Perjalanan ke Kawasan Elite Bukit Dago Selatan ternyata tidak memakan waktu lama. Setelah melewati beraneka kampus ternyata, kami sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Bangunan yang megah itu bercat putih bersih, di depannya terdapat taman yang luas dan ditanam berbagai macam pepohonan. Cukup asri dan menyejukkan mata, sih! Tak heran motor Kak Bagas mahal, ternyata dia bukan orang sembarangan.
"Dek, helmnya!"
Aku yang tertegun akibat melihat suasana tak menyadari kalau sedari tadi tangan Kak Bagas sudah terulur untuk mengambil helmku. "I-ini, Bang." Benda yang ditunggunya kuberikan cepat.
"Ini, Dek!" ucap Kak Bagas sambil memajukan wajahnya ke dekatku.
Hal itu sukses membuatku mengerjapkan mata. Tingkah yang tak biasanya dia lakukan justru menghasilkan efek tanda tanya besar di kepalaku. "Kenapa, Bang?" tanyaku yang tak bisa menemukan titik terang dari kebingungan ini.
"Ini rambut," tunjuknya.
Mulutku spontan menganga. Ingin tertawa terbahak-bahak, tetapi tak mungkin untukku melakukannya. Astaga, Kak Bagas tuh, ya! Lucunya ada, polosnya ada, dan tukang maksanya juga ada. Aku bermaksud merapikan rambutnya itu saat kami di depan umum. Ini kenapa dia jadi ketagihan?
"Dek, inget kalau ini tempat umum juga."
"Mananya yang tempat umum?" Aku tak bisa berhenti untuk tersenyum.
"Ini rumah abang, lho! Orang rumah taunya Adek pacar abang."
Ya Tuhan! Aku mengembuskan napas panjang sebelum menuruti keinginannya. Sekitar satu menit aku menyisir rambut Kak Bagas menggunakan jari. Satu ide bagus lewat dibenakku. "Bang, apa besok-besok adek bawa sisir aja, ya?"
"Buat apa?"
Dia pura-pura tidak paham atau beneran tidak mengerti, sih?
"Buat rambut Abang, lah! Biar dua kali lipat lebih rapi."
"Ah, enggak-enggak," tolaknya cepat tanpa berpikir panjang. "Kalau pake sisir sisi romantisnya kurang."
......***......
Terdiam di ambang pintu karena belum dipersilakan masuk. Belum apa-apa sudah salah tingkah duluan. Ibunya ada di dapur, aku mendengar suaranya dengan jelas. Adiknya ada di ruang tengah dan sedang memainkan beberapa mainan. Kami bahkan bersitatap, tetapi tidak mengeluarkan reaksi apa pun.
"Dek, masuk!" Kak Bagas baru menyadari kediamanku saat langkahnya sudah di ruang tengah.
"Malu." Aku berucap tanpa suara.
"Astaga, ayo!" ajaknya sambil memutar balik ke arahku. Digenggamnya tanganku erat sampai aku berkenan masuk dan menunggunya di sofa. "Sebentar, ya, mau tanya Ibu dulu."
Dia meneruskan langkahnya, kembali menyusuri ruang tengah, hingga memasuki pintu yang sepertinya menjadi ruang dapur. Kepalaku menunduk, tidak mau melihat bocah kecil yang ditaksir berumur enam tahun itu. Dia terus-menerus menatap ke arahku sampai mainannya diacuhkan sementara waktu.
"Hei," sapa anak itu yang ternyata sudah berdiri tak jauh dariku.
Aku mengulas senyum, melambaikan tangan sebelum membalas sapaan. "Hei, juga! Sini!" ajakku yang lekas disambutnya dengan baik.
Tak malu-malu dia menghampiriku sampai posisi kami berhadapan. "Aku Baim." Tangannya terulur mengajakku berkenalan.
Tentu saja aku menyambutnya. Jarang-jarang ada anak kecil yang mau berdekatan denganku. Saudara-saudaraku saja tidak pernah mau bertegur sapa karena aku terlihat judes. "Namaku Dara." Tangan mungil itu sudah sepenuhnya berada dalam genggamanku.
"Boleh duduk di situ?" tunjuknya pada lahan kosong di sofa yang kududuki.
"Boleh, boleh." Aku menggeser tempat duduk supaya dia lebih leluasa mendudukkan bokongnya.
"Maaf, ya, belum dikasih minum. Mbok Uti belum masuk, lagi sakit."
Bibirku kembali menyunggingkan senyum. "Enggak pa-pa. Dara udah minum kok."
"Oh, ya? Kapan?" tanyanya sambil menatapku lekat. Bola matanya yang hitam dan cerah bisa membuat hatiku terasa sejuk. Sekali dilihat saja, Baim anak yang baik, mudah rasanya untuk menyayangi dia.
"Tadi. Waktu di rumah." Bohong, sih! Sedari sampai di rumah aku belum sempat menenggak minuman karena sibuk berganti pakaian.
"Ah, Kak Bagas gimana, sih? Masa langsung bawa Dara ke sini."
"Lho, emangnya kenapa?" Rasa takut mulai menghantuiku. Apa Kak Bagas dilarang berpacaran? Apa harusnya aku tidak langsung datang?
"Ya, harusnya bawa Dara jalan-jalan dulu. Minum air dulu." Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tertawa. "Maaf, ya, Dara. Kakaknya Baim emang bodoh."
Buset, nyalinya besar juga dia! Aku tidak boleh salah ucap, nih! Bisa-bisa disebut bodoh juga.
"Dara pacarnya Kakakku, ya?" tanyanya yang membuatku bingung.
Kira-kira jawaban apa yang pas untuk pertanyaan satu ini? Kalau aku jawab pacar, nanti dia bilang ke Kak Bagas, takut disangka ke GR-an lagi. Aku, kan, cuma pacar bohongan. Alhasil setelah kalut selama beberapa detik, aku memutuskan untuk menjawab seadanya. "Nanti Baim tanya Kak Bagas aja, ya!"
"Oke!" Bocah cilik itu tiba-tiba turun dari kursi, meninggalkanku dengan sejuta tanya. Tatapanku menyertainya memasuki pintu yang tadi melahap Kak Bagas.
Terdiam sendiri, aku jadi tertarik melihat-lihat foto yang terpajang di sini. Hanya lukisan-lukisan abstrak, tetapi masih terasa estetikanya. Pasti Ibunya Kak Bagas yang mendesain supaya ruang tamu ini terlihat lebih kekinian.
"Apa, sih?" Suara Kak Bagas terdengar. Terlihat Baim yang menarik lengan kakaknya supaya keluar dari ruangan itu. Mereka kembali menghampiriku disusul wanita yang kutebak adalah ibunya. Aku menebak begitu karena warna rambut dan kulit beliau terlihat sama dengan Kak Bagas dan Baim.
"Bu, padahal enggak usah ngerepotin," kataku sebagai bentuk sapaan.
"Eh, enggak-enggak. Masa segini ngerepotin. Maaf lama, ya, bikin minumnya! Pembantu rumah lagi izin kerja. Ibu tadi masak dulu." Beliau menyimpan tiga gelas air jeruk dingin dan sepiring brownies bakar di meja. Setelah menatanya dengan rapi, beliau mulai mengambil posisi duduk berhadapan denganku.
"Kak, Dara itu siapa?" Baim bertanya dengan nada tinggi. Mereka berdiri di samping sofa sang Ibu.
Kak Bagas menjitak pucuk kepala Baim pelan. "Dara-Dara, enggak sopan! Panggilnya Kakak," ralatnya sedikit ganas.
"Ah, Daranya juga enggak ngomong apa-apa. Kok, jadi Kakak yang sewot!" cibir Baim sambil tersenyum miring.
"Panggil Kakak dong, Sayang! Masa ke yang lebih tua manggil nama," ucap Ibunda mereka dengan tenang.
"Nanti aku mau nawar lagi sama Dara, ah!" Kedua tangan Baim bersedekap di depan dada.
"Nawar apaan? Emangnya pacar kakak jualan pake acara nawar!"
Aku tersenyum melihat tingkah kakak-beradik itu. Kak Bagas kalau dipertemukan dengan Baim jadi terlihat menggemaskan, ya! Sudah tahu anak kecil, tetapi masih dilayani.
"Dih, ngaku-ngaku! Daranya juga enggak bilang pacaran sama Kakak."
Eh, buset! Mataku membulat sempurna. Kenapa Baim salah menangkap omonganku? Aku, kan, tidak bilang begitu.
"Dek, kok kamu enggak ngakuin abang, sih?" rengeknya tak kalah seperti anak kecil.
"Enggak. Adek cuma suruh Baim buat tanya status kita ke Abang. Bukan enggak ngakuin, kok." Aku berusaha meluruskan dengan enggan karena ditatap langsung oleh Ibunya.
"Tuh, kan, Kakak yang ngaku-ngaku. Dara enggak pernah bilang pacaran sama Kakak."
"Eh, Tuyul!" semprot Kak Bagas disertai jitakan kedua. "Dara itu pacar kakak."
"Dara!" panggil Baim memilih mengacuhkan klarifikasi sang kakak. "Mata kamu sakit, ya? Kok mau-maunya, sih, pacaran sama Kak Bagas? Kak Bagas, kan, tukang ngupil!"
"Eh, mulutnya enggak dijaga!" Kepalang gemas, Kak Bagas mengalungkan tangan di leher sang adik dan menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Aku yang tak habis pikir dengan tingkah mereka hanya mampu tersenyum sambil sesekali menggelengkan kepala.
"Udah, udah, stop!" teriak sang Ibu yang merasa kalau pertengkaran itu perlu diakhiri. Baim terus-terusan berteriak sampai terasa memekakkan telinga. "Kalau kalian ngomong terus, kapan Ibu kenalannya coba?" Pertengkaran kakak-beradik pun berakhir karena takut dipelototi Ibu. "Udah sekarang mending Bagas masuk kamar, ganti baju, katanya mau cari buku. Terus Baim, jangan enggak sopan gitu, ah! Inget panggilnya Kakak bukan Dara!" Telunjuk beliau mengacung untuk memperingatkan kedua anaknya.
"Baim enggak mau panggil dia Kakak."
"Lah, kenapa?" teriak Kak Bagas terpancing kesal lagi.
"Ya, suka-suka Baim, dong! Baim tetep mau panggil Dara biar bisa gantiin Kakak." Matanya mendelik ke arah Kak Bagas.
"Gantiin apa, hah?" Kak Bagas sudah bersiap memulai peperangan kedua.
"Gantiin jadi cowoknya, lah! Kakak enggak pantes sama Dara."
Tanganku menutup wajah karena tak kuat menahan tawa. Kecil-kecil cabai rawit memang.
"Eh, hati Dara itu punya kakak. Kamu enggak ada kesempatan! Dara mana mau sama bocah!"
"Kakak, sebelum janur kuning ada, Dara pasti bisa buat Baim!"
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
safana valiqa
Baim aku padamu..kak Bagas sabar ya
2022-12-10
0
༄༅⃟𝐐🧡𝐌ɪ𝐌ɪˢᵒᵏIᗰꀎ꓄❣︎Kᵝ⃟ᴸ🦎
dasar... bocil jaman now 🤪🤪🤣🤣🤣😁😁
2022-03-14
0
dhapz H
awkwkwk kok baim jaraknya lahirnya jauh bngt sama bagas
2022-02-23
0