22-06-2016
"Hrraahh!!"
Teriak Urfana yang melepaskan tinju terkuatnya pada Corcus. Urfana menggunakan sarung tangan agar Corcus bisa merasakan reaksi dari pukulan Urfana.
"Tidak buruk, kita sudahi dulu latihan kali ini."
Urfana kemudian duduk dibawah pohon halaman rumahnya, meminum air isotonik yang penuh dengan manfaat baik bagi kesehatan.
1 minggu sudah berlalu sejak kejadian buruk yang menimpa negara Dolgia, keadaan sudah mulai memulih kembali seperti biasa.
Fadhilah juga sudah dipulangkan ke rumahnya, ia sudah membaik dan kini fokus pada buku pelajarannya. Tidak seperti gadis itu, Urfana yang memfokuskan dirinya pada latihan fisik agar tidak dirundung lagi.
"Aku mendengar kabar, bahwa Ibunda Fadhilah sudah biasa keluar kota pada minggu ke-3 dan ke-4 karena urusan bisnis. Aku tahu dimana rumahnya." ucap Corcus.
"Kau sudah menemukannya? Jadi dimana ia tinggal?" Urfana bangun dan mengelap keringatnya dengan handuk
"Komplek Bandung Indah Jaya, Blok C no. 51, Ciwastra. Rumahnya ketat sekali, dan cukup besar dibandingkan ini. Kau ingin menemuinya bukan? Kau takkan bisa masuk."
Urfana tersenyum, "Kau yakin? Aku sudah mempelajari teknik dari game. Rekaman CCTV saja takkan bisa menanganiku."
Mereka berdua pergi menggunakan angkot dan berlangsungan dengan jalan kaki untuk mencapai alamat rumah itu. Mereka melewati pasar, mall, rumah penduduk, taman, tanpa ada obrolan sama sekali.
"Pasar Ciwastra, tempat ini selalu macet di daerah kota Bandung." ucap Urfana, sambil melihat beberapa pedagang yang sedang berjualan disana.
"Kau bawa tas? Isinya apa?" tanya Corcus
"Iuran!!" terdengar suara preman didepan hadapan mereka.
Beberapa pedagang dipalak oleh preman yang berkuasa disana, tampak menggunakan pakaian sangar dengan logo seperti Club malam dibelakang jaket jeansnya, dan di bahu kanan terdapat tulisan bronze yang berarti perunggu.
"Naon teu acan saminggu tos ditagih deui jang?! (Apaan belum juga satu minggu udah ditagih lagi)"
"Tong loba ngeluh. Sok, geroan polisi mun tiasa da moal datang polisi oge. (Jangan banyak ngeluh, coba aja panggil polisi kalau bisa, gabakal datang.)" si Preman itu menendang meja dagang tukang ayam.
"Brengsek!" Urfana bergegas mendatangi si preman itu.
"Urfana! Kita harus fokus!" Corcus teriak sambil mengejar Urfana.
Urfana berdiri berhadapan dengan sang Preman yang berkuasa didaerah tersebut, ia menarik kerahnya dan meninju wajahnya dengan keras. Sayangnya tinju itu ditahan, dan ia hanya tersenyum.
"Yo, dasar bodoh. Kau ini cuma anak-anak." si Preman itu memukul Urfana dengan keras dibagian ulu hati, hingga ia terpukul mundur.
Urfana memuntahkan makanan yang tak lama ia makan.
Pedagang yang lain hanya bisa diam karena mereka tahu betapa seramnya ketua penanggung jawab daerah jika ada yang berani macam-macam. Yang Urfana hadapi disini hanyalah anjingnya.
"Guaagh" Urfana ditendang oleh preman itu hingga tersungkur sejauh 3 meter.
Meski begitu, anjingnya adalah ketua pasar ini.
"Apa ini? Sampe pake penutup mata segala?" Ia membuka penutup mata Urfana.
Seketika itu matanya langsung mengintimidasi si ketua pasar itu. Urfana tak lama kemudian langsung bermain kotor dengan mencolok mata ketua pasar dengan jarinya.
"Bangs*t!!" ketua pasar itu berteriak kesakitan.
Urfana mengambil talenan kayu dan mengayunkannya ke bagian kepala, ketua pasar terjatuh pingsan oleh ayunan keras itu.
Urfana sendiri terkejut karena ia seolah-olah tahu apa yang harus dilakukan. Reflek dengan perhatian banyak orang, ia kemudian menutup mata kanannya dan bergegas pergi.
Anak buah ketua pasar hanya bisa membawa ketuanya pergi dari tempat itu, karena kebetulan polisi patroli lewat dan berhenti di pasar, sedangkan Urfana hilang setelah naik angkot lagi menuju kediaman Fadhilah.
Ada satu orang saksi yang melihat kemana Urfana pergi, ia adalah orang seorang geng dengan logo yang sama, namun dengan peringkat platinum.
"Kau ini sedang apa Urfana?! Yang tadi itu terlalu berbahaya, kita harus bergerak dalam diam." Corcus menasehati Urfana.
"Aku tak kuat melihatnya, jadi aku ingin menghajarnya." Urfana mengeluarkan earphonenya, agar supir angkot mengira bahwa dia sedang berbicara lewat panggilan telepon.
"Baiklah, setidaknya kau akan sadar sendiri mengenai pilihan terbaik. Hal ini takkan terjadi sekali dalam hidupmu."
...Apa itu tadi? Mataku seperti memberitahukan petunjuk ketika bertarung?...
Urfana melihat sekelilingnya dengan mata kanannya itu, ia seolah-olah benar-benar menyerap apa yang ada di jalan itu, dan ia bisa menampilkan gambaran tempat tersebut dengan sempurna di ingatannya.
Ia kemudian agak merasa pusing setelah menggunakan mata tersebut, ia menutupnya kembali. Kekuatan yang dimiliki mata itu tak bisa tertampung sepenuhnya dalam tubuh anak itu.
"Kita sudah sampai, kita akan lanjut bicara lagi nanti. Aku harus memeriksa keadaan sekitar." Corcus pergi dan berjalan ke arah lain.
Urfana berjalan masuk ke komplek tersebut, ia menutup kepalanya dengan tudung jaketnya.
Komplek Bandung Indah Jaya, komplek dimana hanya ditinggali bagi mereka yang memiliki ekonomi kelas menengah ke atas. Sunyi tanpa suara, rumah besar dan berpagar.
Ia mencari alamat keberadaan rumah Fadhilah, ketemulah rumah besar, megah dan mewah itu.
PT. JNC Group? Aku yakin ini milik pa Yohan Arunaldi yang terkenal itu. Aku tak menyangka Fadhilah tinggal dirumah sebesar ini
Rumah megah ini sudah berdiri sejak 1986, ketika kakek Fadhilah berhasil menjadi seorang milyarder Nusantara. Pada saat itu kakeknya berumur 43 tahun, sedangkan Yohan Arunaldi, ayahnya Fadhilah berumur 13 tahun.
Kakeknya Fadhilah telah wafat bersama dengan Neneknya di tahun yang sama, yaitu pada tahun 2001, beberapa hari setelah kelahiran Fadhilah.
Gadis itu lahir dengan warisan kerja keras kakeknya yang disalurkan lewat ayahnya. Yohan Arunaldi telah menjadi CEO baru dari JNC Group saat itu juga.
JNC Group membawahi 5 anak perusahaan yang fokus ke bidang F&B, Manufaktur, SDM, Infrastruktur, Studio Film.
"Permisi?" ucap Urfana. Ia memencet bel rumah Fadhilah.
"Selamat sore, ini dengan siapa?" muncul suara wanita.
"Namaku Urfana, aku kemari untuk memulangkan buku paket Fadhilah yang udah lama." ucap Urfana.
"Boleh dititipkan saja lewat satpam" balas wanita itu.
"Fadhilah juga menyimpan buku novelku, aku nyewa buku kemarin-kemarin. Besok juga harus dipulangin." balas Urfana, ia mencoba untuk merajuk wanita di suara itu agar membiarkannya masuk.
Gerbang dibukakan, Urfana kemudian masuk dan menyapa satpam tersebut.
Orang yang menggunakan jaket mewah berlambang club platinum itu mengawasi Urfana dari jauh. Ia terkejut karena melihat Urfana masuk ke rumah Yohan Arunaldi.
Ketika Urfana melepas sepatunya, Fadhilah baru saja masuk ke kamarnya, ia baru selesai mandi.
Fadhilah menggunakan earphone dan mengganti pakaiannya dengan santai. Urfana berada di tangga dan pergi menuju kamar Fadhilah.
Ini adalah pertama kali bagi Urfana untuk pergi ke rumah teman perempuan, terlebih lagi Fadhilah.
Urfana tak tahu Fadhilah sedang mengganti pakaian, ia mengetuk pintu, lalu ia menerobos masuk ketika tak dibalas setelah 10 detik.
Fadhilah kemudian menarik Urfana, menampar, mendorong Urfana ke tembok dan menekan perut Urfana dengan keras menggunakan kakinya.
"Kok kamu disini? Yaampun kenapa ga bilang mau kesini, kamu ga ngetuk pintu!! Aku lgi ganti bajuu!!" Fadhilah memarahinya.
"Ughh!!! Kahu semdii ghapain gaati vaju fake ifonn, kaanar ga kumhi" Urfana bicara yang tak jelas.
"Yaampun, aku gabakal minta maaf. Kamu harus minta maaf, harusnya kamu kalo mau kesini bilang dulu. Tumben Mba Yuli ga ngasih tau lewat announcement."
Fadhilah yang tak mendengarnya.
"Aku khawatir banget, habisnya kamu ga pernah bales chat aku lagi."
Pipi Urfana memerah, bukan karena malu tetapi karena tamparan yang sangat keras. Rasanya seperti kulit yang tersiram oleh air panas. Fadhilah dan Urfana saling merasa bersalah dan menyesali perbuatan bodohnya.
Namun Fadhilah tak meminta maaf, karena bagaimanapun yang salah tetaplah harus laki-laki.
"Ma....maafkan aku" Urfana sujud dihadapan Fadhilah.
"Perbuatanmu terlalu buruk, wahai kesatria dari revolusi Ende Leiden. Namun akan kumaafkan dengan syarat, kau akan menjadi budakku" Fadhilah menodongkan pedang salah satu karakter dari anime favoritnya.
"AKU TERIMA HUKUMANNYAAA" ucap Urfana dengan nadanya yang tinggi.
"Baiklah, kalau begitu inilah buku Illysseus Courde-nya. Aku ingin kita membukanya bersama." Fadhilah menaruh buku itu di lantai, kemudian ia duduk di lantai bersebelahan dengan Urfana.
Buku itu tidak berbisik apa-apa lagi pada Urfana, buku aneh ini seolah-olah menakdirkan dirinya sendiri untuk bertemu dengan Urfana. Buku ini best-seller namun tak ada yang mencomotnya di Wisdomedia dan bahkan tak ada label harga.
Mereka menaruh tangan mereka di buku, dan membuka halaman pertama, lalu kedua, lalu ketiga.
Isinya kosong, tidak ada apa-apa. Tak ada bacaan apapun sama sekali.
"Kok bisa? kemarin aku baca ada isinya di halaman awal?" gadis itu membuka halaman belakang dan tengah untuk memastikan kembali, ia sontak tak percaya.
Urfana dengan refleknya melempar buku itu dengan jauh, ia memiliki rasa takut dengan hal berbau horor mistis.
Urfana kemudian bersembunyi di belakang Fadhilah.
"Greget bangett. Aku gamau kalo ada apa-apa keluar dari buku itu." Urfana memegang pundak Fadhilah.
Fadhilah menghela nafas, ia mengambil buku itu dan menaruhnya kembali di rak.
"Fadhilah, ngomong-ngomong. Aku di mata kamu itu, kamu anggap apa?" Urfana menanyakan hal rumit secara mendadak.
Fadhilah memalingkan wajahnya.
"Kamu..... Kamu sahabat." ia sama sekali tidak tersenyum, entah wajah apa yang ia pasang. Tapi ia seperti sama sekali tak merasa senang.
Sahabat, itulah yang bagaimana Fadhilah tanggapi atas hubungan ini. Tapi di hati lelaki itu ada sesuatu yang terasa kecil, namun rasanya begitu panas, semakin lama dibiarkan akan terus membesar dan membakar pikirannya.
......Cinta......
"Urfan, aku gatau kita bisa main lagi seperti ini atau engga, Ibu mulai menginginkan aku untuk fokus ke jenjang pendidikan. Terlebih lagi ibu tak menyukaimu. Kemarin-kemarin itu asik banget, aku ingin main lagi, tapi aku gatau apa aku bisa keluar atau engga seperti kemarin." Fadhilah menundukkan kepalanya didepan Urfana.
Ia memegang tangan Urfana.
Semesta terdiam, terdengar sunyi, untuk mendengar ungakapan dari hatinya yang paling dalam.
"Tolong jangan lupain aku ya. Janji." Fadhilah tersenyum sambil menangis.
Urfana hanya diam, tak berkata apa-apa.
Corcus yang sedang mengamati dari ranting pohon depan jendela kamar Fadhilah, mengerti ekspresi wajah gadis itu. Ia bisa membacanya.
Gadis itu menerima beban tanggung jawab yang besar dari orang tuanya.
Satu janji telah dibuat untuk diabadikan, bukan untuk ditepati dan dilanggar. Gadis yang Urfana cintai dan do'akan menaruh harapan besar pada dirinya.
Urfana merasakan tekanan cinta yang besar dari Fadhilah, tapi hatinya juga dipenuhi oleh rasa canggung tanpa keterbatasan.
Urfana memang mencintai Fadhilah dan ingin berjuang keras dengan belajar dan berusaha sukses agar diakui kedua orang tua Fadhilah. Namun ia ingat bahwa dengan memilih hidup bahagia dengan gadis yang dicintainya, takdir dunia bagaimana? Bagaimana dengan nasib umat manusia?
...Urfana mati rasa, matanya sangat kosong, nafasnya terhenti seketika....
"Fadhilah, sepertinya aku harus pulang." Urfana berdiri dan mengenakan kembali jaketnya.
"Eh? Rumah kamu kan jauh banget dari sini, aku belum menyuguhkan makanan dan minuman buat kamu. Ada apa Urfan?" Fadhilah menghalangi pintu keluar.
"Maaf, tapi aku gabisa bilang." ucap ia dengan tersenyum.
Tangan kasar itu mengelus rambut indah sang gadis.
Tanpa lama-lama, Urfana berjalan keluar dan pergi dari rumah tersebut. Fadhilah mengikutinya sampai gerbang keluar dan berdiri sambil melihat Urfana menghilang dari pandangannya.
Lelaki yang hanya berumur 15 tahun itu berpikir kembali tentang tujuan hidupnya.
Ia bermimpi tentang menjadi seorang pengusaha kaya raya seperti Yohan Arunaldi, ia merasa bahwa impian itu menjadi dorongan juga agar lebih relevan dengan keluarga Fadhilah sehingga bisa meminangnya.
Tapi apa daya pria itu bukanlah orang pintar dan tak punya privilege. Ia tidak tampan, tidak berprestasi, kerjanya hanya dirumah saja. Sedangkan gadis itu mendapatkan pujian banyak orang dan menjadi peraih nilai UN SMP tertinggi tahun ini.
Urfana pasrah, serasa tidak tahu lagi bagaimana harus menanggapi perasaan ini, ia merasa bahwa ia tak bisa berada dalam hidup Fadhilah. Fadhilah ingin bersama dengan Urfana karena ia ingin terus bermain. Urfana tahu bahwa hal itu yang membuat ibunya tak menyukai Urfana.
"Gadis ini sepertinya spesial sekali bagi Urfana. Sejujurnya ia benar-benar terlihat seperti seseorang yang kukenal, aku hanya tak bisa mengingatnya." Corcus berdiri didepan pintu rumah, mengamati Fadhilah dengan dekat.
Fadhilah berjalan melewati Corcus. Ia kembali ke kamarnya dan mengunci pintunya.
"Urfana yang malang, sahabat apanya? Gadis itu mencintaimu, tetapi kau tak mengerti apa-apa."
Corcus kemudian pergi meninggalkan rumah Fadhilah dan menyusul Urfana lalu menemaninya pulang ke rumah.
........Bersambung........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments