Panji POV
Saat pulang dari sekolah tadi, aku tidak langsung pulang ke rumah, karena Didi, teman sekelas ku mengajak ku bermain futsal. Aku lalu pergi bersamanya dan juga teman-teman yang lain.
Ketika aku pulang aku melihat Rasti sedang bicara dengan seseorang yang ku kenal sebagai guru baru di sekolah kami. Aku hanya memperhatikan nya dari jauh saja.
Setelah Pak Yoga pergi aku tadinya ingin menghampiri Rasti, tapi Bu Yani malah menahan ku.
"Baru pulang nak Panji?" tanya nya menyapa ku.
Aku menghentikan motor ku, dan mematikannya. Karena ibu ku akan mengomel jika tahu aku bersikap tidak sopan pada warganya. Ibu ku itu sudah jadi RT selama sepuluh kali pemilihan, dia mana mau aku bersikap tidak baik dan tidak sopan pada warganya. Dia akan menjewer ku di depan umum jika aku melakukan itu.
"Iya, Bu Yani. Abis main futsal!" jawab ku singkat.
Aku melihat Bu Yani, berkeringat banyak, ku pikir dia sedang tidak sehat.
"Bu Yani sehat? kok keringetan banyak begitu dan wajah ibu merah?" tanya ku berbasa-basi dan aku memang perduli pada ibu paruh baya ini.
"Huh nak Panji, si Amir tuh. Ibu mah habis marahin si Amir, bikin emosi terus. Masak dia bilang ujian masih lama, masih tujuh hari lagi terus dia masih aja sibuk main game top up itu, sementara kata nak Rasti ujian tuh seminggu lagi, dia aja sampai ikut les tambahan. Kan ibu jadi kesal sama Amir, ibu habis marahin dia, noh dia sekarang lagi belajar!" jelas Bu Yani panjang kalo lebar kali luas sekali.
Aku malah sibuk memikirkan tentang Rasti yang ikut les tambahan, dengan siapa dan dimana dia ikut les? tapi tunggu! seperti nya ada yang tidak benar dengan apa yang di ucapkan Bu Yani barusan.
"Bu Yani tadi bilang Amir ngomong ujian masih seminggu kan?" tanya ku pada Bu Yani dan wanita paruh baya yang masih memegang kemoceng di tangan nya itu mengangguk.
"Terus kata Rasti, ujiannya seminggu lagi?" tanya ku lagi dan jawaban sama juga di tunjukkan oleh Bu Yani.
"Nah, masalah sebenarnya dimana Bu? seminggu itu kan memang tujuh hari!" jelas ku.
Dan Bu Yani langsung terkesiap dan sedetik kemudian memukul jidatnya sendiri dengan telapak tangannya.
"Astaghfirullah! duh kasihan bener si Amir, udah dimarahin aja, kenapa bisa lupa begini sih! apa coba..."
Bu Yani langsung masuk ke dalam sambil terus menggerutu, ku rasa dia akan segera meminta maaf pada si Amir, anaknya itu.
Penyakit ibu-ibu ya, kadang suka asal saja berpendapat dan menafsirkan sesuatu. Mungkin karena mereka itu terlalu lelah, mereka itu di rumah merangkap begitu banyak pekerjaan. Jadi guru untuk anak mereka, jadi chef juga, lalu jadi Asisten rumah tangga, jadi Bagian administrasi dan keuangan juga. Aku jadi sangat bangga pada ibu ku.
Aku jadi lupa mengenai Rasti yang ikut pelajaran tambahan dan pulang ke rumah. Setelah makan malam, aku baru ingat mengenai Rasti yang mengikuti les tambahan. Aku langsung on the way ke rumahnya. Kebetulan ada bakso mang Udin lewat, jadi sekalian ku pikir akan mentraktir Rasti untuk makan bakso.
Sebenarnya bukan masalah dia mengikuti les tambahan, tapi aku melihat pandangan pak yoga pada Rasti itu sangat berbeda. Aku saja seperti menggigit lemon asam ketika melihatnya. Aku tidak suka cara pak Yoga menatap Rasti. Lagipula usia mereka sangat jauh, dan ku dengar gosip di sekolah kalau pak yoga itu akan segera menikah. Aku tidak ingin Rasti hanya di permainkan saja oleh pak Yoga.
Kenapa aku perduli pada Rasti, tentu saja karena dia adalah cinta pertamaku. Meskipun dia tidak pernah menyadari itu dan selalu menolak pernyataan cintaku. Kurasa dia menganggap ku bercanda, karena kami sahabat sejak SD. Tapi aku serius padanya.
Aku memesan dua mangkuk bakso, tapi aku minta pada mang Udin agar jangan menuangkan kuahnya dulu sebelum Rasti datang. Bakso favorit nya itu pakai banyak sayuran, akan tidak enak jika kuahnya sudah dingin sangat dia datang.
Aku menghubungi Rasti.
"Oi.." jawabnya di ujung telepon.
Aku menjauhkan ponsel ku dari telinga.
"Kebiasaan nih anak!" gumam ku. Lalu aku kembali meletakkan ponsel ke depan telinga ku lagi.
"Oi, Oi, lu pikir lagi ngomong sama tukang parkir?" protes ku.
Dan setelah aku melayangkan kalimat protes aku malah mendengar Rasti terkikik.
"Eh, pasti ngetawain gue nih?" Ucap ku lagi.
"Apaan sih Panjul, ngapain lu malem-malem nelpon gue, mau ngajakin gue makan bakso ya?"
Dan perkataan nya itu benar, aku saja sempat terkesiap kaget mendengarnya.
"Kok lu tahu, buruan turun ke bawah. Nih mang Udin dan standby depan rumah lu, gue juga dah disini. Buruan turun ya!" ucap ku dan aku langsung memutuskan panggilan telepon agar Rasti cepat turun dan menemui ku.
"Ini masih lama ya den, mamang mau mangkal depan komplek ini!" ucap mang Udin yang memang sedari tadi tidak ada pelanggan lain yang membeli baksonya disini.
Memang biasanya mang Udin mangkal di depan komplek, karena disana lah semua orang akan datang mencari bakso mang Udin.
Aku menunggu cukup lama, dan aku senang ketika melihat Rasti datang sambil tersenyum padaku.
"Woi Rasti, sini!" seru ku sambil menepuk kursi plastik yang memang sudah disiapkan untuknya.
"Mang, orang nya udah dateng nih, buruan tuang kuahnya mang!" seru ku dan kali ini pada mang Udin setelah Rasti duduk di dekat ku.
"Lama banget sih, gue kira pas lu turun tangga lu jatoh terus pingsan!" ucap ku sembarang.
"Dudul lu, jahat banget. Lu jangan ngomong gitu, inget perkataan itu doa, ntar kalau gue jatuh beneran, gimana? lu gak kasihan sama gue, cewek imut dan baik hati ini?" dia mengatakan itu dengan wajah yang menurut ku sangat menggemaskan aku jadi tidak sadar dan mengangkat tanganku mengacak rambutnya.
"Ih, jangan di acak-acak!" protesnya.
"Iya maaf, lain kali gue gak bakal ngomong kalo lu jatuh dari tangga, tapi jatuh hati sama gue!"
"Iyuh, jatuh hati sama lu. Ogah!" sahutnya cepat. Sebenarnya aku sedikit kecewa dengan jawaban nya itu. Tapi aku tidak akan menyerah untuk membuatnya percaya padaku.
"Ini non, den!" mang Udin memberikan semangkuk bakso pada ku dan dengan cepat aku mengambilnya.
"Makasih mang!" seru Rasti membuat ku menoleh ke arahnya.
"Makasih nya itu harus nya sama gue, kan gue yang traktir lu!" protes ku.
"Iya, makasih ya. Lu emang temen gue paling the best lah!" ucap nya sambil tersenyum dan mengaduk baksonya.
Harusnya aku senang kan tapi, hatiku sedih mendengarnya.
Panji POV end
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Wirantika
muter-muter cerita bab yang ini.
2022-08-25
2
Salimah Sa'adah
bakso doang nih, kalau mau nembak pake mawar dong sama berlian
2022-01-16
1
lina
semangat noer
2022-01-16
1