Acara pembacaan kontrak sudah selesai. Kami berlanjut mendiskusikan hal penting lainnya, mulai dari kontrak pacaran yang akan berakhir setelah tiga puluh hari, panggilan Abang-Adek sebagai nama kesayangan, bertukar nomor ponsel, hingga saling mengikuti akun Instagram.
Dari semua yang kami siapkan itu, ada satu hal yang paling membuatku tercengang. Akun bs123ja ternyata belum memiliki pengikut sama sekali. Tak menyangka, dong! Sekelas Kak Bagas yang fansnya berjibun di SMK Farmasi Bangsa, tidak memiliki following Instagram.
"Kenapa?"
"Hah?" Aku balik bertanya. Apanya yang kenapa? Kenapa dia bertanya begitu padaku?
"Kenapa diem, aja?" Kak Bagas memperjelas pertanyaan. "Pasti lagi bingung, kan, soal followers saya?"
Ah, dia pandai menebak rupanya.
"Mereka enggak tau kalau saya punya IG. Sengaja enggak follow siapa pun termasuk sekolah karena engga mau akun saya di kepoin banyak orang."
Iya, juga, sih. Sekarang saja banyak akun tak dikenal yang mengikutiku demi mencari tahu aktivitas dan kesalahanku. Rasanya sesak, seperti segala tingkahku akan direkam dan disebarkan oleh mereka.
"Kalau, gitu, kita enggak usah saling follow, aja." Aku memberi usulan. Kak Bagas sudah tenang dalam hal media sosial. Jika dia mengikutiku, ketenangannya dipastikan akan berakhir.
"Enggak masalah. Kalau kita enggak aktif di IG, mereka enggak akan sepenuhnya percaya."
Aku tak kuasa menahan diri untuk tersenyum. Ada, ya, lelaki macam Kak Bagas? Mengusahakan segala hal supaya rencana berjalan baik dan sempurna. Sekarang aku paham alasan semua orang memilihnya untuk memegang kendali organisasi. Dia bukan hanya bisa dipercaya, tetapi juga memiliki loyalitas yang tinggi.
"Oke. Udah semua, kan?" Kak Bagas bertanya karena takut ada langkah yang terlewat.
"Kak." Masih ada yang mengganjal dipikiranku, sih, tetapi aku malu mengungkapkannya.
Kak Bagas menatapku tanpa suara. Dia seperti memberiku kebebasan untuk mengutarakan pendapat. Penuh rasa ragu yang menghadang, tetapi aku berusaha menyampaikan pendapat agar kami memiliki keterbukaan satu sama lain. Mungkin sebelum mengutarakan inti permasalahan yang mengganjal ada baiknya aku berbasa-basi terlebih dulu.
"Kita mulai aktingnya kapan?"
Pertanyaan pertama dijawabnya cepat. "Hari ini."
"Berarti hari ini kita harus publikasiin hubungan, dong?"
Pertanyaan kedua pun dijawabnya dengan wajah tenang. "Iya, nanti kita publikasiin."
Nah, pertanyaan inilah yang mengganjal dipikiranku tadi. "Publikasiinnya mau kayak gimana?"
"Kamu mau terima masukan saya, enggak?" Tanpa berpikir panjang, aku lekas menganggukkan kepala supaya Kak Bagas kembali bersuara. "Followers kamu ada yang anak sini, kan?"
"Ada, tapi cuma anak kelas X-1. Soalnya, akunku keburu panen hujatan. Jadi, agak takut buat buka privasi ke orang lain."
Kak Bagas terlihat memahami alasanku. "Enggak masalah, sih. Lagian gosip nyebarnya, kan, cepet." Dia masih menampakkan wajah tenang dan santai. "Sekarang kita foto pegangan tangan terus kamu upload di instastory, ya!"
Aku menurut, mengeluarkan ponsel dari saku rok, lalu mengaktifkan kamera. Tangan Kak Bagas terulur di hadapanku. Senyumnya yang terlihat merekah disertai tatapan teduh itu membuatku tergerak untuk menitipkan tangan dalam genggamannya.
Situasi semacam ini, menarik hatiku untuk mengucapkan bait-bait doa dengan tulus. Semoga cara ini bisa menghilangkan citraku sebagai orang ketiga di mata semua orang. Semoga dengan kerjasama ini, akun Instagramku kembali pulih dan berhenti menerima ujaran kebencian. Semoga kami bisa bahagia bersama-sama. Amin.
Satu tangkapan kamera tersimpan di galeri foto. Pegangan tangan kami pun terlepas karena aku harus membuka aplikasi Instagram untuk menggugah foto barusan. "Caption-nya apa, Kak?"
"Tag saya, aja, tapi pake konsep misterius."
"Hah?" Aku membutuhkan penjelasan lebih. Sesuai prediksi, bersama Kak Bagas, aku akan terus-menerus melongo karena tak bisa menjangkau daya pikirnya yang kelebihan muatan.
"Nih, tulisannya pake yang kayak huruf latin, terus warnanya kasih putih, aja. Ukurannya minimalis, simpen di atas tangan saya."
Aku menuruti semua instruksi tanpa membantah. Membiarkan Kak Bagas berekspresi sesukanya supaya bisa mengunggah status pertama kami dengan konsep yang dia bilang. Misterius.
"Oke, sip!" Dia menambahkan senyum puas. "Kayak, gitu, dulu, aja. Kalau kita buru-buru publikasi kayak Arfan kemaren, orang-orang pasti enggak bakalan percaya. Mending santai, tapi pasti."
Mulutku ikut-ikutan tersenyum puas. Tak sia-sia aku mengikuti perintahnya, ternyata memang Kak Bagas ahli, ya, dalam membuat orang penasaran. Aku tahu jelas makna yang ingin dia sampaikan. Dengan unggahan ini, anak-anak di kelasku pasti penasaran hingga berujung membuka nama yang aku sematkan di atas tangan misterius itu. Pada akhirnya, mereka akan melihat nama Bagas Raharja di akun tersebut, dan BOM! Gosip akan melesat dengan sendirinya.
......***......
Sesampai di kelas, aku menemukan Riska yang sudah uring-uringan. Dia memelototiku sambil berkacak pinggang. "Kamu darimana, sih? Tadi bilangnya mau ke toilet, tapi pas aku cek kagak ada. Aku cari di kantin enggak ada. Balik lagi ke kelas enggak ada juga. Bisa, enggak handphone-nya dipake? Kasih kabar atau kasih tau aku, kek? Jangan main ngilang-ngilang, aja!"
"Kok, kamu marah-marah, sih?" Aku jadi kebingungan karena Riska tidak seperti ini biasanya.
"Kamu, tuh, jangan pergi-pergi sendiri! Udah tau lagi disorot banyak orang. Minimal ajak aku, lah! Jadi, kalau ada yang ganggu aku bisa bantu atasin."
Hatiku terenyuh mendengarnya. Pada kondisi seperti ini masih ada orang yang peduli padaku dengan tulus rupanya.
"Nih, malah bengong lagi!" Sekantung plastik berisi nasi dan fried chicken tersulur di hadapanku.
"Makasih, ya!" gumamku dengan napas tertahan karena sesak. Kedua mata sudah memanas dan hampir berkaca-kaca. Riska memang orang harus aku jaga dan pertahankan dengan baik.
"Makan di bawah, aja!" ajaknya seraya duduk mendahuluiku. Kami memilih duduk di bawah papan tulis. Mengusung konsep lesehan, aku mulai membuka bungkusan nasi, meletakan sepotong paha ayam, lalu memakannya perlahan.
"Kamu belum makan?" tanyaku di sela suapan makanan.
"Belum." Kepalanya menggeleng disertai bibir cemberut. "Aku kalap nyari kamu. Takut di bully atau pingsan di suatu tempat."
"Apaan, sih?" Aku terkekeh-kekeh. Dia terlalu banyak menonton sinetron sepertinya. "Ris! Mereka tuh, cuma berani di medsos, doang! Percaya, deh!"
"Enggak," sanggahnya cepat. "Kamu belum tau, aja. Netizen di sini gilanya kebangetan."
Tanganku berhenti menyuap nasi karena lebih tertarik mendengar omongannya. "Maksudnya gimana?"
"Nih, ya, aku juga denger ini dari si Puput."
"Puput?" Keningku mengernyit. "Puput siapa?"
"Putri."
Aku tak kuasa menahan diri untuk tertawa. "Sejak kapan kamu deket sama dia?"
"Sejak mantan kamu bikin heboh di kantin. Dia jadi keliatan peduli, lho, sama kamu."
"Enggak percaya, ah! Orang, kan, sekarang punya dua muka." Aku enggan peduli padanya. Putri salah satu pendukung Arfan-Cecilia. Setidaknya, itu kesanku padanya saat pertama kami berkenalan. Kami belum terlalu dekat, tetapi dia sudah berbicara santai perihal Arfan yang menggoda Cecilia.
"Tapi apa yang diomongin dia jadi kenyataan, kan?" Riska masih terdengar membelanya. "Coba kalau waktu itu si Putri engga ngomong-ngomong apa-apa. Pasti sekarang kamu drop banget karena kebanyakan enggak nyangka."
Ada benarnya juga, sih. Gara-gara Putri aku jadi lebih peka dan menyadari kalau Arfan sedikit berbeda.
"Dia itu gudang info, lho, Ra. Segala tau."
"Oh, ya?" Sebuah ide muncul dibenakku. Kebetulan sekali, ada suatu hal yang ingin aku ketahui darinya. "Putri, sini, deh!" panggilku spontan disertai tangan melambai. Kebetulan sekali dia memasuki kelas.
"Mau ngapain?" Riska menatapku bingung.
"Kata kamu dia segala tau. Berarti dia tau Kak Bagas, dong?" Aku harus mempertanyakan ini. Harus.
"Emang kenapa sama Kak Bagas, hei!" Riska sudah mencengkram tanganku dengan mata melotot. Aku memaklumi, sih. Riska, kan, sempat kesemsem sama Kak Bagas waktu ditegur di kantin.
"Kenapa?" Putri sudah mendekat ke arah kami.
"Duduk, deh," pintaku dengan senyum manis supaya dia terbujuk. "Kamu tau Kak Bagas, kan?" Aku mulai melempar umpan.
"Ketua OSIS?" Putri memastikan.
"Iya." Riska menyahut dan setengah membentak.
"Iya, aku tau, kok."
Bagus. Saatnya mempertanyakan hal yang membuatku penasaran sedari tadi. "Menurut gosip dia orangnya kayak gimana?"
"Hah? Kenapa kamu tanya-tanya?" Putri langsung sewot. "Kamu mau move on dari Kak Arfan dengan jadiin Kak Bagas pelarian?"
"Woi, lo ngajak berantem, Ra!" Lenganku kembali dicengkeram Riska.
"Kagak, ih," tepisku keras karena ini sudah terasa menyakitkan. "Aku cuma iseng nanya."
"Jangan bohong lo, ya!" tunjuknya di depan wajahku.
"Kamu suka banget sama Kak Bagas?" tanyaku tanpa sadar. Harap-harap cemas, jantungku berdegup cepat. Takut mendengar jawaban Riska. Bagaimana jika orang yang sudah aku anggap sahabat, tiba-tiba menyatakan diri mencintai kekasihku? Maksudku, kami memang pacar bohongan, tetapi tetap saja, aku tidak akan bisa bebas berekspresi menunjukkan keromantisan di depan Riska nanti.
"Enggak juga, sih. Aku cuma ngefan karena dia ganteng. Kalau soal memiliki, aku bakal mikir dua kali."
"Lho, kenapa?" Aku bertanya-tanya. Kok, ada, ya, orang yang berpikiran begini?
"Dia terlalu populer, sedangkan aku rakyat jelata yang biasa, aja. Kebayangkan kalau aku pacaran sama dia. Itu fan-nya bakalan sengamuk apa coba?"
"Nah, ini!" Telunjuk Putri menunjuk wajah Riska. "Kak Bagas emang punya citra baik, tapi soal cinta, dia nol besar."
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
༄༅⃟𝐐🧡𝐌ɪ𝐌ɪˢᵒᵏIᗰꀎ꓄❣︎Kᵝ⃟ᴸ🦎
like mendarat di angka 345 kk👍👍👍
lanjut kk cemungut 💪💪👍
2022-03-14
0
manthili
aku suka nih tema tema novel yg kaya gini masalah tentang anak SMA, berasa ikut jadi anak SMA, dan berasa ikut masa masa SMA yg gk bisa aku alami.😁😁😁😁😁
2022-02-24
0
Abidah
critanya bikin hati terenyuh
2022-02-24
0