menurut pengamatanku, yang paling cepet itu fried-chicken sama minuman kemasan, deh.” Aku sekadar memberi masukan, daripada kami berdiam diri dan berakhir tidak mendapatkan apa-apa.
“Hah!” Dengkusan Riska begitu keras. “Seminggu kemaren kita udah makan itu, kamu enggak bosen, Ra?”
“Daripada enggak makan, hayo?” Aku menunjuk wajahnya disertai tatapan menguji. Jika memang ada pilihan terbaik, mengapa harus repot berjejal demi mendapat kepuasan semata? Tekadku spontan membulat. “Udah, ah! Aku mau makan fried-chicken, aja.”
Tanganku tiba-tiba ditahan keras oleh Riska. “Apaan?” tanyaku menatap bingung wajahnya. Tatapannya bukan padaku, dia seperti menangkap sosok yang berdiri di belakang tubuhku.
“Permisi!” Suara berat itu menarikku untuk menolehkan kepala. “Ada bangku kosong, kalian bisa duduk di sana, gratis, kok! Tolong jangan ngehalangi jalan, ya!”
Sopan, tetapi terdengar mengusik. Kenapa, ya?
"Maaf, Kak!” Riska mengambil langkah mundur sembari menarikku untuk mengikuti jejaknya. Lelaki itu tersenyum tipis dan berjalan setelah langkahnya tidak terhalangi.
"Dia siapa, sih?” tanyaku sedikit meninggikan suara. Aku merasa sering melihatnya, tetapi tak ingat dengan namanya.
"Ketos, Ra!” jerit Riska tertahan. “Masa lupa?”
“Lupa.” Aku menggaruk tengkuk yang terasa gatal.
"Ya, ampun, cowok ganteng maksimal kayak begitu kamu lupa. Emang dasar bucin Arfan.”
Tepat saat Riska mengejekku, Kak Arfan muncul di ambang pintu. Seorang diri dia melangkah dengan kedua tangan yang dimasukkan ke kantong celana. Aku sempat menangkap kepalanya mengangguk disertai senyum ramah saat berpapasan dengan lelaki yang disebut Ketua OSIS oleh Riska. Ah, benar berarti. Informasi yang kudengar barusan akurat. Kak Arfan tidak mungkin menyapa orang yang tidak dikenal.
"Kok, malah bengong?” tanyanya setelah sampai di hadapan kami.
“Tadi mau beli fried-chicken, tapi kehalang orang itu.” Telunjukku mengarah ke punggung lebar lelaki itu.
“Bagas?” tebak Kak Arfan setelah menoleh sebentar.
“Ketua OSIS, kan, Kak?” Terdengar nada yang semringah dari teman di sampingku. Kenapa mendadak Riska jadi semangat begini, ya? Perasaan tadi dia loyo karena melihat banyaknya kepala yang berjejalan.
“Iya. Pimpinan kamu kalau nanti masuk OSIS, Dol.” Kak Arfan mengacak rambutku dengan tatapan penuh sayang.
"Eh, kamu mau masuk OSIS, Ra?” Lengan Riska mendadak mengalungi lenganku.
“He-em,” sahutku disertai anggukan kecil.
"Ikutan, ah, mumpung ada temen.”
“Boleh, boleh.” Aku dengan senang hati akan mengajaknya mendaftar bersama nanti.
"Kalian beneran mau pesen ayam?” Pertanyaan Kak Arfan menarik kami agar kembali fokus menghadapi situasi kantin.
"Emang kenapa, Kak?” tanya Riska bingung.
“Ya, takutnya ada makanan lain yang mau kalian makan.”
"Kakak mau traktir kita?”
Spontan aku menyenggol lengannya. “Bukan,” sanggahku cepat. “Kak Arfan mau menawarkan diri buat antre. Percaya, deh, kalau sama pacarku antrinya bakalan cepet.”
"Seriusan?” Mata Riska jadi berbinar. Semacam menemukan cahaya kehidupan yang sudah setengah abad dicarinya. Aku cukup menjawabnya dengan anggukan. Dua hari terakhir saat MOPD kemarin, fried-chicken yang dipesan Kak Arfan lebih cepat datang ketimbang yang kupesan. Alhasil aku membawa milik pacarku lebih dulu ke meja kami. Sayangnya, Riska tidak mengetahui fakta itu karena aku lupa memberitahunya.
“Oke, kalau gitu aku mau pesen mie kocok sama jus jambu.” Riska mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah.
“Kalau Dodol?”
“Samain, aja, kayak Riska.” Sebenarnya, aku tidak terlalu doyan mie dan bakso, tetapi berhubung yang akan mengantre adalah Kak Arfan dan melihat kedainya dijejali banyak siswa. Ada baiknya, aku tidak menyusahkan pacarku dan memesan makanan yang sama.
“Yakin?” tanyanya penuh keraguan karena tahu kesukaanku bukanlah itu.
"Yakin, Sayang,” jawabku mantap.
“Minumnya juga samain?” tanyanya memastikan.
“Es jeruk, aja.”
"Oke, kakak ambil pesanan kalian dulu. Kalian cari bangku, gih! Duduk di sana, gratis, kok!”
Sebentar-sebentar. Kenapa bahasanya sama dengan Kakak yang tadi, ya? Ini slogan mereka atau apa, sih? Kenapa bisa sehati begitu?
...***...
Riska tak berhenti memandangiku, kedua tangannya sampai menopang dagu. Entah apa yang berkelebat di pikiran anak ini. Aku yang tak mau ambil pusing memilih mengekori derap langkah kekasihku. Dia lebih dulu berjalan menerobos antrean mie kocok kaki sapi, menghilang beberapa menit, lalu keluar sembari mengembuskan napas lega. Tertulis jelas di wajahnya, pesanan satu sukses!
Kakinya terus melangkah menuju makanan kedua. Nasi padang. Tumben benar Kak Arfan memesan itu? Biasanya, kan, dia memilih lontong kari atau lotek. Pandanganku terpaksa teralih karena Riska mencolek lenganku.
“Ra, bisa bantuin aku cari cowok macam Kak Arfan, enggak?”
“Enggak,” jawabku pasti dan tak perlu berpikir dua kali.
“Hah? Kenapa?” Keningnya mengernyit dalam. “Jangan asal jawab dulu, Ra. Coba kamu pikir baik-baik, ih! Kalau aku punya pacar macam Kak Arfan, menu makan siang kita bakalan aman seterusnya.”
“Ris! Percaya, deh! Aku udah bertaun-taun nyari biar samaan kayak temen-temenku, tapi nyatanya Kak Arfan itu cuma satu di dunia dan itu jelas milik Dara Dwiana.”
Riska langsung mengerucutkan bibir. “Nyesel, sumpah! Aku enggak akan bahas ini lagi. Malah jadi makan hati.”
Aku tergelak mendengar jeritan hatinya. Riska sama persis dengan Ingeu dan Fuji yang mengharap dicarikan pacar seperti Kak Arfan. Namun, memang begitu adanya. Aku sudah berusaha mencari, Kak Arfan pun berusaha membantu dengan mengenalkan teman-temannya, tetapi hasilnya sama. Nihil.
Tak perlu waktu lama, dari kejauhan terlihat Kak Arfan melangkah menghampiri kami dengan nampan berisi satu mangkuk dan satu piring. Keningku mengernyit penuh keheranan. Bukankah seharusnya ada dua mangkuk? Apa pesananku belum selesai?
“Sesuai pesanan, ya, Mbak.” Logat Kak Arfan sudah menyerupai ojek online yang membawa pesanan pelanggan.
“Makasih, Kak.” Riska yang menyahut lebih dulu tanpa melihat isi nampan yang dibawa kekasihku.
“Kok, nasi padang?” tanyaku masih bingung.
“Kakak tau, kamu pesen mie kocok karena enggak mau ngerepotin, kan?”
“Eh, enggak pa-pa, Kak! Aku serius mau makan mie kocok hari ini.” Apa aktingku sudah tampak bagus? Ayolah, Kak Arfan tidak boleh menyadari kedustaanku.
“Sayang, kita udah jalan hampir tiga tahun. Kakak tau kamu enggak terlalu suka mie dan bakso. Kamu doyannya nasi padang atau nasi kuning. Jadi, makan ini, ya!”
“Aaaaahhhhhh,” jerit Riska heboh sendiri. “Di sini ada yang jual tiket buat pindah planet, enggak, ya? Aku enggak tahan sumpah depan kalian!”
Kak Arfan tidak menanggapi ocehan Riska dan memilih pamit kembali. “Kakak ambil minum dulu.”
Tanganku menjadi kegemasan Riska. Dia menarik dan mencubitiku habis-habisan. “Apa, sih?” bentakku menahan amarah. Dia terlalu berlebihan, sumpah!
“Ngiri-ngiri-ngiri. Serius, deh! Kenapa kalian bisa kenal, sih?”
“Kan, satu SMP.” Jawaban yang sudah pasti.
“Bukan, maksudnya kenapa bisa sampe jadian?” Pertanyaan yang terdengar lebih masuk di akal.
“Dulu, dia OSIS juga. Mentorku di kelas. Awalnya, sih, karena sering tuker gombalan. Eh, taunya sehabis ospek ditembak depan semua orang.”
“Depan semua orang? Beneran?”
“Iya lah,” sahutku yang masih mengingat dengan jelas momen bersejarah itu.
“Berkaca dari hari ini, kayaknya waktu momen tembakan romantis banget, ya?”
“Ember.” Aku tersenyum sambil terkekeh-kekeh. Sudah ratusan komentar yang kudengar tentang tembakan depan umum itu.
“Sayang, ini minumnya!” Kak Arfan datang tiba-tiba dan menyimpan nampan berisi dua gelas dengan tergesa.
“Kakak mau ke mana?” tanyaku ikutan bangkit.
“Dipanggil pembina, enggak tau mau ngapain.”
“Kan, belum makan,” semprotku yang tak terima jadwal makan kekasihku diganggu orang lain.
“Urgent, katanya.” Kak Arfan meronggoh ponsel dan melihat kembali layar yang menyala. “Kakak pergi dulu, ya!”
“Tunggu-tunggu,” tahanku dan bergegas mengambil sendok dari tempatnya. Aku bawa piring berisi nasi pandang ke hadapan Kak Arfan guna memberinya beberapa suapan. Dia yang sudah paham akan hal itu lekas mengunyah suapan demi suapan yang kuberikan.
“Makasih.” Mulutnya yang dipenuhi nasi berusaha berucap.
“Tunggu!” Aku kembali menahan lengannya dan mengulurkan segelas es jeruk. “Pasti abis ini lari-lari, kan? Kunyah dan telen dulu yang bener.” Kak Arfan mengangguk dan menurut. “Ini minum dulu.”
Aku memastikan Kak Arfan pergi dari kantin tanpa terhalang suatu apa pun. Mataku baru fokus menangkap wajah Riska yang menganga efek melihat keromantisan kami yang lain. “Kenapa?” tanyaku dan kembali duduk di tempat semula.
“Jujur, aku kalau jadi Arfan bakalan sayang banget sama kamu.”
Hah, ucapannya sukses membuatku besar kepala. Dia seolah berkata kalau aku layak untuk didapatkan dan dicintai dengan benar.
“Serius! Kamu perhatiannya maksimal.” Jempolnya sampai mengapung di depan wajahku.
“Ada alasannya, sih.” Bibirku tersenyum setiap kali mengingat moto hidup dalam berpacaran.
“Apaan, tuh?” Riska baru menarik diri dari wajahku, tangannya perlahan mengambil sendok dan garpu dari kotak penyimpanan.
“Asalkan dia enggak ngelepasin tanganku duluan, sebisa mungkin aku bakalan kasih yang terbaik buat dia. Semaksimal mungkin aku bakal jaga dan bahagiain dia.”
“Kalau hasil akhirnya enggak berjodoh gimana?”
Mungkin Riska akan mendapat tamparan keras, jika bertanya kepada wanita yang sedang cinta-cintanya terhadap pasangan. Namun, aku sudah menyiapkan hati dan pikiran dari jauh-jauh hari. Jika sewaktu-waktu hal itu memang terjadi kepada hubungan kami, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa selain ikhlas. “Ya, udah aku terima, aja. Toh, aku udah memberikan kenangan indah buat dia. Aku enggak akan ngerasa penasaran sampai menyesal di akhir cerita.”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
eman hermawan
👍👍👍🥰
2023-01-07
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
manis tapi khawatir ada pahit²nya😰😰😓😓
2022-03-13
0
dhapz H
manis tapi jangan lupa paitnya
2022-02-22
2