Kami selesai berdoa, memberi salam, lalu menunggu Pak Wawan keluar ruangan. Akhirnya, hari pertama dengan materi perkenalan guru dan silabus selesai juga. Kami melewatinya tanpa kurang suatu apa pun.
"Ra, kamu pulang ke arah mana, ya?" Riska lebih dulu bangkit, membenarkan posisi sabuknya sebelum menyampirkan ransel. "Eh, engga usah jawab, deh!" Telapak tangannya menahan mulutku yang sudah hampir menjawab pertanyaan. "Mau pulang satu arah juga, kamu pasti nebeng Kak Arfan, kan?" Wajahnya berubah masam. Riska sampai berkacak pinggang karena baru menyadari hal itu.
Aku ikut berdiri, mengimbangi tubuhnya sembari bertanya, "Mukaku kucel, enggak?" Mana mungkin, kan, aku pulang dalam keadaan yang memalukan?
"Enggak, tetep cantik, kok." Riska membenarkan posisi rambutku yang agak kusut dengan jemari kanannya.
"Ra!"
Aku yang dipanggil, tetapi Riska yang lebih dulu menolehkan kepala. Derap langkah seseorang terdengar menghampiri kami.
"Kertas nomer HP anak-anak mana?" tanya Yoga dengan posisi tangan menengadah.
"Ada, kenapa? Mau kamu, aja, yang buat grup-nya?" Selepas istirahat dia memang memintaku untuk menyebar kertas kosong supaya teman sekelas mengisinya dengan nama, alamat, dan nomor telepon masing-masing. Aksi Riska yang merapikan rambutku terpaksa terhenti. Aku berujung mengambil kertas itu dari ransel lalu memberikannya kepada Yoga.
"Udah semua, kan, ini?" tanyanya tanpa memandangku karena fokus menatap data dalam kertas.
"Udah, aku tadi sempet cek Buku Agenda Kelas juga dan emang totalnya tiga puluh siswa."
"Oke, deh. Gue, aja, yang buat grup-nya, Ra. Nanti gue jadiin lo admin, ya?"
...***...
Aku menunggu Kak Arfan di depan kelas setelah mengantar kepergian Riska. Dia memilih pulang terlebih dulu, daripada harus melihat kemesraan kami yang bisa membuatnya sesak napas, katanya.
Arloji di lengan kiri kulirik pelan, sudah lewat sepuluh menit, tetapi batang hidung Kak Arfan belum juga muncul ke permukaan. Tanganku berujung mengambil ponsel dari dalam ransel, menekan layarnya untuk sekadar melihat notifikasi yang masuk. Ah, ada satu pesan masuk dari pacarku ternyata. Aku baru menyadarinya karena ponselku dalam mode getar selama di kelas.
Dari : Pesek Kesayangan
Kakak piket dulu, tunggu bentar ya
Benar, sekarang hari Senin. Bisa-bisanya aku lupa jadwal piket Kak Arfan. Aku mengangkat wajah dari layar ponsel, memperhatikan seluruh situasi yang berada di depan mata dengan seksama.
Beberapa kelas sudah mulai kosong, belum ada penampakan murid baru yang membersihkan kelasnya masing-masing sebelum pulang. Jujur situasi yang sunyi ini tidak kusukai. Semilir angin di siang hari pun terasa dingin, jika berada dalam lingkungan luas seorang diri. Imajinasiku mendadak bermain, aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal yang berbau horor.
“Dodol!” Panggilan dari lantai dua membuat kepalaku menengadah dan menghentikan aktivitas merasai suasana. “Sebentar, ya!” Senyumnya begitu merekah. Suatu hal yang kusyukuri setiap kali bertemu Kak Arfan. Dia selalu memberiku ekspresi yang memabukkan sehingga selalu kurindukan.
Kepala Kak Arfan yang semula menyembul kembali hilang setelah mendapat anggukan dariku. Ah, kalau dia sudah mewanti-wanti kata sebentar lagi, artinya pekerjaan membersihkan kelas masih membutuhkan waktu yang lama. Ide cemerlang spontan muncul di benakku, tak ingin menundanya lagi, lekas kukirim pesan kepada Kak Arfan.
Untuk : Pesek Kesayangan
Dara nunggu di kantin ya
...***...
Ide yang benar-benar sempurna. Kantin sekolah masih dipadati beberapa siswa yang belum pulang. Jika begini, kan, aku merasa tidak kesepian lagi. Ya, meskipun aku tidak mengenal dan tidak akan duduk bersama mereka. Setidaknya, mendengar hiruk-pikuk keramaian sedikit menekan rasa hororku efek berdiam sendiri di lorong kelas.
Aku mengambil posisi duduk didekat pintu setelah sebelumnya membeli air mineral dingin di kedai minuman. Tak ingin disangka menguping pembicaraan orang, ponsel kembali kupakai untuk sarana melepas penat. Tidak ada notifikasi balasan dari Kak Arfan dan belum ada tanda-tanda kemunculan grup kelas yang akan dibuat Yoga. Mau tak mau, aku beralih ke laman Instagram, lebih baik membunuh waktu sembari memantau kabar drama Korea yang akan tayang bulan depan.
Asyiknya memantau berita pun terhenti karena sudut mata kananku menangkap seorang gadis yang berjalan menghampiri. Kepalaku terangkat dan menoleh ke arahnya. Kalau diperhatikan wajahnya terasa akrab, sudah bisa dipastikan kalau dia bagian dari murid X-1. Namun, aku tidak berani menyapa terlebih dahulu karena tidak mengingat namanya dengan jelas. Ya, daripada salah menyapa, lebih baik aku tersenyum ramah karena mata kami saling bersitatap.
“Dara, ya?” Sesuai dugaan, dia teman sekelasku.
“Iya. Sini duduk!” ajakku berusaha seramah mungkin sembari menggeser posisi duduk. “Kok, belum pulang?” Aku benar-benar tidak bisa menyebut namanya karena takut salah sasaran.
“Belum,” ujarnya setelah terduduk di sampingku. “Mamaku baru mau berangkat.”
“Oh, gitu.” Kepalaku mengangguk paham.
“Dara nunggu siapa?” Dia balik bertanya.
“Nunggu kakak kelas, sih. Mau pulang bareng, tapi masih piket.”
“Hah, enak, ya, kalau punya kakak satu sekolah. Pulang-pergi bisa barengan.” Komentarnya hanya bisa kujawab dengan anggukan sungkan. Ingin rasanya meralat kalau Kak Arfan bukan sekadar kakak kelas, tetapi takut disangka sombong karena sudah memiliki pacar padahal baru masuk sekolah.
“Kakak kamu di kelas apa?” tanyanya lagi.
“Kelas XI-1.”
“Wah, kalian sama-sama pinter, ya! Sama-sama dari kelas unggulan,” pujinya disertai mata yang menatapku penuh binar-binar rasa kagum.
Aku lekas menepis ucapannya. “Sebenernya, aku enggak pinter-pinter amat, sih. Aku cuma beruntung karena masuk kelas yang sama kayak kamu, tapi kalau Kak Arfan emang pinter dari dulu.” Buset, aku keceplosan menyebut namanya lagi.
“Oh, nama kakak kamu Arfan.”
“Iya.” Aku menyahut pelan sambil memalingkan muka ke arah depan. Tidak ingin berbicara sambil bersitatap lagi.
Hening sejenak, hingga lawan bicaraku berdeham beberapa kali untuk menarik minat mengobrolku lagi. “Dia bukan sekedar kakak, kan, ya?”
“Ya?” Aku agak bingung, nih, mendengar pertanyaannya. Terlebih karena dia terlihat menahan tawa.
“Kak Arfan pacar kamu, ya?”
“Bisa dibilang kayak, gitu.” Kepalaku menunduk dan terasa kedua pipi ini memanas. Ah, sudahlah. Lagi pula lambat laun dia akan tahu tentang ini, baik dariku atau dari bibir orang lain.
“Oh, jadi Dara orangnya. Kak Arfan itu mentor kelasku waktu MOPD, lho.”
“Oh, ya?” Kali ini giliran mataku yang berbinar karena rasa ingin tahu lebih dalam.
“Iya. Dia suka diejek, gitu, sama temen-temennya. Dikatain bucin karena dikit-dikit bilang udah punya cewek,” jelasnya.
Sudah tak bisa kutahan lagi hawa panas yang semakin menjalar di kedua pipi. Rupanya, Kak Arfan juga disebut budak cinta oleh semua orang. Aku pikir hanya diriku saja yang mendapat ejekan itu karena terlalu kentara menunjukkan rasa sayang.
“Tapi kamu beruntung banget, lho, Ra."
“Beruntung gimana maksudnya?” Aku tahu ucapan yang akan keluar dari mulutnya. Dia pasti hendak memuji Kak Arfan dari segi fisik, cara berbicara, dan kecerdasan. Aku sudah mendengar banyak pujian tentangnya selama hampir tiga tahun terakhir, tetapi tetap mendengar pendapat orang demi kesenangan batinku semata.
“Kak Arfan, kan, ganteng, bijak, dewasa, asyik diajak ngobrol, pinter pula. Ah, satu lagi, Kak Arfan jago banget, ya, gombalin cewek.”
Hah? Mataku berhenti berkedip karena terkejut mendengar ini. Baru pertama kali, lho, aku mendengar orang berkomentar tentang Kak Arfan yang jago menggombal. Maksudku, dia memang jago membuat hatiku terbang, tetapi aku tak tahu kalau di luar sana dia juga menggombali wanita meskipun hanya sebatas bercanda.
“Emang waktu di kelas kalian, Kak Arfan suka ngegombal, ya?” Aku bertanya sembari memberikan senyum lebar. Tak ingin dia tahu kalau hatiku sebenarnya sedikit terusik mendengar fakta ini.
“Suka ngegombalin Kak Cecil.”
“Cecil?” Tanpa sadar aku mengulang nama yang barusan terdengar.
“Iya, emang, sih, bercanda. Anak-anak juga tau kalau Kak Arfan udah punya cewek, tapi tiap kali dia gombalin atau jailin Kak Cecil, tuh, yang liat kebawa baper, gitu!”
“Oh, iya?” Sebisa mungkin aku terdengar antusias agar dia menceritakan semuanya lebih detail.
“Iya, serius. Banyak juga, kok, anak-anak yang nyuruh mereka buat jadian, tapi Kak Arfan selalu bilang kalau dia udah punya pacar dan enggak tertarik buat pindah ke lain hati.”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
tuu kan, kayak ada pahit²nya nich
2022-03-13
0
dhapz H
dara ikuti aja permainan artan
2022-02-22
0
🌷💦sebening embun💦🌷
kan bawang mulai keiris
2022-02-19
0