Sejak hari itu, aku tidak pernah membicarakan lagi Cecilia. Tidak pernah ingin memancing karena reaksi Kak Arfan terlalu berbinar. Dia seperti mengagumi Cecilia dan terlalu jelas menunjukkannya.
Aku tidak suka itu, tetapi tidak bisa melarang Kak Arfan untuk melakukannya. Aku lebih baik menutup mata, berperilaku bahwa semua baik-baik saja. Merujuk pada moto hidup dalam berpacaran versi diriku, aku akan melakukan semuanya dengan maksimal asalkan dia tidak melepaskanku lebih dulu.
Toh, jika dilihat-lihat Kak Arfan masih dalam memperhatikanku dengan benar. Rasa khawatir akan kehilangannya langsung terhempas saat aku menyadari fakta itu.
"Sayang, Rabu depan bakal ada perekrutan OSIS." Dia bahkan menepati janjinya, memberitahuku perihal ini.
Aku tersenyum penuh syukur. "Aku boleh gabung, kan, ya?" Hanya memastikan, basa-basi seperti biasa.
"Gabung, aja. Kakak seneng malah, tiap hari Rabu kita bisa pulang bareng."
Ah, rasa syukur kedua yang kupanjatkan hari ini.
"Kakak masuk kelas dulu, ya?" Tisu bekas roti panggang dikepal-kepal sampai berbentuk bulat.
"Sini biar aku, aja, yang buang!" Tanganku menengadah, membiarkan Kak Arfan meletakan sampahnya untukku buang. Setelah mengucap kata terima kasih, dia berjalan meninggalkanku dari area halaman belakang.
Aku mengembuskan napas kuat-kuat. Mendadak hubungan ini terasa hambar, tetapi terlihat baik-baik saja. Pikiranku terasa kalut tanpa sebab. Ini sungguh mengherankan. Baru pertama kali aku merasa Kak Arfan akan menghilang. Apa stok cintanya untukku sudah menipis hingga habis?
......***......
Tanganku menahan lengan Riska tepat saat bel pertanda pulang berbunyi. Aku menatapnya lekat, berusaha menyalurkan isyarat supaya Riska tidak tergesa saat memasukkan barang-barangnya ke tas. Aku membutuhkan dia sekarang, merasa haus akan teman padahal dia selalu di sampingku sepanjang hari.
Ini bermula sejak ditinggalkan Kak Arfan pagi tadi di halaman belakang. Pikiran yang kacau itu semakin menjalar hingga ke ulu hati dan sampai sekarang belum mau beranjak pergi.
Riska terlihat menganggukkan kepala. Senyum simpulnya memberiku jawaban atas genggaman tangan ini. Dia bersedia menemaniku sampai Kak Arfan terlihat di lorong kelas.
"Kamu ada masalah, ya, sama Kak Arfan?" Pertanyaan itu diajukan Riska setelah memastikan tiada satu pun orang di kelas.
Aku menggeleng, menghela napas pelan, lalu mengembuskannya panjang. Tanganku berangsur memijat kening yang terasa sakit. "Menurut penglihatan kamu, hubungan aku baik-baik, aja, atau ada masalah?"
"Ra, kalau salah satu dari kalian ada yang ngebatin. Artinya, hubungan kalian sedang tidak baik-baik saja." Riska merangkul bahuku dan meremasnya kuat. "Ada apa, sih? Masih ada kaitannya sama kakak kelas yang diceritain si Putri?"
Ah, benar. Ini bermula bukan dari Kak Arfan meninggalkanku di halaman belakang. Mungkin lebih tepatnya pikiranku amburadul saat berbincang dengan Putri di kantin tiga hari yang lalu.
"Kalau saran aku, ya, mending kamu curahin semuanya sama Kak Arfan. Sekalian gitu, lho, biar ditenangin. Kak Arfan, kan, jago gombal. Aku yakin dia bisa bikin negatif thinking kamu ilang."
Apa aku harus melakukan saran Riska? Jujur meskipun memalukan, tetapi hasilnya selalu pasti, kan? Aku hanya tinggal memastikan perasaan Kak Arfan. Hasilnya juga sudah tertebak kalau dia masih sayang.
"Oke!" Mendadak keberanianku terisi full. "Aku bakal omongin semuanya hari ini." Senyumku lebih lebar daripada sebelumnya.
"Nah, gitu, dong. Lebih baik saling terbuka. Masa udah mau tiga taun, enggak saling jujur-jujuran?"
......***......
Kami memutuskan menunggu Kak Arfan dengan duduk di teras kelas. Ponsel sudah standby tergenggam di tangan untuk berjaga-jaga, takut Kak Arfan mengajakku OTW sekarang.
Beruntung Riska setia menemani. Akhir-akhir ini dia pulang setelah melihat motor Kak Arfan membawaku lebih dulu. Dia rela menyaksikan keromantisan seorang diri daripada harus meninggalkanku hingga berbincang dengan Putri seperti waktu itu.
"Tuh, Kak Arfan!" Riska yang lebih dulu melihatnya langsung memberiku laporan. Buru-buru aku menatap ke arah yang sama.
Sontak aku beranjak, wajah Kak Arfan berbeda. Langkahnya terlalu terburu menuruni setiap anak tangga. Dia bahkan belum sempat mengenakan jaket. Ransel pun belum terpasang dengan rapi. Firasatku mengatakan, dia sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Ada apa ini? Pasti ada yang tidak beres.
Tak ingin tenggelam dalam rasa penasaran, aku mengejar langkahnya yang besar-besar. Namanya sudah kuteriaki berulang kali, tetapi dia mengabaikannya. Dia baru mau menghentikan langkah saat tanganku berhasil menggapai tangannya. "Ke-napah?" tanyaku dengan posisi bungkuk dan napas yang ngos-ngosan.
"Sayang." Pegangan tanganku dilepasnya pelan. "Kamu pulang sendiri enggak pa-pa, ya?"
Aku lihat wajahnya yang pucat dan berpeluh. Kedua matanya memerah disertai rahang mengeras. "Oke." Aku setuju. Hari ini aku bisa pulang bersama Riska. Aku bisa memahami, jika Kak Arfan memang ada kepentingan mendadak. Namun, satu hal yang menjadi poin penting sampai aku berlari seperti tadi. Aku harus mendapatkan jawaban atas tingkahnya yang berbeda dari biasanya. "Kakak kenapa?"
"Emergency." Bibirnya bergetar kala mengucapkan itu.
"Siapa?" Tanganku menangkup kedua pipinya guna mengusap peluh yang bercucuran.
"Ada." Jawabannya tidak memberiku rasa puas.
"Bunda?" Sebutanku untuk Ibu Kak Arfan.
"Bukan," jawabnya seperti tidak mau berterus-terang.
"Ayah?" Pertanyaanku masih dijawabnya dengan gelengan. "Terus siapa? Kak Ardi? Aku ikut boleh, ya? Kakak lagi panik gini gimana bisa nyetir?"
"Cecilia."
"Hah?" Mulutku terbuka dengan matanya menatap tanpa berkedip. Aku mendadak lupa caranya bernapas saking tersentak mendengar jawabannya.
"Cecilia keserempet motor," jelasnya semakin membuatku sesak.
Kedua tanganku yang masih menangkup pipinya mengendur sampai terjatuh ke samping badan karena lemas. Pelan-pelan kutelan ludah yang terasa pahit. Mataku mulai berkedip-kedip tak jelas. "Jadi ...." Aku mengambil napas sebelum melanjutkan, "Kakak sepanik ini karena dia?"
"Sayang, please! Ini bukan waktunya cemburu. Dia temen kakak. Bayangin kalau kamu ada di posisi—"
"Hati-hati di jalan," potongku tak ingin mendengar pembelaannya atas Cecilia lebih jauh lagi.
Bukannya meyakinkanku terlebih dahulu, Kak Arfan malah mengangguk mantap. Bagai mendapat restu, dia bergerak cepat, memasang helm dan kunci motor, lalu menghidupkan mesinnya. Tak sampai semenit, motornya pun melaju keluar dari area parkir.
Susah payah aku mengatur napas yang begitu menyesakkan. Kepalaku terasa berat untuk terangkat. Pelupuk mataku terpejam kuat, bayang-bayang raut wajahnya kembali terpampang nyata. Dia kalang kabut seperti lupa daratan karena mendengar Cecilia kecelakaan. Fakta itu saja teramat menamparku. Jangankan mengutarakan perasaan secara jujur, untuk bersikap seolah semua baik-baik saja pun rasanya aku tak mampu.
Situasi kelam ini terhenti karena Riska yang menyadarkan aku. Dia meletakkan sepasang sepatu di samping kakiku. Astaga, sedari tadi aku lupa memakainya. Aku mengejar Kak Arfan dari kelas sampai parkiran bertelanjang kaki.
"Pake sepatunya. Aku anter pulang sekarang!" seru Riska dengan emosi yang tertahan.
......***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Ulil
ngikuuut
2023-01-19
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
harapan mu sepertinya dah tipis dara. dari terawangan ku dia sudah mendua, manis di bibir lain di hati
2022-03-14
0
al_fach
wah...😲
2022-02-23
0