NovelToon NovelToon

Pacar Bohongan

Hari Pertama Putih Abu

Seminggu menahan malu karena berperan sebagai orang gila, akhirnya berbuah manis juga. Yes! Masa orientasi sudah selesai. Kini, aku bisa mengenakan seragam berwarna dan berlogo sama seperti Kak Arfan. Momen yang paling aku tunggu-tunggu. Kisah-kasih selama masa SMP sebentar lagi akan terulang kembali. Aduh! Aku sudah tidak sabar dibuat melayang setiap harinya oleh Kak Arfan.

Ransel yang sedari tadi tergolek di ranjang, kusampirkan di kedua bahu. Sudah saatnya melangkah percaya diri keluar kamar karena tak akan ada lagi yang mengolok-olok atribut di tubuh ini. Aku sudah terlihat normal, sudah terlihat sebagai remaja putih abu yang menjanjikan.

“Arfan udah nunggu, lho, Ra.” Informasi yang kudapat dari Mami setelah menuruni anak tangga.

“Kelamaan dandan,” komentar Kak Sonia tanpa mengalihkan pandangan dari sarapan pagi favoritnya, yakni roti panggang yang sudah diolesi selai cokelat.

"Liat dulu, dong, liat! Aku udah cantik belum, nih?” Aku memancing pandangan mereka supaya tertuju kepadaku, si objek yang haus akan perhatian.

“Udah, sana! Kasian Arfan dari tadi di luar.” Mami mendorong tubuhku seraya memberikan dua kantong plastik berisi roti panggang dan susu. “Kasihin ke Arfan satu, ya!”

“Siap, Bos!” Senyumku mengembang di sertai tangan yang berada dalam posisi hormat.

“Kenapa enggak ke sekolah sendiri, sih, Nak? Kamu juga, kan, bisa bawa motor.” Papi yang sedari tadi diam saja mendadak buka suara.

"Biasa, Pi, lagi ketiban cinta. Mereka bebas LDR karena satu sekolah sekarang."

"Betul sekali.” Aku menyetujui sahutan Kak Sonia. Ucapannya memang pedas, tetapi soal kebenaran tidak ada yang bisa menandingi lidahnya. Percaya, deh

"Maksud Papi, kasian sama Arfan. Dia, kan, harus bangun subuh buat jemput Dara. Papi juga kalau disuruh jemput cewek tiap hari mana mau. Udah mah habis bensin, buang tenaga, harus nunggu lama lagi.”

"Sayangnya, Arfan mau-mau, aja, tuh!” Aku percaya diri mengatakannya karena sudah dari zaman SMP, Arfan melakukan itu. “Udah, ah, mau pergi dulu!" Sengaja aku sempatkan mencium punggung tangan Mami, Papi, dan Kak Sonia sebelum berlalu dari ruang makan.

Benar kata Mami, Arfan sudah stand-by di ruang depan. Tangannya sibuk memainkan ponselnya. Saking fokusnya, dia sampai tidak menyadari kehadiranku di sini.

"Pesek!” Julukan sayangku, seperti biasa.

"Eh, Dodol! Udah?” tanya Kak Arfan yang lekas kujawab dengan anggukan. Pasti yang ditanyakan dia perihal dandanan dan bersiap-siap sebelum berangkat. “Yok!”

Ponselnya dimasukan terlebih dahulu ke kantong jaket. Setelah menyampirkan ransel, tangan Kak Arfan menengadah, mengajak bergandengan sampai keluar rumah.

“Ada roti dari Mami, nih!” Tanganku yang terbebas dari genggamannya mengulurkan dua kantong sarapan yang dibuat Mami.

“Mau makan di mana?” Jika menyangkut teman makan, Kak Arfan memang senang bertanya pendapatku. Dia selalu bilang kalau prioritas utamanya itu aku. Jadi, apa pun yang aku mau, Kak Arfan akan berusaha untuk memenuhi dan mendatangi.

"Tempat yang kemaren, aja, gimana?" Pegangan tangan kami terlepas karena Kak Arfan memasang helm-nya terlebih dahulu.

"Ayo, aja! Nih, pake helm-nya."

...***...

Tempat kemarin yang kami bicarakan, yakni di bawah pohon rindang halaman belakang. Sarapan bersama sebelum bel masuk sudah menjadi kebiasaan kami, baik saat masih SMP, saat aku masih MOPD, hingga saat ini kami memakai seragam dengan warna yang sama.

"Udah ada plan belum? Mau masuk ekskul apa?" Kak Arfan bertanya di sela mengunyah makanan.

"Kayak biasa." Aku tersenyum lebar sambil mengedip-kedipkan mata.

"Masuk OSIS lagi?" Kak Arfan seperti tidak percaya.

Kepalaku mengangguk. "Bukannya Kakak juga anak OSIS. Ya, enggak pa-pa kali kalau aku ikutan juga."

Kak Arfan tidak berkata lagi, hanya tersenyum simpul, lalu melanjutkan melahap makanan. Aneh, bukankah dia seharusnya senang? Kami akan bersama-sama lagi setelah satu tahun menempuh jalur beda sekolah.

"Enggak coba ekskul lain? Bagus-bagus, lho, di sini.

"Kakak enggak mau aku gabung OSIS, ya?" Tebakanku, sih, begitu.

"Bukan, gitu, Sayang. Kakak cuma pengen kamu ngembangin bakat. Kamu, kan, seneng nulis. Kenapa enggak coba masuk tim jurnalis atau mading?"

"Enggak mau." Aku menegaskan. Keputusanku sudah bulat. "Aku bakal masuk OSIS. Aku udah pernah rasain sensasinya dan kepengen ngulang sensasi yang sama."

"Emang sensasinya kayak gimana? Romantis, ya, karena ke mana-mana bareng pacar?" Matanya menyipit.

Ucapannya sekarang tidak 100% benar. Aku memang ingin ke mana-mana bareng pacar. Aku sudah merealisasikannya dengan masuk sekolah yang sama, tetapi untuk organisasi ini murni karena tekad yang bulat. Bukan karena embel-embel ada pacar atau orang dalam.

"GR!" Aku menunjuk wajahnya sambil tertawa kecil. "Bukan karena itu tau. Aku ngerasa di OSIS itu asyik. Susah bareng, bahagia bareng, bolos juga bisa barengan. Seneng, aja, gitu."

"Oh, ya, udah. Kakak bakalan dukung apa pun mau kamu." Kak Arfan memasukan dua kotak susu bekas ke kantong plastik.

"Serius, ya?"

"Hem," sahutnya. "Nanti kalau ada kabar perekrutan Kakak kasih tau."

"Oke." Ibu jariku mengapung.

"Kakak simpen tas dulu, ya! Mau lanjut nyiapin logistik buat upacara," pamitnya sembari mengacak pucuk rambutku.

...***...

Lima menit duduk tanpa Kak Arfan lekas kuakhiri karena terasa tidak menyenangkan. Kesepian, biasanya ada Ingeu dan Fuji yang menemaniku saat SMP, tetapi mereka memilih masuk ke SMA Negeri ketimbang mengikutiku di jalur farmasi. Mereka beranggapan kalau sekolah di sini akan dihantui dengan rumus dan hitungan, intinya mereka sudah sepakat akan memilih jurusan IPS. Ya, sebenarnya aku juga ingin masuk sekolah negeri karena berniat mengambil Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia saat kuliah nanti, tetapi hatiku selalu berbeda lokasi dengan logika. Alhasil, aku mengikuti ujian masuk SMK Farmasi Bangsa dan dinyatakan lolos serta masuk kelas unggulan.

"Kelas X-1." Tak perlu celingukan mencari namaku di mading dan mencari papan nama kelasku di atas pintu karena Kak Arfan sudah memberitahu pembagian dan letak posisi ruangannya kemarin. Salah satu keuntungan yang akan kuterima, jika bergabung menjadi tangan kanan sekolah. Ya, meskipun hari libur harus masuk demi membantu guru berbenah meja dan bangku, tetapi aku rela melakukannya. Toh, biasanya OSIS akan lebih dahulu informasi terakurat ketimbang murid-murid umum lainnya.

Sesuai yang Kak Arfan katakan. Kelasku terletak di ujung bangunan, berhadapan dengan ruang guru, selalu menjadi sorotan karena paling apik dan sunyi ketika jam pelajaran. Alasan disebut kelas unggulan karena semua orang yang masuk kelas ini disortir berdasar nilai rapor selama SMP dan perolahan nilai selama tes seleksi.

Pintu kelas yang dibiarkan terbuka, kumasuki perlahan. Aku pandangi wajah orang-orang yang nantinya akan menjadi kawan seperjuangan. Ada beberapa diantara mereka yang pernah sekelas denganku selama MOPD. Syukurlah, aku menemukan Riska—teman sebangku seminggu yang lalu.

"Kamu di sini?" tanyaku senang tiada tara. Aku jadi tidak merasa kesepian lagi.

"Ih, ya, ampun. Kita sekelas lagi, Ra!" Pelukannya begitu erat. "Duduk, duduk."

Tak berpikir panjang, aku duduk di bangku kosong yang tersedia di sampingnya. Setuju, sih, dengan posisi seperti ini. Riska memilih bangku di barisan kedua. Tidak terlalu dekat juga dengan meja guru.

"Yuk, simpen tasnya! Kita ke lapangan buat upacara." Ajakan yang lekas kusetujui karena sudah terdengar suara panitia pelaksana agar kami bergegas baris di lapangan.

...***...

Aku mengajak Riska baris di belakang. Bukan tanpa tujuan. Saat memasuki area lapangan, aku sempat melihat Kak Arfan memakai bandana tatib di keningnya. Artinya, dia akan berdiri tegak di belakang barisan sambil memperhatikan anak-anak yang melanggar aturan.

“Modus, ya?” tebak Riska. Baru seminggu kenal, dia sudah memahami niat tersembunyiku yang ingin berdiri di barisan belakang.

“Setengah-setengah, sih!” Hanya bisa kutampilkan seulas senyum meskipun kedua pipi terasa memanas.

Sesuai prediksi, Kak Arfan berjalan lurus, arahnya menghampiriku. Sempat-sempatnya dia mencolek lenganku sambil tersenyum gemas.

“Ngapain berdiri di belakang?” Suaranya pelan, tetapi cukup menarik perhatian semua orang.

“Pengen di sini, aja,” jawabku menahan senyum sekaligus menahan malu. Takut diteriaki cie-cie, meskipun aku yakin mereka tidak akan meneriaki kami apa pun karena tidak tahu perihal hubungan ini.

"Dodol lagi modus.” Dicubitnya pipiku gemas dan meninggalkan bekas tatapan tak percaya dari semua orang. Ada beberapa dari mereka yang sudah kembali menolehkan kepala ke depan.

“Kakak diem di situ, ya.” Aku menunjuk lahan kosong tepat di belakangku.

“Kakak tugasnya di kelas XI, Sayang.” Lagi-lagi semua orang menoleh ke arah kami. Kali ini dengan sorot mata tak percaya dan penasaran. Mereka seperti menunggu klarifikasi tentang hubungan ini. Klarifikasi? Ya, kali artis.

"Terus ngapain di sini?” tanyaku agak sewot.

“Mau titipin kamu ke temen-temen.” Telunjuknya mengarah ke sebelah kanan.

Benar, ada tim tatib yang lain. Dua orang pula. Sejak kapan coba mereka di sana? Kenapa aku tidak sadar, ya? Setengah malu, aku tersenyum ke kedua kakak kelas yang diyakini sebagai temannya Kak Arfan.

“Titip pacar saya, ya, Ngab!”

“Iye-iye, udah sono tugas!” perintah lelaki yang berambut ikal.

“Gue godain boleh, enggak, Fan?” canda lelaki yang satunya.

Kak Arfan langsung mengapungkan tangan yang terkepal. “Mending adu jotos, yuk!”

“Udah, ih, sana!” pungkasku yang tidak ingin mendengar godaan lebih banyak lagi, terlebih beberapa anak terlihat risi melihat kami.

“Jangan nakal, ya, Dodol,” bisiknya.

"Sweet terus, nih,” komentar Riska setelah Kak Arfan sedikit menjauhi area kami.

“Iya, dong, harus. Kalau enggak sweet, aku mana mau nyusulin dia ke sini.”

“Bener juga, sih. Untung Kak Arfan ganteng, keren, sama romantis. Emang pantes diperketat pengawasan biar enggak ke mana-mana.”

“Aku yakin dia enggak bakalan ke mana-mana, kok.” Sok percaya diri sekali memang diriku ini.

“Berarti udah berapa taun kalian pacaran?” tanya Riska masih berbisik.

“Desember nanti tiga taun.” Hanya memikirkannya saja sudah membuat perasaanku membuncah. “Doain, ya, semoga langgeng terus.” Mataku serius menatap Riska.

Deheman seseorang dari belakang membuat obrolan kami terhenti. “Pacarnya Arfan, mohon diam dulu, ya! Curhatnya boleh dilanjut nanti!” tegur si rambut ikal yang tidak kuketahui namanya.

...***...

Moto Pacaran ala Dara

Pertama masuk kelas, kami disuguhi dengan materi perkenalan. Berkenalan dengan wali kelas yang bernama Bu Wilas, diminta memperkenalkan diri kepada semua orang, dijelaskan perihal silabus semester satu yang akan kami lakoni selama enam bulan ke depan. Kami juga memilih seperangkat pengurus kelas. Berkat teriakan Riska yang merekomendasikanku, jadilah aku yang terpilih sebagai wakil ketua murid untuk menemani Yoga.

Bel istirahat pertama berbunyi setelah berkenalan dengan guru kedua. Beliau menggenggam kendali atas mata pelajaran Matematika, Pak Zuhara. Layaknya siswa pada umumnya, aku dan Riska berlarian menuju kantin umum. Sudah terbayang di depan mata kerumunan orang yang akan menghalangi jalan ke kedai-kedai makanan. Sewaktu MOPD saja berantakannya sampai tak sempat membeli makanan, apalagi sekarang. Tiga angkatan sekaligus akan mengantre untuk mendapatkan kekenyangan.

Benar saja. Sesampainya kami di lokasi sudah banyak anak yang mengantre di setiap kedai. Kami menyusuri satu per satu untuk memprediksi kedai tercepat dalam hal pelayanan. Dua kali bolak-balik pintu masuk sampai pintu keluar, tetapi kami belum memutuskan menu makanan yang pas. Alhasil, kami mematung di tengah jalan.

“Ra, bingung aku kalau udah liat banyak kepala kayak gini.” Riska terlihat memijat lembut pelipisnya.

“Menurut pengamatanku, yang paling cepet itu fried-chicken sama minuman kemasan, deh.” Aku sekadar memberi masukan, daripada kami berdiam diri dan berakhir tidak mendapatkan apa-apa.

“Hah!” Dengkusan Riska begitu keras. “Seminggu kemaren kita udah makan itu, kamu enggak bosen, Ra?”

“Daripada enggak makan, hayo?” Aku menunjuk wajahnya disertai tatapan menguji. Jika memang ada pilihan terbaik, mengapa harus repot berjejal demi mendapat kepuasan semata? Tekadku spontan membulat. “Udah, ah! Aku mau makan fried-chicken, aja.”

Tanganku tiba-tiba ditahan keras oleh Riska. “Apaan?” tanyaku menatap bingung wajahnya. Tatapannya bukan padaku, dia seperti menangkap sosok yang berdiri di belakang tubuhku.

“Permisi!” Suara berat itu menarikku untuk menolehkan kepala. “Ada bangku kosong, kalian bisa duduk di sana, gratis, kok! Tolong jangan ngehalangi jalan, ya!”

Sopan, tetapi terdengar mengusik. Kenapa, ya?

"Maaf, Kak!” Riska mengambil langkah mundur sembari menarikku untuk mengikuti jejaknya. Lelaki itu tersenyum tipis dan berjalan setelah langkahnya tidak terhalangi.

"Dia siapa, sih?” tanyaku sedikit meninggikan suara. Aku merasa sering melihatnya, tetapi tak ingat dengan namanya.

"Ketos, Ra!” jerit Riska tertahan. “Masa lupa?”

“Lupa.” Aku menggaruk tengkuk yang terasa gatal.

"Ya, ampun, cowok ganteng maksimal kayak begitu kamu lupa. Emang dasar bucin Arfan.”

Tepat saat Riska mengejekku, Kak Arfan muncul di ambang pintu. Seorang diri dia melangkah dengan kedua tangan yang dimasukkan ke kantong celana. Aku sempat menangkap kepalanya mengangguk disertai senyum ramah saat berpapasan dengan lelaki yang disebut Ketua OSIS oleh Riska. Ah, benar berarti. Informasi yang kudengar barusan akurat. Kak Arfan tidak mungkin menyapa orang yang tidak dikenal.

"Kok, malah bengong?” tanyanya setelah sampai di hadapan kami.

“Tadi mau beli fried-chicken, tapi kehalang orang itu.” Telunjukku mengarah ke punggung lebar lelaki itu.

“Bagas?” tebak Kak Arfan setelah menoleh sebentar.

“Ketua OSIS, kan, Kak?” Terdengar nada yang semringah dari teman di sampingku. Kenapa mendadak Riska jadi semangat begini, ya? Perasaan tadi dia loyo karena melihat banyaknya kepala yang berjejalan.

“Iya. Pimpinan kamu kalau nanti masuk OSIS, Dol.” Kak Arfan mengacak rambutku dengan tatapan penuh sayang.

"Eh, kamu mau masuk OSIS, Ra?” Lengan Riska mendadak mengalungi lenganku.

“He-em,” sahutku disertai anggukan kecil.

"Ikutan, ah, mumpung ada temen.”

“Boleh, boleh.” Aku dengan senang hati akan mengajaknya mendaftar bersama nanti.

"Kalian beneran mau pesen ayam?” Pertanyaan Kak Arfan menarik kami agar kembali fokus menghadapi situasi kantin.

"Emang kenapa, Kak?” tanya Riska bingung.

“Ya, takutnya ada makanan lain yang mau kalian makan.”

"Kakak mau traktir kita?”

Spontan aku menyenggol lengannya. “Bukan,” sanggahku cepat. “Kak Arfan mau menawarkan diri buat antre. Percaya, deh, kalau sama pacarku antrinya bakalan cepet.”

"Seriusan?” Mata Riska jadi berbinar. Semacam menemukan cahaya kehidupan yang sudah setengah abad dicarinya. Aku cukup menjawabnya dengan anggukan. Dua hari terakhir saat MOPD kemarin, fried-chicken yang dipesan Kak Arfan lebih cepat datang ketimbang yang kupesan. Alhasil aku membawa milik pacarku lebih dulu ke meja kami. Sayangnya, Riska tidak mengetahui fakta itu karena aku lupa memberitahunya.

“Oke, kalau gitu aku mau pesen mie kocok sama jus jambu.” Riska mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah.

“Kalau Dodol?”

“Samain, aja, kayak Riska.” Sebenarnya, aku tidak terlalu doyan mie dan bakso, tetapi berhubung yang akan mengantre adalah Kak Arfan dan melihat kedainya dijejali banyak siswa. Ada baiknya, aku tidak menyusahkan pacarku dan memesan makanan yang sama.

“Yakin?” tanyanya penuh keraguan karena tahu kesukaanku bukanlah itu.

"Yakin, Sayang,” jawabku mantap.

“Minumnya juga samain?” tanyanya memastikan.

“Es jeruk, aja.”

"Oke, kakak ambil pesanan kalian dulu. Kalian cari bangku, gih! Duduk di sana, gratis, kok!”

Sebentar-sebentar. Kenapa bahasanya sama dengan Kakak yang tadi, ya? Ini slogan mereka atau apa, sih? Kenapa bisa sehati begitu?

...***...

Riska tak berhenti memandangiku, kedua tangannya sampai menopang dagu. Entah apa yang berkelebat di pikiran anak ini. Aku yang tak mau ambil pusing memilih mengekori derap langkah kekasihku. Dia lebih dulu berjalan menerobos antrean mie kocok kaki sapi, menghilang beberapa menit, lalu keluar sembari mengembuskan napas lega. Tertulis jelas di wajahnya, pesanan satu sukses!

Kakinya terus melangkah menuju makanan kedua. Nasi padang. Tumben benar Kak Arfan memesan itu? Biasanya, kan, dia memilih lontong kari atau lotek. Pandanganku terpaksa teralih karena Riska mencolek lenganku.

“Ra, bisa bantuin aku cari cowok macam Kak Arfan, enggak?”

“Enggak,” jawabku pasti dan tak perlu berpikir dua kali.

“Hah? Kenapa?” Keningnya mengernyit dalam. “Jangan asal jawab dulu, Ra. Coba kamu pikir baik-baik, ih! Kalau aku punya pacar macam Kak Arfan, menu makan siang kita bakalan aman seterusnya.”

“Ris! Percaya, deh! Aku udah bertaun-taun nyari biar samaan kayak temen-temenku, tapi nyatanya Kak Arfan itu cuma satu di dunia dan itu jelas milik Dara Dwiana.”

Riska langsung mengerucutkan bibir. “Nyesel, sumpah! Aku enggak akan bahas ini lagi. Malah jadi makan hati.”

Aku tergelak mendengar jeritan hatinya. Riska sama persis dengan Ingeu dan Fuji yang mengharap dicarikan pacar seperti Kak Arfan. Namun, memang begitu adanya. Aku sudah berusaha mencari, Kak Arfan pun berusaha membantu dengan mengenalkan teman-temannya, tetapi hasilnya sama. Nihil.

Tak perlu waktu lama, dari kejauhan terlihat Kak Arfan melangkah menghampiri kami dengan nampan berisi satu mangkuk dan satu piring. Keningku mengernyit penuh keheranan. Bukankah seharusnya ada dua mangkuk? Apa pesananku belum selesai?

“Sesuai pesanan, ya, Mbak.” Logat Kak Arfan sudah menyerupai ojek online yang membawa pesanan pelanggan.

“Makasih, Kak.” Riska yang menyahut lebih dulu tanpa melihat isi nampan yang dibawa kekasihku.

“Kok, nasi padang?” tanyaku masih bingung.

“Kakak tau, kamu pesen mie kocok karena enggak mau ngerepotin, kan?”

“Eh, enggak pa-pa, Kak! Aku serius mau makan mie kocok hari ini.” Apa aktingku sudah tampak bagus? Ayolah, Kak Arfan tidak boleh menyadari kedustaanku.

“Sayang, kita udah jalan hampir tiga tahun. Kakak tau kamu enggak terlalu suka mie dan bakso. Kamu doyannya nasi padang atau nasi kuning. Jadi, makan ini, ya!”

“Aaaaahhhhhh,” jerit Riska heboh sendiri. “Di sini ada yang jual tiket buat pindah planet, enggak, ya? Aku enggak tahan sumpah depan kalian!”

Kak Arfan tidak menanggapi ocehan Riska dan memilih pamit kembali. “Kakak ambil minum dulu.”

Tanganku menjadi kegemasan Riska. Dia menarik dan mencubitiku habis-habisan. “Apa, sih?” bentakku menahan amarah. Dia terlalu berlebihan, sumpah!

“Ngiri-ngiri-ngiri. Serius, deh! Kenapa kalian bisa kenal, sih?”

“Kan, satu SMP.” Jawaban yang sudah pasti.

“Bukan, maksudnya kenapa bisa sampe jadian?” Pertanyaan yang terdengar lebih masuk di akal.

“Dulu, dia OSIS juga. Mentorku di kelas. Awalnya, sih, karena sering tuker gombalan. Eh, taunya sehabis ospek ditembak depan semua orang.”

“Depan semua orang? Beneran?”

“Iya lah,” sahutku yang masih mengingat dengan jelas momen bersejarah itu.

“Berkaca dari hari ini, kayaknya waktu momen tembakan romantis banget, ya?”

“Ember.” Aku tersenyum sambil terkekeh-kekeh. Sudah ratusan komentar yang kudengar tentang tembakan depan umum itu.

“Sayang, ini minumnya!” Kak Arfan datang tiba-tiba dan menyimpan nampan berisi dua gelas dengan tergesa.

“Kakak mau ke mana?” tanyaku ikutan bangkit.

“Dipanggil pembina, enggak tau mau ngapain.”

“Kan, belum makan,” semprotku yang tak terima jadwal makan kekasihku diganggu orang lain.

“Urgent, katanya.” Kak Arfan meronggoh ponsel dan melihat kembali layar yang menyala. “Kakak pergi dulu, ya!”

“Tunggu-tunggu,” tahanku dan bergegas mengambil sendok dari tempatnya. Aku bawa piring berisi nasi pandang ke hadapan Kak Arfan guna memberinya beberapa suapan. Dia yang sudah paham akan hal itu lekas mengunyah suapan demi suapan yang kuberikan.

“Makasih.” Mulutnya yang dipenuhi nasi berusaha berucap.

“Tunggu!” Aku kembali menahan lengannya dan mengulurkan segelas es jeruk. “Pasti abis ini lari-lari, kan? Kunyah dan telen dulu yang bener.” Kak Arfan mengangguk dan menurut. “Ini minum dulu.”

Aku memastikan Kak Arfan pergi dari kantin tanpa terhalang suatu apa pun. Mataku baru fokus menangkap wajah Riska yang menganga efek melihat keromantisan kami yang lain. “Kenapa?” tanyaku dan kembali duduk di tempat semula.

“Jujur, aku kalau jadi Arfan bakalan sayang banget sama kamu.”

Hah, ucapannya sukses membuatku besar kepala. Dia seolah berkata kalau aku layak untuk didapatkan dan dicintai dengan benar.

“Serius! Kamu perhatiannya maksimal.” Jempolnya sampai mengapung di depan wajahku.

“Ada alasannya, sih.” Bibirku tersenyum setiap kali mengingat moto hidup dalam berpacaran.

“Apaan, tuh?” Riska baru menarik diri dari wajahku, tangannya perlahan mengambil sendok dan garpu dari kotak penyimpanan.

“Asalkan dia enggak ngelepasin tanganku duluan, sebisa mungkin aku bakalan kasih yang terbaik buat dia. Semaksimal mungkin aku bakal jaga dan bahagiain dia.”

“Kalau hasil akhirnya enggak berjodoh gimana?”

Mungkin Riska akan mendapat tamparan keras, jika bertanya kepada wanita yang sedang cinta-cintanya terhadap pasangan. Namun, aku sudah menyiapkan hati dan pikiran dari jauh-jauh hari. Jika sewaktu-waktu hal itu memang terjadi kepada hubungan kami, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa selain ikhlas. “Ya, udah aku terima, aja. Toh, aku udah memberikan kenangan indah buat dia. Aku enggak akan ngerasa penasaran sampai menyesal di akhir cerita.”

...***...

Sisi Tersembunyi Arfan

Kami selesai berdoa, memberi salam, lalu menunggu Pak Wawan keluar ruangan. Akhirnya, hari pertama dengan materi perkenalan guru dan silabus selesai juga. Kami melewatinya tanpa kurang suatu apa pun.

"Ra, kamu pulang ke arah mana, ya?" Riska lebih dulu bangkit, membenarkan posisi sabuknya sebelum menyampirkan ransel. "Eh, engga usah jawab, deh!" Telapak tangannya menahan mulutku yang sudah hampir menjawab pertanyaan. "Mau pulang satu arah juga, kamu pasti nebeng Kak Arfan, kan?" Wajahnya berubah masam. Riska sampai berkacak pinggang karena baru menyadari hal itu.

Aku ikut berdiri, mengimbangi tubuhnya sembari bertanya, "Mukaku kucel, enggak?" Mana mungkin, kan, aku pulang dalam keadaan yang memalukan?

"Enggak, tetep cantik, kok." Riska membenarkan posisi rambutku yang agak kusut dengan jemari kanannya.

"Ra!"

Aku yang dipanggil, tetapi Riska yang lebih dulu menolehkan kepala. Derap langkah seseorang terdengar menghampiri kami.

"Kertas nomer HP anak-anak mana?" tanya Yoga dengan posisi tangan menengadah.

"Ada, kenapa? Mau kamu, aja, yang buat grup-nya?" Selepas istirahat dia memang memintaku untuk menyebar kertas kosong supaya teman sekelas mengisinya dengan nama, alamat, dan nomor telepon masing-masing. Aksi Riska yang merapikan rambutku terpaksa terhenti. Aku berujung mengambil kertas itu dari ransel lalu memberikannya kepada Yoga.

"Udah semua, kan, ini?" tanyanya tanpa memandangku karena fokus menatap data dalam kertas.

"Udah, aku tadi sempet cek Buku Agenda Kelas juga dan emang totalnya tiga puluh siswa."

"Oke, deh. Gue, aja, yang buat grup-nya, Ra. Nanti gue jadiin lo admin, ya?"

...***...

Aku menunggu Kak Arfan di depan kelas setelah mengantar kepergian Riska. Dia memilih pulang terlebih dulu, daripada harus melihat kemesraan kami yang bisa membuatnya sesak napas, katanya.

Arloji di lengan kiri kulirik pelan, sudah lewat sepuluh menit, tetapi batang hidung Kak Arfan belum juga muncul ke permukaan. Tanganku berujung mengambil ponsel dari dalam ransel, menekan layarnya untuk sekadar melihat notifikasi yang masuk. Ah, ada satu pesan masuk dari pacarku ternyata. Aku baru menyadarinya karena ponselku dalam mode getar selama di kelas.

Dari : Pesek Kesayangan

Kakak piket dulu, tunggu bentar ya

Benar, sekarang hari Senin. Bisa-bisanya aku lupa jadwal piket Kak Arfan. Aku mengangkat wajah dari layar ponsel, memperhatikan seluruh situasi yang berada di depan mata dengan seksama.

Beberapa kelas sudah mulai kosong, belum ada penampakan murid baru yang membersihkan kelasnya masing-masing sebelum pulang. Jujur situasi yang sunyi ini tidak kusukai. Semilir angin di siang hari pun terasa dingin, jika berada dalam lingkungan luas seorang diri. Imajinasiku mendadak bermain, aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal yang berbau horor.

“Dodol!” Panggilan dari lantai dua membuat kepalaku menengadah dan menghentikan aktivitas merasai suasana. “Sebentar, ya!” Senyumnya begitu merekah. Suatu hal yang kusyukuri setiap kali bertemu Kak Arfan. Dia selalu memberiku ekspresi yang memabukkan sehingga selalu kurindukan.

Kepala Kak Arfan yang semula menyembul kembali hilang setelah mendapat anggukan dariku. Ah, kalau dia sudah mewanti-wanti kata sebentar lagi, artinya pekerjaan membersihkan kelas masih membutuhkan waktu yang lama. Ide cemerlang spontan muncul di benakku, tak ingin menundanya lagi, lekas kukirim pesan kepada Kak Arfan.

Untuk : Pesek Kesayangan

Dara nunggu di kantin ya

...***...

Ide yang benar-benar sempurna. Kantin sekolah masih dipadati beberapa siswa yang belum pulang. Jika begini, kan, aku merasa tidak kesepian lagi. Ya, meskipun aku tidak mengenal dan tidak akan duduk bersama mereka. Setidaknya, mendengar hiruk-pikuk keramaian sedikit menekan rasa hororku efek berdiam sendiri di lorong kelas.

Aku mengambil posisi duduk didekat pintu setelah sebelumnya membeli air mineral dingin di kedai minuman. Tak ingin disangka menguping pembicaraan orang, ponsel kembali kupakai untuk sarana melepas penat. Tidak ada notifikasi balasan dari Kak Arfan dan belum ada tanda-tanda kemunculan grup kelas yang akan dibuat Yoga. Mau tak mau, aku beralih ke laman Instagram, lebih baik membunuh waktu sembari memantau kabar drama Korea yang akan tayang bulan depan.

Asyiknya memantau berita pun terhenti karena sudut mata kananku menangkap seorang gadis yang berjalan menghampiri. Kepalaku terangkat dan menoleh ke arahnya. Kalau diperhatikan wajahnya terasa akrab, sudah bisa dipastikan kalau dia bagian dari murid X-1. Namun, aku tidak berani menyapa terlebih dahulu karena tidak mengingat namanya dengan jelas. Ya, daripada salah menyapa, lebih baik aku tersenyum ramah karena mata kami saling bersitatap.

“Dara, ya?” Sesuai dugaan, dia teman sekelasku.

“Iya. Sini duduk!” ajakku berusaha seramah mungkin sembari menggeser posisi duduk. “Kok, belum pulang?” Aku benar-benar tidak bisa menyebut namanya karena takut salah sasaran.

“Belum,” ujarnya setelah terduduk di sampingku. “Mamaku baru mau berangkat.”

“Oh, gitu.” Kepalaku mengangguk paham.

“Dara nunggu siapa?” Dia balik bertanya.

“Nunggu kakak kelas, sih. Mau pulang bareng, tapi masih piket.”

“Hah, enak, ya, kalau punya kakak satu sekolah. Pulang-pergi bisa barengan.” Komentarnya hanya bisa kujawab dengan anggukan sungkan. Ingin rasanya meralat kalau Kak Arfan bukan sekadar kakak kelas, tetapi takut disangka sombong karena sudah memiliki pacar padahal baru masuk sekolah.

“Kakak kamu di kelas apa?” tanyanya lagi.

“Kelas XI-1.”

“Wah, kalian sama-sama pinter, ya! Sama-sama dari kelas unggulan,” pujinya disertai mata yang menatapku penuh binar-binar rasa kagum.

Aku lekas menepis ucapannya. “Sebenernya, aku enggak pinter-pinter amat, sih. Aku cuma beruntung karena masuk kelas yang sama kayak kamu, tapi kalau Kak Arfan emang pinter dari dulu.” Buset, aku keceplosan menyebut namanya lagi.

“Oh, nama kakak kamu Arfan.”

“Iya.” Aku menyahut pelan sambil memalingkan muka ke arah depan. Tidak ingin berbicara sambil bersitatap lagi.

Hening sejenak, hingga lawan bicaraku berdeham beberapa kali untuk menarik minat mengobrolku lagi. “Dia bukan sekedar kakak, kan, ya?”

“Ya?” Aku agak bingung, nih, mendengar pertanyaannya. Terlebih karena dia terlihat menahan tawa.

“Kak Arfan pacar kamu, ya?”

“Bisa dibilang kayak, gitu.” Kepalaku menunduk dan terasa kedua pipi ini memanas. Ah, sudahlah. Lagi pula lambat laun dia akan tahu tentang ini, baik dariku atau dari bibir orang lain.

“Oh, jadi Dara orangnya. Kak Arfan itu mentor kelasku waktu MOPD, lho.”

“Oh, ya?” Kali ini giliran mataku yang berbinar karena rasa ingin tahu lebih dalam.

“Iya. Dia suka diejek, gitu, sama temen-temennya. Dikatain bucin karena dikit-dikit bilang udah punya cewek,” jelasnya.

Sudah tak bisa kutahan lagi hawa panas yang semakin menjalar di kedua pipi. Rupanya, Kak Arfan juga disebut budak cinta oleh semua orang. Aku pikir hanya diriku saja yang mendapat ejekan itu karena terlalu kentara menunjukkan rasa sayang.

“Tapi kamu beruntung banget, lho, Ra."

“Beruntung gimana maksudnya?” Aku tahu ucapan yang akan keluar dari mulutnya. Dia pasti hendak memuji Kak Arfan dari segi fisik, cara berbicara, dan kecerdasan. Aku sudah mendengar banyak pujian tentangnya selama hampir tiga tahun terakhir, tetapi tetap mendengar pendapat orang demi kesenangan batinku semata.

“Kak Arfan, kan, ganteng, bijak, dewasa, asyik diajak ngobrol, pinter pula. Ah, satu lagi, Kak Arfan jago banget, ya, gombalin cewek.”

Hah? Mataku berhenti berkedip karena terkejut mendengar ini. Baru pertama kali, lho, aku mendengar orang berkomentar tentang Kak Arfan yang jago menggombal. Maksudku, dia memang jago membuat hatiku terbang, tetapi aku tak tahu kalau di luar sana dia juga menggombali wanita meskipun hanya sebatas bercanda.

“Emang waktu di kelas kalian, Kak Arfan suka ngegombal, ya?” Aku bertanya sembari memberikan senyum lebar. Tak ingin dia tahu kalau hatiku sebenarnya sedikit terusik mendengar fakta ini.

“Suka ngegombalin Kak Cecil.”

“Cecil?” Tanpa sadar aku mengulang nama yang barusan terdengar.

“Iya, emang, sih, bercanda. Anak-anak juga tau kalau Kak Arfan udah punya cewek, tapi tiap kali dia gombalin atau jailin Kak Cecil, tuh, yang liat kebawa baper, gitu!”

“Oh, iya?” Sebisa mungkin aku terdengar antusias agar dia menceritakan semuanya lebih detail.

“Iya, serius. Banyak juga, kok, anak-anak yang nyuruh mereka buat jadian, tapi Kak Arfan selalu bilang kalau dia udah punya pacar dan enggak tertarik buat pindah ke lain hati.”

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!