Riska tidak berhenti menatap kami. Bola matanya naik-turun memperhatikan Kak Bagas yang masih fokus menatap ponsel. Dia akhirnya berdeham disertai wajah ketus, perilakunya spontan membuatku sadar akan sesuatu. Riska ingin menyudahi keheningan yang sudah berjalan lima belas menit di antara kami dan ingin Kak Bagas menyimpan ponselnya supaya lebih mudah membuka topik pembicaraan.
Tanganku menyenggol lengan Kak Bagas, memberi isyarat supaya dia berhenti mengetik di layar ponsel. Raut wajah Riska seperti Mami saat mendapatiku bergandengan tangan dengan Arfan dulu. Dia terlihat diposisi siap menghujani Kak Bagas dengan beragam pertanyaan.
"Bentar, ya!" Kak Bagas berbicara tanpa mengalihkan pandangan. "Lagi kasih poin-poin penting ke grup OSIS buat acara rekrutmen anggota," jelasnya dengan lebih sopan, menatap Riska lalu turun kembali ke layarnya semula.
"Rekrutmen jadinya kapan, Kak?" Wajahnya berubah semringah. Riska yang hendak menginterogasi Kak Bagas perihal hubungan kami berubah tertarik dengan rekrutmen anggota OSIS.
Ponsel sudah diletakkan di samping tangan. Kak Bagas pun mulai menjawab pertanyaan itu. "Jadinya besok. Rabu kemaren batal diadain karena konsep belum mateng."
Ah, benar. Arfan pernah bilang kalau pembukaan anggota baru OSIS akan diadakan hari Rabu.
"Kamu masih mau gabung, Ra?" Riska terlihat penasaran.
"Lho, kalian mau gabung OSIS?" Kak Bagas juga ikut-ikutan menatap wajahku.
Aku menelan ludah, memutar bola mata dengan pikiran kosong. Untuk ini, aku harus memikirkannya dengan matang. Dulu aku semangat bergabung karena ada Arfan, kekasihku. Namun, sekarang kondisi sudah berbeda. Aku harus memikirkan baik-buruk berdekatan dengan mantan sekaligus kekasih barunya.
"Enggak usah takut," ucap Kak Bagas di sampingku. Suaranya yang pelan dan berat mampu menarik perhatianku untuk menolehkan kepala. Sorot matanya yang begitu teduh berhasil menyihirku hingga tak bisa mengucap kata-kata. "Sekarang Adek punya abang. Kalau mau gabung, ya, gabung, aja. Enggak usah, lah, mikirin mantan. Toh, masa depan juga udah jelas, kan?"
"Anjay!" Teriakan Riska membuatku mengerjap dan berhenti menatap objek yang tampan. Giginya terlihat mengigit bibir bawah dengan gemas. "Gue punya dosa apa, Ra? Kemaren liat kemesraan lo sama si Kadal udah lebih dari cukup tau."
Kak Bagas tertawa mendengar Arfan yang dijuluki si Kadal oleh temanku sendiri. "Kalau dia kadal, saya apa, dong?" tanyanya di sela tawa.
"Kakak belum dapet julukan karena belum memenuhi syarat."
"Syarat apaan?" sahutku yang membungkam mulut Kak Bagas saat hendak bertanya juga.
"Syaratnya antara jahatin atau bahagiain kamu. Kalau opsi yang dipilih Kak Bagas ngebahagiain kamu, berarti julukan yang dia dapet bakal lebih baik dari si Kadal."
Hah! Ada-ada saja dia.
"Saya pilih bahagiain Dara."
Satu senyuman terukir di wajahku saat mendengar hal itu.
"Ah, yang bener? Dulu juga si Kadal niat bahagiain Dara, tapi main serong juga." Ini yang ingin Riska tanyakan sedari tadi. Meneliti wajah Kak Bagas untuk melihat seberapa seriusnya padaku.
Aku memilih menunduk dengan wajah mengulas senyum tipis. Setitik rasa bersalah terbersit di hati. Riska begitu peduli padaku, hubunganku pun dia teliti supaya kejadian dicampakkan depan umum tidak terulang kembali. Apa jadinya coba kalau dia tahu hubungan kami hanya sebagai pacar bohongan?
"Asalkan Dara sanggup bertahan sampai akhir, saya bakal jaga dia dengan baik."
Jawaban itu terasa tak asing. Bukankah aku juga memiliki moto yang sama? Asalkan dia tidak melepaskan tanganku lebih dulu, maka aku akan berusaha memberikan yang terbaik. Artinya sama-sama saja, kan?
Aku memberanikan diri menengok Kak Bagas yang sudah menyelami wajahku dengan senyuman. Bukannya tersentuh dan membalas gombalannya, aku malah tersenyum sambil menahan tawa. Ah, andaikan dia jadi seorang aktor, pasti sudah memborong piala nominasi dari beragam penghargaan. Ekspresi, sorot mata, hingga suaranya terlalu sempurna. Orang pasti mengira dia begitu menyayangi seorang Dara Dwiana.
"Oke, lolos!"
"Hah?" pekikku tak mengerti alasannya. Kenapa Riska buru-buru memberi restu, sih?
"Kok, hah, sih?" Kak Bagas kembali bersuara. "Harusnya seneng, dong, abang udah dapet restu."
"Ih, Abang diem dulu!" sahutku sedikit meninggikan suara. "Kenapa kamu langsung oke?" Aku mulai menginterogasi Riska.
"Dia cerminan kamu banget!"
Aku dan Kak Bagas berakhir saling pandang.
"Moto pacaran, aja, samaan pengen ngasih yang terbaik. Udah, sih, kalian cocok. Aku dukung sampe akhir pokoknya."
...***...
Tanganku melambai melepas kepergian Riska bersama motornya. Kini hanya tersisa motorku dan Kak Bagas yang masih setia terpajang di parkiran.
Riska berhenti bersikukuh mengapit motorku sampai rumah karena sudah mempercayakan hal itu kepada Kak Bagas.
"Kak Bagas," panggilku saat kami jalan berdampingan di parkiran.
"Abang," ralatnya.
"Lagi enggak ada orang juga."
"Adek!" Panggilan itu menahan langkah kami untuk berdiri berhadapan. "Abang, kan, udah bilang hari ini kontrak kita dimulai. Mau ada orang atau enggak, Adek tetep wajib panggil abang."
Aku mendengkuskan napas terlebih dahulu sebelum membalas ucapannya. "Iya, iya, iya. Abang!"
"Kenapa?" Tangannya mulai mengorek isi kantung jaket untuk mencari kunci motor.
"Kenapa tadi nyusul aku ke—"
"Adek," tuntutnya yang bahkan memotong ucapanku.
"Astaga! Iya!" jeritku gemas yang tak tertahankan. "Kenapa tadi nyusul ke kantin? Kan, adek nyuruh Abang buat tunggu di parkiran."
"Haus. Jadi, ya, udah nyusul. Emang kenapa?"
"Ih, di sana ada temen adek. Dia sampe kaget tau, enggak?"
"Masa, sih?" Kak Bagas sudah berhasil menemukan kunci motornya. "Buktinya dia biasa-biasa, aja."
"Terus banyak siswa lain juga, gimana kalau mereka tau?" Nada bicaraku sudah mulai meninggi.
"Dek, kita itu pacaran kontrak bukan pacaran backstreet, oke?"
Aku membisu. Iya, ya, benar juga. Kenapa aku sepanik itu? Bukankah bagus, jika hubungan kami tersebar dengan cepat?
"Ayo!" ajaknya tiba-tiba.
"Hah?" Aku masih belum sadar karena memikirkan citra sebagai pacar Ketua OSIS.
"Ayo, pulang, Sayang!" jelasnya begitu terlihat ringan tanpa beban.
...***...
Dia benar-benar mengawalku sampai rumah. Aku sengaja berhenti di depan pagar, melepas helm, lalu menunggunya melakukan hal yang sama. Spontan mataku tidak berkedip, pesona seorang Bagas Raharja yang menaiki motor gede tengah melepas helm di depan mata. Kepalanya sampai bergoyang ke kanan-kiri guna mempertahankan posisi rambut di dahi supaya tetap terlihat rapi. Peluh keringat terlihat di kedua pipi, dia melepas sarung tangan sambil mengembuskan napas pelan.
"Dek, nanti lagi jangan bawa motor, ya!"
Aku tidak menghiraukan permintaan yang terdengar seperti perintah itu. Otakku keburu dipenuhi banyak hal karena dia terus memanggilku adek padahal jam sekolah sudah usai.
"Dek?" panggilnya supaya aku lekas menggubris.
Aku mengalihkan pandangan dan berkedip beberapa kali. "Emang kenapa, sih? Kok, Dara enggak boleh bawa motor?" Sebenarnya, aku sengaja menyisipkan nama Dara karena ingin mendengar reaksinya.
"Kagok. Adek pelan banget soalnya. Mending dianter-jemput, aja, ya?" Matanya terlihat memelas. Dia pasti kelelahan karena harus mengimbangi kecepatan motorku yang masih di angka 30km/jam.
"Enggak mau, ah!" Aku memandangi motornya untuk sesaat. Mau ditawari seratus kali pun, aku tidak akan mau diantar-jemput ke sekolah dengan motor itu.
"Lah, emang kenapa? Abang juga engga akan kenceng-kenceng jalaninnya."
"Bukan itu masalahnya," aku meralat disertai perasaan malu. "Kalau naik motor Abang, rok aku bisa naik banyak."
Kak Bagas tidak menjawab. Dia hanya mengedipkan mata dengan mulut menganga. Mungkin dia mengira semua wanita suka menaiki motor gede, tetapi aku tidak mau menaikinya. Selain karena jok-nya yang kurang luas, aku juga harus mengikhlaskan diri dilihat paha oleh semua orang yang kulewati.
"Apa perlu abang bawa mobil?"
"Hah? Emang bisa?" Mataku menyipit. Tidak percaya akan kemampuannya.
"Bisa."
Aku terdiam, kembali berpikir cepat. Kalau benar pulang-pergi naik mobil, apa tidak akan heboh satu sekolah? Aku memang ingin semua orang tahu tentang hubungan ini, tetapi tidak ingin terlalu cepat juga.
"Gimana?" tanyanya yang memaksaku supaya cepat tanggap.
"Hem, gimana kalau kayak gini?" Sebersit ide muncul begitu cepat di depan mata. "Motor Abang titip di sini, nanti berangkat ke sekolah pake motor Dara. Gimana?" Sepertinya, dia tidak mempermasalahkan aku yang memanggil diri dengan nama sendiri. Terbukti sudah dua kali melakukannya, tetapi dia tidak bereaksi seperti saat di parkiran sekolah.
Kak Bagas mengembuskan napas berat sebelum akhirnya mengalah. "Ya, udahlah. Abang nurut, aja."
"Oke." Senyumku lebar saking bahagianya telah mendapat persetujuan.
"Eh, iya. Pas di kelas abang enggak sengaja liat IG Adek."
Aku menatapnya serius, mendengarkan dengan seksama hal yang ingin dia utarakan.
"Kok, masih ada foto-foto Arfan, sih?"
"Engga ada." Aku menyahut cepat sambil meninggikan suara.
"Ada. Coba cek lagi. Foto-foto Adek kebanyakan nge-tag orang itu."
"Hah! Masa, sih?" Saking tidak percaya, aku berujung memeriksa laman Instagram. Tinggal tersisa tiga foto di sana dan itu pun tidak ada wajah Arfan. "Engga ada!" Aku menunjukkan layar ponsel yang menyala ke hadapannya.
"Ini." Kak Bagas menunjuk foto tangan dan wajahku secara bergantian. "Coba Adek buka terus baca caption-nya."
Ponsel kembali ke depan mata, tak menunggu lama foto yang kutekan muncul memenuhi layar. Seketika mataku terbelalak. Kenapa aku bisa begitu ceroboh hingga tak membaca keterangan dalam tiga unggahan terakhir ini. Caption-nya benar-benar bermasalah.
"Masih zaman, ya, caption-nya? Kalau masih zaman, ganti, aja. Jadi, taken by mantan." ejeknya dengan bibir terangkat sebelah.
...***...
Jangan lupa follow, ya!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Nabil Az Zahra
itu akun IG punya dara ma bagas bneran si thor?ntar di cari ga ada aaah😂😂
2023-03-14
0
Ulil
nih aku kasih vote aku,,seneng alur nya
2023-01-19
0
Nacita
dara yg d panggil sayang gue yg klepek2 😍
2022-05-25
0