...BUUAGH...
"Aaarggghhhh!!" Urfana berteriak setelah dipukul di bagian perut.
Urfana dipegangi, kedua tangannya ditahan agar tak mampu melawan.
"Lo sombong banget waktu di perpus tadi. Beraninya lo bikin risih gua, HAH?! LO GATAU SIAPA GUA?" Yudhoyono teriak didepan wajah Urfana.
"Gue ga lakuin apa-apa kan? Lo kenapa kasar amat?" balas Urfana dengan nada suara yang provokatif.
"Wah, makin ngelunjak nih bos." ucap Taran, anak buah Yudhoyono.
"Harus gua kenalin, ini adalah Yudhoyono dari geng Troy-Skusher" ujar Yudhoyono menunjukkan badan dengan tattonya
Sial, aku harus menyusul Fadhilah. Tapi tenagaku menyusut saat pukulan mendadak pertama.
Yudhoyono mengambil sapu kayu, ia melepaskan ujungnya agar bisa digunakan layaknya tongkat. Ia mengayunkan tongkatnya dari atas, dan mengerahkan tenaganya ke bawah.
...****PPAKK****!!...
"Oi, kau tidak seharusnya mencari masalah ditempat seperti ini." ucap seseorang yang menahan ayunan Yudhoyono dengan menggenggam pergelangan tangan Yudhoyono.
"B..Brengsek LU JANGAN GANGGU" Yudhoyono membalik arah dan ingin memukul orang yang menahannya.
Seketika itu, Yudhoyono berhenti karena melihat wajah orang tersebut. Dia adalah senior dari geng Troy-Skusher, Hasan Al-Fatah.
"Hahahaha, cuma bisa nahan doang?" ucap Taran menghina Hasan.
Yang lainnya hanya bisa terdiam mengikuti reaksi Yudhoyono.
"Se.... Senior, maafkan aku..." ucap Yudhoyono.
Hasan berjalan melewati Yudhoyono dan menghajar Taran dan pingsan dalam satu pukulan.
"Pergilah, kau bebas. Wahai budak." Hasan membantu Urfana berdiri.
Urfana tidak mengucapkan apa-apa dan lari terpincang-pincang keluar, berusaha mengejar Fadhilah tanpa tahu informasi apa-apa.
"Eh, kenapa anak itu? Ia pincang dan berdarah-darah"
"Hujan hujan gini mau kemana?"
Waktu bermain telah selesai, hari yang terbaik itu berubah menjadi hari buruk. Urfana ingin sekali menjenguk Fadhilah namun ia tidak tahu dimana keberadaannya.
Tas Fadhilah dibawa bersamanya di ambulan. Urfana tidak membawa tasnya karena sudah dibakar Yudhoyono saat di basement. Isi dompetnya diambil, hanya disisakan handphone saja yang untungnya tergeletak di lantai. Urfana kini hanya membawa handphone, dan berhujan-hujanan dengan baju sobek.
Dari jalan Braga ia hanya terus berjalan seperti itu menuju rumahnya didaerah Padasuka atas, tidak peduli dengan jarak, tidak peduli bahwa hujan akan membuatnya jatuh sakit.
Ia sudah terbiasa berjalan kaki saat hujan, namun dengan keadaan seperti ini ia mulai kehilangan kesadaran. Hingga tak sadar bahwa ia sedang berjalan miring di jalan raya, didekat jalan layang Pasopati.
Di sekitarnya tak ada siapa-siapa, tubuhnya terasa begitu sesak dan lemas. Urfana kemudian kehilangan kesadaran kemudian jatuh tergeletak di jalan.
Telepon berdering didalam saku itu. Urfana terlalu lemah untuk mengangkat handphone itu, kemudian tiba-tiba pendengarannya mulai mensunyi, dan matanya mulai buram.
Kemudian, sosok berjubah hitam dan memancarkan sinar merah dari matanya muncul dihadapan Urfana.
Sosok itu mengangkat Urfana, kemudian tiba-tiba menghilang bagaikan angin.
Saat ini masih pukul 11 siang, namun langit menyelimuti dengan nuansa selimut malam. Fadhilah dan Urfana mengalami kedinginan dan jantungnya melemah.
Unit Gawat Darurat menjadi tempat yang Fadhilah singgahi saat ini, seketika itu dokter berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan nyawa gadis itu. Entah mengapa pembuluh darahnya pecah dan ia harus di operasi.
Meskipun rumah sakit belum mengetahui identitas gadis tersebut, mereka melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan gadis itu. Nyawa manusia benar-benar berharga bagi para Dokter di negeri ini.
Negara maju ini tidak mempedulikan siapapun pasiennya, asalkan nyawa tersebut selamat. Semua golongan punya prioritas yang sama. Masyarakat mendapatkan jaminan nyawa dari pemerintah bagi mereka yang mendapatkan keluhan mendekati kematian atau bergejala kematian.
"Baiklah." Sosok misterius itu membuka rumah Urfana dengan membobol lubang kunci dengan menggunakan alatnya.
...Meskipun kuncinya ada dibawah karpet...
Ia meletakkan Urfana diatas sofa dan kemudian berjalan keluar rumah dan menghilang, meninggalkan kertas diatas meja makan.
Hujan masih berlangsung kala itu, bahkan anginnya kencang sekali hingga tak mungkin bagi Urfana untuk pergi keluar rumah.
"Ugh..." Urfana siuman dari ketidaksadarannya.
Ia cukup terkejut karena ia tiba-tiba ada di rumah. Saat ini pukul jam 12 siang, ia agak tidak tenang karena kepikiran tentang Fadhilah.
Urfana mencoba membuka pintu, ternyata pintunya di kunci, ia kemudian melihat jendela, berniat memutar untuk mengambil kunci, namun hujan membuatnya merasa tak nyaman.
"Troy-Skusher....." Urfana mondar-mandir, hingga ia menyadari bahwa di meja makan ada susu kotak dan juga selembar kertas yang dilipat.
Ia membuka kertas tersebut dan tertera tulisan.
..."Gadis itu berada di rumah sakit Alfarius, Dago. Tempat dimana Car Free Day ada. Berterimakasihlah padaku nanti. Karena aku akan selalu mengawasimu."...
Urfana memanaskan air untuk berendam dan menyembuhkan tubuhnya yg penuh memar. Ia ingin segera ke rumah sakit, namun dengan kondisi tubuh itu hanya membuat kondisinya akan semakin parah. Terlebih lagi sikutnya susah digerakkan karena dipukul tongkat.
"Assalamualaikum, Urfana?"
"Waalaikumsalam? Bu Mirna? Ada apa hujan-hujan gini?" Urfana menyambut tetangganya.
"Ibu tadi liat kamu digendong sama orang yang agak aneh, badannya teh ditutup semua. Kamu kaya pingsan atau sakit gitu, jadi ibu bawain kamu makan. Ini nasinya masih panas, dimakan dulu ya." Bu Mirna menyimpan piring berisikan makanan berat diatas meja Urfana buat dimakan.
Urfana tersenyum. Ia kemudian beranjak untuk menyuguhi bu Mirna teh manis hangat.
"Ih, gapapa Urfana. Ibu makasih banget karena udah suka minjemin ibu halaman belakang kamu. Buat jemuran, anak-anak ibu banyak banget." bu Mirna basa-basi.
Urfana kemudian menyiapkan kursi buat duduk.
"Urfan udah mendingan bu, sekarang Urfan lagi nyiapin air panas buat mandi. Ngomong-ngomong pa Ratno udah agak mendingan kah bu?"
Bu Mirna meminum teh tersebut, "Iya fan, makasih udah nanyain soal pa Ratno. Ibu tau kalo kamu bener-bener punya kenangan sama bapa, lebaran nanti kita makan sama-sama lagi ya."
"Hehe, iya bu. Urfan pasti mampir kok."
Bu Mirna adalah tetangga Urfana yang peduli, di hujan begini pun ia masih memikirkan Urfana seperti anak-anaknya. Karena ia tahu bahwa Urfana hanya tinggal sendiri disini, jauh dari orang tuanya dan terlantar.
Bu Mirna tidak berani bertanya tentang keluarga Urfana karena tak ingin membuatnya sedih, berdasarkan keputusan yang ia buat, ia memutuskan untuk membantu Urfana sebisa mungkin, bahkan hujan sebegini saja masih membuatnya datang.
"Ibu pulang dulu ke rumah, Naisa lagi nungguin ibu buat bantu ngerjain PR-nya"
Urfana mengantar bu Mirna ke depan pintu, "Sekali lagi makasih banyak bu, hati hati bu."
"Iya Urfan, makasih juga yaa."
Urfana lekas kembali dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan, menunggu hujan reda, ia memulihkan diri dulu agar bisa menjenguk Fadhilah dalam keadaan yang lebih baik.
"Hari ini semua berlalu cepat, jika ia bisa mengantarkanku hingga rumah, berarti ia tahu rumahku..."
...Lantas siapa pria berjubah hitam itu?...
.........Bersambung.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments