Sesampai di kelas, Riska menyambut kehadiranku dengan pelukan hangat. Dia menepuk bahuku lembut sambil membisikan kata-kata. "Everything is gonna be alright, Babe. Sabar, enggak pa-pa."
Aku mengangguk, pasti yang dia maksud hujatan di grup kelas. Entah kenapa aku merasa bisa menjalaninya dengan baik, asalkan mereka tidak main fisik. Pelukan pun terlepas karena bel pagi sudah berbunyi. Riska mengantarku berjalan ke bangku untuk menyimpan ransel dan mengambil topi abu-abu.
"Ini apaan, Ris?" Pandanganku tertuju kepada buku paket mata pelajaran khusus Farmasi yang tertumpuk di mejanya.
"Eh, aku belum ngasih tau kamu, ya?" Dia teringat sesuatu. "Waktu hari Rabu, wali kelas saranin kita buat pinjem buku paket dari kakak kelas."
"Oh, iya?" Aku yang baru mendengarnya jelas terkejut. "Aku belum pinjem, lho."
"Engga pa-pa. Ikut nebeng punyaku, aja, buat hari ini."
"Emang kamu pinjem dari siapa?" Setahuku, Riska tidak banyak kenalan kakak kelas. Pandanganku terhenti dari buku yang bertumpuk, lekas aku simpan ransel dan mengambil topi di dalamnya.
"Dari kenalan si Putri."
"Dia cuma punya dua kenalan?" Aku sekadar memastikan.
Riska yang tertawa kecil lekas menjelaskan. "Sebenernya, ada tiga, sih. Cuman kita inget kalau Dara punya Bebeb. Jadi ...." Perkataannya menggantung disertai kerlingan mata. Aku yang sudah bisa menebak ucapan dia selanjutnya hanya mengembuskan napas berat. Duh, belum tentu juga Kak Bagas mau pinjemin bukunya!
......***......
Jam istirahat aku sudah berjaga meja di kantin, menunggu Riska dan Putri yang tengah mengantre nasi padang. Tumben sekali anak segudang informasi itu berdekatan dengan kami. Dia mendadak mengekori Riska, bahkan rela berpindah tempat duduk supaya satu barisan dengan kami.
Mataku berhenti menatap mereka yang sibuk bersenda gurau sambil menunggu berkurangnya antrean. Perlahan ada yang mengalihkan penglihatanku. Dua sejoli yang begitu direstui sejuta umat tengah berjalan bersama keluar dari warung bakso. Tangan mereka membawa dua mangkok berlogo ayam jago. Cecilia yang lebih dulu celingukan, mencari bangku yang masih tersisa di sini. Aku yang tak ingin dianggap KEPO, memilih memalingkan muka dan bertindak seolah tidak melihat keduanya.
Aksi pura-pura tak melihat itu berakhir, saat aku merasakan kehadiran seseorang dari samping kanan. Sudut mataku menangkap sosok yang mengenakan rok dan celana panjang, di tangannya terdapat dua mangkok bakso. Meyakini bahwa mereka bukanlah Riska dan Puput, aku memilih mengacuhkan dan berkonsentrasi menyeruput es jeruk.
"Ra, bangku di sebelah masih kosong, kan?" Suara itu masih belum mau aku indahkan.
"Dek, kita nebeng bentar boleh, ya?"
Suara Cecilia membuat mataku membulat. Tanpa mengulas senyum aku beranjak dan memandangi keduanya yang sudah berdiri di depan mata. "Aku nunggu temen, mereka masih antri." Berharap dengan begitu mereka paham kalau aku tidak menerima tumpangan untuk siapa pun.
"Nasi padang, kan?" tebak Arfan yang sudah hapal wajah Riska dan Putri. "Ya, udah kita nebeng dulu, lagian temen-temen kamu masih antri."
"Ada apa, tuh, rame-rame?" Satu per satu netizen menyorot kami sambil berbisik-bisik. Mereka masih memandangku layaknya musuh terbesar padahal aku seorang diri di sini.
"Masalah kursi makan, aja, sampe heboh. Ya, udah, sih tinggal berbagi aja," kata yang lainnya.
"Kak Cecil, udah duduk, aja! Cewek gatel emang harus diacuhin."
Kedua tanganku terkepal. Rasa muakku sudah memenuhi ubun-ubun. Ingin rasanya menjelaskan kepada semua orang kalau aku bukan cewek gatal, atau orang ketiga dalam hubungan mereka. Namun, aku sadar. Sekeras apa pun membela diri, yang dipuji tetap dipuji dan yang dihina tetap dianggap mati.
Tak mau menanggung kehebohan lebih lama lagi, aku lekas mengambil langkah mundur. Cuma menjauhi meja, kan? Gampang! Arfan saja aku berikan apalagi meja kantin. Gelas jus milik Putri dan Riska sudah kugeser ke tepian meja supaya tidak menghalangi mereka.
Arfan yang lebih dulu meletakkan mangkuk, memilih posisi yang berlawanan denganku. Merasa tidak ada lagi yang harus aku lakukan, kutatap semua wajah yang menyaksikan perselisihan ini sebelum berakhir mendudukkan diri kembali.
Belum sampai semenit duduk, mataku tiba-tiba dikejutkan dengan wajah Kak Bagas. Tubuhnya yang membungkuk mengakibatkan jarak di antara kami hanya berkisar sepuluh senti saja. Senyumnya begitu indah disertai tatapan yang dalam. Jujur, bagiku posisi ini cukup berbahaya. Jantungku bisa tak terkontrol, jika terus-menerus menatapnya secara berdekatan.
"Ikut Abang, yuk!" ajaknya yang sudah menjauhkan wajah sembari menggenggam erat tanganku.
"Mau ke mana?" Masih sempatnya aku bertanya sebelum beranjak.
"Makannya jangan di sini, Abang punya tempat lain."
Ah, syukurlah pelindungku datang! Tanpa basa-basi lagi, aku lekas beranjak untuk mengikuti Kak Bagas. Kepalaku tertunduk saat melewati banyaknya orang yang melongo ke arah kami. Sedikit malu, tetapi banyak senangnya. Kak Bagas memang datang di waktu yang tepat.
...***...
Aku pikir dia akan mengajakku makan di atap sekolah, tetapi ternyata kami tidak berjalan ke arah sana. Langkahnya pasti menuntunku ke halaman belakang, melewati kursi-kursi yang dipadati siswa tanpa memandang ke arah mereka sekali pun.
"Bang, kita mau ke mana?" Aku bertanya karena memprediksi arah yang Kak Bagas tuju. Dia seperti ingin mengajakku ke Koperasi Siswa yang letaknya tak jauh dari kursih-kursi halaman belakang.
"Makan di Koperasi, aja, ya!"
Jawaban itu membuatku termenung, Sependek yang kutahu Koperasi Siswa hanya menyediakan perlengkapan sekolah, obat-obatan pribadi, produk racikan siswa hingga layanan mesin fotokopi. Kira-kira apa yang akan dimakan Kak Bagas di sana? Apa mungkin cuma makan angin saja?
Dia akhirnya melepaskan tanganku, mengeluarkan kunci dari kantong celana, lalu menarik rolling door ke sebelah kiri. Ah, ada dua tambahan lagi yang mereka jual di sini, yakni makanan ringan dan aneka minuman kemasan. Napasku berembus pelan, mencoba menenangkan diri karena hari ini aku harus kehilangan nasi padang demi kesehatan mental. Ya, lebih baik mengunyah camilan daripada memakan makanan berat, tetapi harus ditemani Arfan dan Cecilia.
"Abang kalau hari Senin-Selasa enggak pernah ke kantin. Harus jaga koperasi gantiin Bu Nurmala."
Ah, begitu. "Terus kenapa hari ini ke sana?"
Kak Bagas yang sudah memasuki toko kembali membalikkan badan, menatapku lekat. "Dapet chat dari Wisnu. Adek diganggu couple sejuta umat, katanya." Mendengar penuturan itu hatiku jadi terasa bergetar. "Maafin, ya, abang telat datengnya! Tadi harus tutup dulu toko, mana lupa naro kunci. Puji Tuhan masih bisa lari."
Semilir angin siang melewati wajahku perlahan, membuat mata yang semula baik-baik saja berubah jadi memanas. Aku tersenyum sambil menelan ludah untuk menetralisir tenggorokan yang terasa kering. Kepalaku mengangguk ke arahnya seolah memberi isyarat kalau aku baik-baik saja meskipun dia datang terlambat. Punggungnya yang lebar kembali terlihat saat dia membalikkan badan, berjalan memasuki toko sambil menyimpan kunci di meja kasir. Kakiku turut melangkah untuk mendekatinya, saking terbawa suasana aku menanggalkan rasa malu dan memeluk Kak Bagas dari belakang.
"Makasih," bisikku. "Makasih udah dateng. Adek bersyukur masih punya Abang."
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
nyonya_norman
ini namanya kalian pacaran beneran..
2022-02-25
0
dhapz H
ikut hari moga bagas bak tdk memanfaatkan keadaan
2022-02-23
0
Nacita
hentikan ke uwuan ini plissssss 😂😂😂
2022-02-21
0